Keresahan Seorang Anak Saat Ibu Sedang Rindu, tapi Tak Bisa Segera Mudik. Maaf ya, Bu

“Semestinya itu sakit, Ma … mencuci baju dengan tangan sendiri, sementara pasti di dapur kecil masakanmu hampir matang di wajan, nasimu hampir tanak dan matahari makin tinggi … kamu ke sana ke mari dalam kerepotan. Payah … aku belum bisa mudik sekarang, membantumu biar ringan hari ini”

Hari ini ibu menelepon, katanya dia rindu kepadaku, “tahun baru pasti sepi nggak ada kamu” katanya lalu. Sebenarnya sudah ada rencana untuk mudik sebulan yang lalu, tapi ada saja kesibukan menyita waktu untuk berjumpa dengan ibu. Pasti Ibu sedang beneran rindu, atau selalu rindu. Kalau bisa, kesibukan kerja ini bisa kulunasi, karena aku juga rindu masakan ibu, bukan hanya itu … aku rindu melihatnya memasak, lengan bajunya yang dia lipat tiga kali. Jelas, ada kerja ikhlas di sana. Jika aku membantunya … pasti berantakan.

Begini, biar rindu tak berbahaya dan bisa lunas sedikitnya seujung kuku, mari akan kukenalkan pada ibuku, beliau yang terbaik. Ibuku pendiam, sedikit dia bicara di depanku. Ibu sebenarnya banyak bicara dalam hati, aku yakin. Dulu saat aku menangis karena terjatuh dari sepeda, dia mengusap wajahku, meniup lukaku … dia diam saja, hanya tersenyum. Tapi dalam hatinya pasti selalu bicara, dia pasti menyebut-nyebut namaku dengan rasa sayang paling kasih lalu membanggakan diri saat aku kembali tersenyum.

Waktu itu aku belum paham soal rindu, tapi ibu sudah tahu kalau besar nanti aku pasti harus hidup sendiri, seperti sekarang ini. Aku cuma bisa begini, di perantauan mengadu nasib seperti ini, bahkan beberapa nasihat ibu sering aku biarkan begitu saja – padahal doa ibu tak temu putus.

Belum bisa mudik, bukan ongkos yang jadi beban. Pekerjaan ini menyita waktu, tapi bulan depan pasti bisa ketemu Ibu

“Maaf ya, Ma … belum bis bantu-bantu mama di rumah … “ via unsplash.com

Sebenarnya cukup dekat, dari kota ini ke teras rumah ibu hanya 6 jam perjalanan darat. Aku menolak mudik bukan berarti aku menolak rindunya. Hari ini ada banyak pekerjaan, besok juga masih sama. Aku takut badanku yang ringkih ini sakit, membuat ibu khawatir sementara pekerjaan juga urung rampung. Ibu tak mungkin ke sini, dia harus mengurus adik, membentuk adik seperti aku. Tapi semoga nasib adik lebih baik, dan selalu dekat dengannya.

Bagaimana bisa menolak rindu ibu … kalau saja kesibukan di sini tak ada urusan dengan orang banyak. Pasti aku mudik segera

“Sibuk terus, Ma …” via unsplash.com

Ibu selalu rindu, mungkin setiap pagi dia selalu teringat pagi di hari yang lain, di mana aku terlahir ke dunia dengan tangisan kasih yang mengharu biru di ngiang telinganya. Kalau saja kesibukkan ini tak ada urusannya dengan orang banyak, aku segerakan untuk mudik. Tapi ibu pernah bilang, soal hidup di dunia, urusan banyak orang jauh lebih penting ketimbang urusan diri sendiri yang puasnya juga dinikmati sendiri.

Selalu takut kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan ibu … semoga ibu selalu sehat dan bahagia

Ingin rasanya selalu bersama beliau setiap hari … . via unsplash.com

Aku harusnya selalu di rumah, merantau adalah keputusan yang salah tapi kalau tak begini kata ibu; kamu tak bisa menikmati sari pati hidup. Tapi gara-gara merantau juga aku selalu ketakutan akan suatu waktu datang berita buruk tentang kepergian ibu. Aku tak bisa membayangkannya, itu pasti sangat menyakitkan dan baiknya kusingkirkan pemikiran itu. Hari ini dan ke depan aku mau fokus di perantauan, paling tidak ini caranya membuat ibu bangga, walaupun sejatinya kegagalanku tetap saja mendapat senyuman dari ibu. Ajaib!

Mudik besok pasti bisa berlama-lama di rumah. Semakin tua begini rasanya banyak penyesalan dulu sewaktu muda banyak keluyuran

Semoga ayah dan ibu di rumah selalu sehat dan bahagia … . via unsplash.com

Sewaktu muda dan jam-jam hanya diisi dengan acara nongkrong, berkelana mencari cinta. Hari ini aku sadar kalau aku jarang di rumah, sehabis acara keluyuran itu pasti langsung tidur, ibu sudah tidur lebih dulu. Pagi harinya aku bangun, meyantap masakan ibu, mandi dan masuk sekolah. Sore hari pulang ke rumah, sibuk dengan mainanku sendiri. Setelah dipikir aku hanya bisa bertatap muka dengan ibu selama rata-rata 5 jam sehari. Tak ada yang intim, aku melupakan doa-doanya setiap dia beribadah, melupakan air mata yang keluar saat dia melahirkanku. Ya ampun, setelat ini aku menyadarinya.

Kabar baik selalu ada di sini, tak usah khawatir dan ragu. Seperti kata ibu, aku bisa meski sendiri!

Aku baik-baik saja, Ma … . via unsplash.com

Untung aku mewarisi ketangguhan ibu. Tapi lucunya aku juga mewarisi kecemasan ibu, dia selalu cemas denganku, aku juga begitu sebenarnya. Kalau sudah saling mencemaskan begini, kami ingin bertemu tapi lagi-lagi karean kami berdua merasa tangguh maka dengan menipu diri kami bilang; kami tak sedang rindu. Tapi selalu berbeda ketika kami lama tak bertemu, kami jadi sepasang sahabat yang tak bisa lepas. Bedanya, dia bisa memasak, dia tak pernah bilang sakit, dia selalu bangun pagi lebih dulu, dia tahu lebih dulu akan segala ketidaktahuanku. Itu ibu yang aku sayangi.

Aku baru sadar, aku jarang melihatnya makan, dulu beliau selalu yang terakhir menyantap masakannya. Aku sudah kenyang, bapak sudah kenyang lalu tahu-tahu piring sudah bersih kembali dan meja makan sudah rapi. Apa yang kulewatkan? Aku melewatkan kasih sayang yang dirangkainya dengan sangat lembut dan pelan sehingga setiap pasang mata di rumah selalu buta. Ibu selalu ada dan kami menghilang begitu saja. Bulan depan harus mudik, tak perlu bawa sesuatu apapun karena ibu selalu meyakinkanku kalau kebahagiaannya adalah jiwa dan badanku, tak perlu materi yang begitu-begitu. Sayang kamu, Ibu!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Kertas...