5 Realita Miris yang Dihadapi Perempuan di Dunia Kerja. Mana yang Pernah Kamu Alami Juga?

Perempuan dunia kerja

Sebagai perempuan, pernah nggak sih kamu mengalami hal yang nggak adil di tempat kerja? Mungkin sebagian dari kita bakal menjawab iya. Sebab walaupun kita hidup di zaman modern, masih ada orang-orang yang berpikiran kurang terbuka. Mereka menganggap perempuan sebagai pekerja yang lebih lemah dan kurang kompeten kalau dibandingkan laki-laki. Padahal realitanya nggak begitu. Sebab, profesionalitas seseorang nggak ditentukan oleh gender.

Namun sayangnya, masih banyak perempuan yang menerima perlakuan kurang adil di tempat kerja. Bahkan mungkin mereka berada di sekitarmu. Untuk memahami realita miris yang mereka alami, Hipwee telah mewawancarai 5 perempuan. Mereka bercerita tentang pengalaman masing-masing di tempat kerjanya. Yuk kita simak, sambil belajar tentang kesetaraan perempuan.

1. Dibandingkan laki-laki, pakaian yang dikenakan perempuan lebih “diperhatikan” di tempat kerja. Seolah pakaian itu berpengaruh pada kinerja mereka

Dinilai berdasarkan penampilan via unsplash.com

“Di tempat kerjaku dulu, penampilan pegawai cewek diperhatiin banget. Padahal yang cowok enggak. Kalau ada cewek yang pakai baju ngepas bodi, dikasih komentar cabul sama atasan.” – Flo, 24 tahun

Para perempuan di kantor Flo yang dulu merasa nggak nyaman dengan perlakuan itu. Namun karena yang berkomentar cabul adalah atasan, mereka nggak bisa berbuat banyak selain saling curhat. Nggak ada yang berani mengadukan ke HRD juga. Mirisnya, fenomena seperti ini masih sering ditemukan di tempat kerja.

Pilihan perempuan untuk mengenakan pakaian tertentu seolah perlu dipertanyakan. Ada kalanya mereka yang berpakaian seksi dianggap “menggoda” untuk mendapat kemudahan dalam bekerja. Namun di sisi lain, mereka yang berpakaian biasa saja dianggap kurang berusaha untuk melancarkan kariernya. Perempuan pun menjadi serbasalah. Padahal bagi mereka, pakaian hanyalah sarana untuk mengekspresikan diri.

2. Perempuan bisa dianggap kurang kompeten akibat stereotip tertentu. Padahal, setiap perempuan mempunyai sifat yang berbeda dan tak bisa disamakan

Mendapat stereotip tertentu via unsplash.com

“Aku punya jabatan yang lumayan penting di kantor dan udah punya beberapa anak buah. Tapi mentang-mentang aku cewek, mereka kayak ngeremehin aku gitu. Bahkan ada yang bilang kalau aku kurang kompeten, karena biasanya cewek tuh baperan.” – Farah, 27 tahun

Farah merasa kurang dihargai oleh anak-anak buahnya. Sebab mereka telanjur memercayai stereotip kalau perempuan terlalu emosional sehingga sulit mengambil keputusan yang benar. Padahal sebagai profesional, Farah menggunakan data-data dan logika dalam bekerja. Namun usahanya itu dikerdilkan oleh stereotip yang telanjur beredar di masyarakat. Akibatnya, sebagian perempuan sulit meraih posisi sebagai pemimpin. Sebab perusahaan mereka mengutamakan laki-laki yang dianggap lebih stabil dan kompeten, padahal belum tentu realitanya seperti itu.

3. Hanya karena perbedaan gender, terkadang perempuan dan laki-laki menerima besaran gaji yang berbeda. Padahal jabatan dan beban kerjanya sama

Pekerja perempuan dan laki-laki via unsplash.com

“Dulu aku pernah kerja di apotek. Biasanya, kami punya jadwal ngecek stok semua produk di toko maupun gudang. Lama banget deh, dari pagi sampai pagi lagi. Tapi yang dapet bonus dari kerjaan itu cuma pegawai cowok, yang cewek nggak dapet. Padahal beban kerjanya sama.” – Naira, 21 tahun

Naira bercerita kalau pekerjaan tersebut sangat melelahkan, sebab berlangsung selama beberapa hari. Bahkan para pegawai hanya bisa tidur bergantian selama 2-3 jam. Namun anehnya, hanya laki-laki yang mendapat uang bonus lembur, sedangkan perempuan nggak memperolehnya. Padahal beban kerja mereka sama. Mulai dari mencatat stok, menata barang, dan lain-lain. Namun sepertinya, atasan mereka beranggapan kalau lelaki bekerja lebih keras karena fisiknya lebih kuat. Lantas apakah tenaga yang dikeluarkan perempuan nggak layak dihargai juga?

