Kepada Hati-hati Penyabar yang Telah Tabah Mengakrabi Sepi

Kau mengeluh betapa sering sepi menyelinap ke balik selimutmu

menjambret semua hangat yang tersimpan di situ.

Gelisah senyap khatam kau cumbui, kesepian tamat kau jamahi.

Kau merasa seperti narapidana yang dikurung di sel ekstrakdisi — benar-benar seorang diri.

Kau lupa, perjalanan itu sebenarnya tak begitu sunyi.

Hatimu ada, dia setia. Membersamai langkahmu tanpa perlu diminta.

Hatimu panglima perang bernyali jawara. Dia tak pernah menyerah meski tubuhnya penuh gulir luka

Hatimu panglima perang bernyali jawara

Hatimu panglima perang bernyali jawara via www.finchandfawn.com

Akhirnya kau luangkan waktu melongok sejenak demi menjenguk si hati — dia yang selama ini kau diamkan karena takut merasa sakit lagi. Atau memang enggan kau akrabi atas alasan menjaga diri. Pelan kau rogoh kantung kemeja lawas yang tersimpan di lemari, mengambil anak kunci yang masuk kategori keramat selama ini.

Inilah momen paling syahdu dalam hidupmu– ketika anak kunci menemukan ulirnya, kau putar tanpa berpikir lama. Bunyi “klik” menguar ke udara, tanda hatimu kembali terbuka. Bangun dari hibernasinya sekian lama. Kau ambil waktu untuk memandanginya — hanya untuk sadar bahwa kini bentuknya tak lagi sama.

Ada luka yang menghiasi tiap lekukan sudutnya. Warnanya yang dulu merah muda kini berganti jadi marun tua. Hatimu tidak lagi mudah mengumbar tawa. Dia tenang, keras seperti pualam. Bulu kuduk di tengkukmu berdiri menyadari betapa sepinya hatimu selama ini. Dengan suara terlembut yang bisa mulutmu buat kau lontarkan tanya,

“Masihkah kau tabah, atau kali ini kita harus bersepakat untuk menyerah?”

Layaknya titah pandita raja ia menjawab dengan gagahnya,

“Bertahanlah. Aku cukup tabah memanggul pedih. Kini giliranmu memangkas beban dengan perlahan melesap perih.” 

Sedang kamu tak lebih dari Tuan Kepala Batu. Nyeri yang datang tak cuma sekali membuatmu pongah meracah harapan-harapan baik di depan hidungmu

Kau racah harapan-harapan baik di depan matamu

Kau racah harapan-harapan baik di depan matamu via www.finchandfawn.com

Sebenarnya kamu mengenal baik manusia yang hangat hatinya. Dulu, dulu sekali– di hadapanmu ia ceritakan mimpi dan harapan-harapan baik.

Kamu sempat percaya, bahkan turut bahagia hanya jadi pendengar setianya. Tapi kini cerita berganti dari roman jadi suspense yang menguji nyali. Sayangnya kamu terlalu terbiasa dengan dongeng yang isinya cuma putri, pangeran, dan akhir bahwa mereka hidup bahagia selamanya.

Jujur saja, sebagai manusia kamu sudah lupa rasanya bahagia. Bibirmu terlalu lama libur dari kegiatan senyum tulus dan gelak riang. Kamu lupa bagaimana hati bisa berdesir saat senang; kamu tak lagi tahu apakah jemari yang saling bertaut bisa menghasilkan gelenyar listrik — tubuhmu sudah diset untuk bergerak tanpa banyak telisik.

Kalau saja mengakrabi sepi bisa menghasilkan gelar akademik di depan nama, dijamin saat ini kamu sudah mengantungi gelar Doktor seperti lulusan S3.

Sayang, jadi pengepul sepi hanya memberimu seikat sunyi yang khidmat kamu peluk hingga saat ini.

Mulai saat itu harapan-harapan baik kau panggil pulang. Satu persatu kau angkat mereka ke depan hidungmu, kau pandangi lama-lama. Kemudian tanpa banyak bertanya kau racah mereka kecil-kecil agar bisa masuk ke saku celana.

Di pupilmu air mata sudah membangun menara. Pada halaman depan rumahmu kuat terpancang pohon duka. Sepi, sekian lama jadi kawan paling setia

Sepi, sekian lama jadi kawan paling setia

Sepi, sekian lama jadi kawan paling setia via www.finchandfawn.com

Hapalanmu soal sakit dan bagaimana mengakrabi sepi sudah sampai pada level tertingginya. Kini kamu mengerti bagaimana nyeri akan merambat dari tengah dada ke kebasnya tangan setiap melihatnya meremehkan perhatian. Kamu sudah hapal di luar kepala bagaimana pucuk hidung meremang setiap namanya berkelebat di kepala.

Orang bilang kamu menyerah pada sepi dan sakit yang tak pernah alpa menghampiri. Kamu enggan berjuang mengalahkan keheningan yang meliputi hati.

