Pria selingkuh karena ego, benarkah?
Sampai saat ini, kasus perselingkuhan yang dialami oleh Tiktokers dan Selebgram Dilan Janiyar masih hangat dibicarakan, dan tentunya kembali menyulut perdebatan publik soal mengapa pria berselingkuh.
Di podcast Denny Sumargo, Dilan mengungkap pernyataan yang memicu diskusi luas: “Selingkuh itu bukan hanya karena kekurangan, tapi karena kelebihan juga bisa. Mungkin dia tidak merasa menjadi laki-laki ketika bersamaku. Dia mencari perempuan yang jauh di bawah aku, atau jauh di bawah dia, untuk membuat dia merasa menjadi laki-laki.”
Pernyataan ini membuka ruang analisis yang lebih dalam. Benarkah pria berselingkuh karena ego rapuh? Apakah keinginan untuk merasa dominan dan superior mendorong pria mencari validasi melalui wanita lain? Yuk kupas 9 bukti ilmiah yang memperkuat fenomena pria selingkuh karena ego rapuh dan kebutuhan akan dominasi, bukan sekedar karena cinta dan kesempatan.
1. Maskulinitas Tradisional dan Kebutuhan Akan Dominasi
Penelitian menunjukkan bahwa pria selingkuh karena ego cenderung memegang nilai maskulinitas tradisional serta menunjukkan perilaku berisiko, termasuk perselingkuhan. Mereka ingin membuktikan “kejantanannya” melalui dominasi terhadap wanita, bukan melalui kedewasaan emosional, sehingga ketika ia merasa dominasinya diambil alih oleh seorang wanita, sisi egonya tidak terima dan berusaha mencari pelarian.
2. Krisis Identitas Lelaki dalam Hubungan Setara
Studi dalam jurnal American Sociological Review menemukan bahwa pria merasa terancam ketika pasangannya memiliki status sosial atau pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini bisa memicu krisis identitas dan dorongan untuk mengembalikan “keseimbangan” dengan mendominasi pasangan baru yang dianggap lebih inferior. Terbukti, rata-rata pria berselingkuh dengan wanita yang jauh dari pasangan resminya.
3. Ego Rapuh Menolak Rasa Tak Berdaya
Psikolog evolusioner David Buss dalam bukunya The Evolution of Desire menyatakan bahwa banyak pria yang berselingkuh bukan karena hasrat seksual semata, melainkan karena tidak tahan merasa tidak dibutuhkan. Ego rapuh mendorong mereka mencari relasi di mana mereka bisa kembali merasa berharga dan diinginkan.
4. Validasi Maskulin Lewat Perempuan Lain
Penelitian dari Rutgers University menunjukkan bahwa pria seringkali menggunakan perselingkuhan sebagai cara untuk mendapatkan validasi maskulin dari perempuan lain. Dalam kasus Dilan, ini sejalan dengan pernyataannya bahwa pria bisa selingkuh karena ingin kembali merasa seperti “laki-laki sejati“
5. Ketimpangan Emosional dalam Relasi Modern
Dalam hubungan modern yang setara secara emosional, pria kadang merasa kehilangan “peran dominan“. Studi oleh Pew Research menunjukkan bahwa pergeseran peran gender dalam rumah tangga membuat sebagian pria merasa kehilangan arah, dan beberapa memilih mencari relasi lain sebagai kompensasi.
6. Sindrom Superioritas Palsu
Psikolog sosial Dr. Roy Baumeister dan rekan-rekannya dalam studi mereka yang berjudul Too Proud to Let Go: Narcissistic Entitlement as a Barrier to Forgiveness mengidentifikasi bahwa individu dengan tingkat entitlement narsistik yang tinggi cenderung memiliki harapan untuk diperlakukan secara istimewa dan fokus pada pembelaan hak-hak mereka. Studi ini menunjukkan bahwa entitlement narsistik dapat menghambat kemampuan untuk memaafkan dan meningkatkan konflik interpersonal.
7. Perselingkuhan sebagai Respons terhadap Krisis Identitas Maskulinitas
Dalam artikel “The Emotional Needs of a Cheating Husband” yang diterbitkan di Psychology Today, dijelaskan bahwa bagi banyak pria, pujian dan validasi sangat terkait dengan performa maskulinitas mereka. Ketika mereka kehilangan pekerjaan atau merasa diabaikan di rumah, hal tersebut tidak hanya dianggap sebagai penolakan, tetapi juga sebagai ancaman terhadap maskulinitas mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ketika pria merasa maskulinitas mereka terganggu, mereka berusaha untuk mengembalikannya melalui berbagai cara, termasuk melalui hubungan di luar pernikahan dengan seseorang yang membuat mereka merasa “menjadi laki-laki” kembali.
8. Lingkungan Sosial yang Mendukung Pola Toxic Masculinity
Penelitian yang diterbitkan dalam The Journal of Sex Research menunjukkan bahwa sikap seksis, baik yang bersifat hostile maupun benevolent, merupakan prediktor signifikan terhadap perilaku perselingkuhan pada pria. Sikap-sikap ini mencerminkan norma-norma maskulinitas tradisional yang menekankan dominasi dan kontrol, yang dapat memperkuat narasi bahwa pria maskulin adalah pria yang mampu menaklukkan banyak wanita, terlepas dari status hubungan mereka.
9.Kurangnya Literasi Emosional dan Komunikasi
Penelitian dari University of Chicago menyimpulkan bahwa pria cenderung tidak diajarkan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Ketika konflik muncul dalam hubungan, mereka cenderung lari ke pelarian instan seperti perselingkuhan, karena itu membuat mereka merasa lebih “kuat” secara semu.
Fenomena pria selingkuh karena ego rapuh bukan sekadar mitos. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa banyak kasus perselingkuhan berakar dari krisis maskulinitas, perasaan inferior, serta kebutuhan akan dominasi semu. Apa yang diungkap Dilan Janiyar di podcast Denny Sumargo membuka mata publik bahwa selingkuh rata-rata tidak berakar dari kekurangan pasangan, melainkan dari ketidakdewasaan emosi dan ego dari seorang pria.
Perselingkuhan tidak akan bisa dihindari jika si pria tidak punya kesadaran sendiri untuk setia sampai akhir. Jadi, bagi kalian yang sedang menjalin hubungan serius bahkan ke jenjang pernikahan, pastikan pasanganmu merasa cukup “jadi laki-laki” Pastikan juga bahwa kamu tidak punya dorongan untuk mengontrol atau merasa dominan sebagai pasangan. Yuk ubah narasi — wanita sukses berhak mendapat lelaki sejati yang dewasa secara emosional dan laki-laki sejati bukan tentang siapa yang lebih tinggi, tapi siapa yang lebih dewasa dan bertanggung jawab dalam mencintai pasangannya. Bagaimana menurut kalian?