4. Terkadang, posisi perempuan menjadi terpojok karena adanya relasi kekuasaan. Masih banyak perempuan yang menerima pelecehan seksual dari atasannya

Rentan mengalami pelecehan via unsplash.com

“Aku pernah ngobrol berdua sama bosku tentang pekerjaan. Rasanya kurang nyaman karena obrolan dia jadi mesum. Apalagi di tengah pembicaraan, dia berusaha merangkul bahuku.” – Rani, 25 tahun

Dalam situasi genting itu, syukurlah Rani segera menghindar sehingga pelecehan tersebut nggak berlanjut. Namun dia nggak berani melaporkan perbuatan bosnya pada pihak perusahaan. Sebab, Rani khawatir sang bos akan membalas dengan cara mempersulit kariernya. Dilema ini masih dialami oleh banyak perempuan di tempat kerja. Akibat adanya relasi kekuasaan, mereka seolah ditekan untuk diam saja saat menerima pelecehan seksual. Sebetulnya kondisi ini bisa dihindari asalkan perusahaan mempunyai kultur yang sehat dan kebijakan yang ramah karyawan.

5. Setelah berumah tangga, seolah perempuan dianggap lebih nggak berdaya. Kesempatan kerja mereka dibatasi, padahal belum tentu kinerjanya lebih buruk

Nasib yang dihadapi perempuan via unsplash.com

“Beda sih setelah menikah. Rasanya perusahaan lebih cuek ke aku. Kalau ada kesempatan, yang diduluin biasanya orang-orang yang belum menikah. Padahal belum tentu mereka lebih ahli daripada aku.” – Shanti, 26 tahun

Saat masih single, Shanti merasa diberi lebih banyak kesempatan dan tantangan oleh tempat kerjanya. Namun setelah menikah dan berencana punya anak, dia merasa agak diabaikan. Sebab perusahaannya lebih mengutamakan orang-orang yang belum menikah untuk menggarap proyek baru atau mendapat promosi. Mereka dianggap mempunyai lebih banyak waktu dan tenaga. Padahal, belum tentu realitanya begitu. Perempuan yang sudah menikah dan punya anak justru bisa bekerja lebih efektif karena harus mengatur banyak hal sekaligus.

Namun sebetulnya, seberapa berpengaruh sih status pernikahan perempuan pada kariernya?

Pertimbangan dari perusahaan via unsplash.com

Untuk menjawab pertanyaan ini, Hipwee mengobrol dengan seorang HR Executive bernama Armando (29 tahun). Saat Armando mewawancarai calon pegawai perempuan, dia merasa perlu bertanya, “Apa kamu bakal menikah dalam waktu dekat?” Sebab jawaban mereka akan berpengaruh pada perusahaan. Kalau seorang pegawai perempuan menikah dan hamil, dia akan mendapat cuti berbayar selama 3 bulan. Selama cuti tersebut, beban kerjanya akan dilimpahkan pada karyawan-karyawan lain sehingga perusahaan menjadi lebih kerepotan.

Lantas siapa yang lebih dipilih Armando, calon pegawai perempuan yang berencana menikah dalam waktu dekat atau yang tidak? Dia berkata kalau yang manapun sebetulnya nggak masalah, asalkan perusahaan berada dalam kondisi “ideal” alias nggak kekurangan orang. Berbeda halnya kalau perusahaan sedang kekurangan tenaga. Dia mengutamakan calon pegawai perempuan yang nggak berencana menikah dalam waktu dekat, supaya mereka nggak semakin kerepotan.

Armando berkata kalau dia nggak bertanya seputar pernikahan pada calon pegawai laki-laki. Sebab walaupun mereka menikah dalam waktu dekat dan istrinya melahirkan, jatah cuti yang diberikan hanya 1 minggu. Berbeda jauh dengan pegawai perempuan yang memperoleh cuti hingga 3 bulan. Itulah yang membuat status pernikahan perempuan lebih diperhatikan di tempat kerjanya.

Wah, ternyata ada alasan logis di balik perlakuan berbeda yang diterima pegawai perempuan. Namun sayangnya, hal tersebut nggak bisa ditemukan dalam semua kondisi. Adakalanya perempuan menerima perlakuan nggak adil hanya karena stereotip tertentu, atau karena kultur tempat kerjanya kurang baik. Apa yang harus dilakukan kalau kita mengalami hal seperti itu? Tetaplah bekerja dengan baik untuk membuktikan kalau kita profesional. Usahakan juga untuk minta bantuan dari pihak HRD. Kalau nggak ada penyelesaian dari perusahaan, pertimbangkan untuk pindah ke tempat kerja lain yang lebih menghargai kita sebagai perempuan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Tinggal di hutan dan suka makan bambu

Editor

Learn to love everything there is about life, love to learn a bit more every passing day