Apa yang salah dengan mengakrabi sepi yang sedikit berbalut rindu? Tanganmu menyisip ke kantung celana, tempat racahan harapan-harapan baik tersimpan sekian lama. Kali ini kamu lebih memilih percaya pada firasat bahwa sesuatu yang menjanjikan akan datang pada akhirnya.

Kau tiriskan rendaman duka yang tertinggal di ember berjam-jam lamanya. Berjam-jam yang jauh lebih panjang drai perhitungan manusia biasa. Pada pohon duka yang gagah berdiri kau letakkan mereka. Dengan jujur kau akui sedihmu, ikhlas kau nyatakan sepimu — tapi bukan berarti kau tak sabar menunggu.

Kau sesap pahit kenangan yang kini datang dengan lebih santun. Alih-alih mengeluh kau malah menghitung tonjokan ke ulu hati yang datang beruntun. Duka dan sendiri tak lagi abu-abu di matamu. Mereka berubah jadi ungu, pink, bahkan biru lewat imajinasimu.

Tapi semenjak kau tahu kehilangan hanya butuh dilawan dengan doa — mulai saat itu kesepian tak lagi harus menyisakan air mata

Kesepian tak lagi harus menyisakan air mata

Kesepian tak lagi harus menyisakan air mata via www.finchandfawn.com

Tidak ada yang pantas disalahkan. Kalian hanya dua manusia yang berjalan di dua cabang berlainan.

Baginya harapan seperti energi terbarukan. Sedang bagimu, sejak saat itu, ia seperti anak hilang yang tak pernah lagi pulang.

Kalian dua manusia cerdas yang sama-sama tahu apa yang harus disudahi. Hanya sempat terlampau pengecut untuk berani menghadapi sendiri.

Bagimu harapan tinggi harus segera dipangkas sependek rambut tentara. Sementara baginya ia perlu belajar memperlakukanmu seperti manusia. Bukan warung makan Padang yang bisa didatangi seenaknya.

Hari-harimu jadi zombie yang tak bisa berpikir dengan akal sehat sudah lewat masanya. Kini kamu bisa memaksa diri bangun di pagi hari, meski namanya tetap belum terhapus dari hati. Impianmu perlahan mulai kau kejar lagi, walau sesekali kau bayangkan betapa nyaman jika ia ada di sisi untuk mendampingi. Perlahan kau mulai bisa hidup untuk diri sendiri, meski jujur kau tahu kau bukanlah orang yang sama lagi.

Seklise apapun kedengarannya kekuatan tak lain datang dari doa-doa kecil yang kau uarkan ke udara. Kau percaya doa menguatkanmu, tanpa sentuh tangan langsung doamu pun mengasihinya. Dalam tiap sujud dan tangkup tangan kau sisipkan namanya ke telinga Sang Pencipta. Berharap Ia mendengar permohonan HambaNya yang tak punya daya.

Satu-dua kali sepi tetap terasa menyiksa. Namun kini doa sudah bisa menanakkan air mata. Kawanan air mata yang dulu datang tanpa diminta sekarang lebih tahu sopan santun bertamu. Mereka tak lagi terlampau rutin mengunjungimu.

Tak ada kesedihan yang pantas disantuni. Hati tabahmu pun mengerti kau pantas mendapatkan lebih dari yang gigih kau perjuangkan saat ini

Kini kau mengerti tak ada kesedihan yang pantas disantuni

Kini kau mengerti tak ada kesedihan yang pantas disantuni via www.finchandfawn.com

Sepanjang liku jalan ini kau belajar. Kau hanya boleh menengok lagi pada ia yang bisa menjaga hati. Karena kebanyakan manusia lebih menghargai ia yang hengkang tanpa pernah melongok lagi.

Kini kau tahu, beberapa mereka yang memilih pergi memang tak ingin melihatmu jungkir-balik jumpalitan mengusahakannya kembali. Bagi mereka kamu hanya tanah lapang persinggahan, persimpangan yang harus dilalui. Dan betapa bodohnya dirimu jika keras kepala memperjuangkan ia yang bahkan tak mau lagi sekadar menitip hati.

Kau pernah hidup berjubah rindu. Sajak-sajak pilu sempat berloncatan tanpa henti di kepalamu. Tapi kini kau tahu, kesedihan macam ini tak pantas disantuni. Tiba saatnya kau hidup dengan gagah berani.

Kini kamu tak ingin berdebat siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertandingan soal perasaan. Telah tuntas kau makamkan berbatang-batang perdu kesepian. Jika sepi memang sudah tertakdirkan sampai hari bahagia itu datang, mengelabuinya dengan kehangatan semu justru bisa jadi sebuah kejahatan.

Sedang kamu, dan hati tabahmu bukanlah pecundang.

(Tuhan tak akan menabahkan hatimu tanpa rencana. Sekarang giliranmu bertahan sekuat tenaga)

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.