Jadi Anak Pertama Itu Menyenangkan, tapi Semua Berhenti Saat Kamu Udah Dianggap Dewasa #HipweeJurnal

Jadi anak pertama itu bikin hidup bak juragan!

Saya ingat betul dulu selalu dibelikan barang-barang baru oleh Ayah dan Ibu. Baju, sepatu sampai sepeda pun ‘pasti’ dibelikan yang baru. Sementara adik-adik tidak. Barang-barang mereka banyak yang didapat dari lungsuran (warisan) dari kakaknya.

Urusan otoritas pun jangan ditanya. Sebagai anak pertama, saya punya wewenang untuk memerintah adik-adikku sak dobole (semauku). Kalau mereka menolak, tinggal diancam dan dipliriki (dipelototi) aja. Selesai perkara. (Yak, ini murni karena saya kakak yang kurang ajar aja sih)

“Dek, pijitin kakak dong. Kakak capek nih”
“Dek, bikinin kakak teh dong. Gulanya dikit, jangan panas-panas, sama dikasi madu.”
“Dek, beliin kakak mie ayam di warung depan dong. Pedes ya. Pake duit kamu dulu”

*Sip! Urip kok koyok juragan! Nak nan!

Kalo nggak salah, foto ini diambil tahun 2012. Waktu saya masih muda. Sangat muda…

Belum lagi urusan status di struktur organisasi rumah kami. Menurutku, bapak dan ibu lebih pas disebut sebagai investor atau dewan direksi pemegang saham (lha iya to?), sementara saya mungkin paling pas disebut sebagai CEO (Eh, apa juragan ya?). Sebagai anak tertua, ketiga adikku memandang kakaknya ini sebagai sosok yang paling pintar, paling kuat, paling keren dan paling serba bisa. Pokoknya semua kriteria dan sifat yang dibutuhkan buat jadi CEO, saya (dianggap) punya! Ya siapa sih yang nggak jemawa kalau dipuja kayak begitu. Heuheu

“Singkat cerita, jadi anak pertama saat kamu masih kecil dulu adalah sebuah anugerah yang tak terhingga.”

Setelah lulus, jadi buru-buru kerja~

Lalu tanpa disadari, kebahagiaan dan kebanggaan sebagai anak pertama itu mulai berubah jadi beban. Tapi sejak kapan ya? Ah, saya kurang ingat pastinya. Yang jelas alih-alih bikin jumawa peran sebagai anak pertama ini malah sekarang jadi beban.

Bayangkan, sebagai anak pertama kamu punya kewajiban untuk memberi contoh yang baik bagi adik-adikmu. Ekspektasi soal kesuksesan dan kemandirian juga porsinya paling besar jatuh di pundakmu. Kalau kamu nggak bisa sukses, keluarga besarmu dan tetanggamu akan menganggapmu sebagai ‘produk gagal’.

Padahal punya cita-cita tinggi, tapi harus ngalah…

Karena itu banyak sekali anak pertama yang kerja keras demi mewujudkan ekspektasi keluarga tersebut. Saya pernah bertemu dengan seorang anak pertama yang lahir dari keluarga serba pas-pasan. Ia terpaksa putus sekolah dan bekerja agar adik-adiknya bisa sekolah. Ada juga seorang teman yang memaksakan dirinya kuliah sambil bekerja di 3 hingga 4 tempat sekaligus agar penghasilannya cukup untuk tambahan biaya sekolah 2 orang adiknya.

Setelah lulus sekolah, banyak anak pertama yang ‘terpaksa’ langsung asal ambil pekerjaan yang ada. “Yang penting kerja dan bisa bantu keluarga” Itu prinsipnya. Banyak yang melakukan itu tanpa peduli soal kemauan pribadinya. Alhasil, tingkat stres dan turn over sangat tinggi. Asal ngambil pekerjaan meski nggak sesuai dengan minat dan jati diri. Padahal setiap anak punya cita-cita yang mulia (jadi Batman, misalnya) namun semua dipinggirkan demi memenuhi ekspektasi sebagai anak pertama. (Tuh, dek. Makanya pas kakakmu pulang jangan ditodong minta uang terus!)

Itu baru masalah pekerjaan lho. Belum lagi ketika di keluargamu ada masalah. Ayah, Ibu dan adik-adikmu juga pada akhirnya akan curhat dan bertanya solusi kepadamu. Kamu cuma bisa menguatkan dan membantu menyelesaikan masalah mereka sekuat tenagamu. Karena itu anak pertama dituntut buat jadi sosok yang paling dewasa (tapi bukan berarti dewasa sebelum waktunya. Itu beda lho ya… Heuheu).

Dampaknya, ketika anak pertama yang dirundung masalah, kita cenderung diam dan enggan bercerita. Bukannya apa-apa, tapi ekspektasi dari lingkungan sosial kita menuntut agar anak pertama itu jadi figur yang paling kuat. Nah kalau sendirinya belum kuat gimana? Ya jadilah sok kuat! Jangan sekali-kali merengek di depan keluargamu. Kalau kamu merengek, kamu adalah CEO gagal. Itu anggapan orang-orang.

Sementara adekmu udah punya pacar, kamu masih galau aja sama mantan…

Itu masih dua beban lho. Belum lagi beban mental kalau adekmu sudah punya pasangan dan kamu masih jomblo aja. Apalagi kalau dilangkahi adekmu dalam hal pernikahan. Ini jelas jadi beban yang sangat berat. Lha wong kata orang-orang dampak dilangkahi adek dalam hal pernikahan itu kamu bakal kesulitan jodoh! Kan serem, yak!

Untungnya meski saya adalah anak pertama, namun selisih jarak usia antara saya dan adik saya terpaut jauh. Saya dan adik pertama terpaut 7 tahun, sama adik kedua terpaut 10 tahun dan sama adik ketiga jaraknya 15 tahun. Jadi ya agaknya sulit sih kalau mereka berniat membalas dendam dengan cara nikah duluan dan melangkahi saya karena saya pernah membuat masa kecil mereka menderita. Heuheu

HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.