Surat Untukmu, yang Sedang Berjuang Demi Restu Orang Tuaku

“Masih berkelebat bayangan kemarin, saat kau mengatakan ingin menua bersamaku. Aku meremang malu. Kamu pun tahu – ini yang kutunggu dari dulu.

Tapi, kenapa aku malah ragu memandangi muka seriusmu? Kenapa frasa “aku juga mau” tak segera meluncur dari mulutku?

Ah, aku ingat ayah, ibu, dan keluarga besarku. Mereka yang sampai hari ini tak kunjung memberi restu. Mereka yang tak pernah setuju – jika aku memilih kamu.”

Hey kamu, yang juga sedang melewatkan hari-harimu dalam ragu

hey kamu, kesayanganku!

hey kamu, kesayanganku! via www.sincerelykinsey.com

Advertisement

Dua minggu sudah berlalu. Aku dan kamu sengaja tak luangkan waktu bertemu. Kita memang sepakat untuk sejenak rehat dahulu. Mencoba merenungi waktu, menahan hasrat agar tak melangkah dengan gegabah atau sekadar terburu-buru.

Kupikir akan mudah saja. Tapi ternyata, aku kelimpungan sedemikian hebatnya. Tak bisa bertemu kamu itu seperti puasa, tapi tanpa waktu berbuka. Maka, sengaja kukirim surat ini sebagai pengganti – kala sepi melumat hati, ketika rindu terus menderu.

“Apa kabarmu, pria sederhana yang berhasil membuatku jatuh cinta dan tergila-gila?”

Advertisement

Harapanku, semoga selama dua minggu ini hidupmu baik-baik saja. Semoga kamu bisa berangkat dan pulang kerja seperti biasa. Makan nasi goreng seafood di warung kaki lima yang biasanya, atau mengakrabi koleksi komik yang jadi hartamu nan paling berharga.

Semoga harapanku yang sederhana tak terdengar naif dan pura-pura. Aku tahu, setegar apapun kamu, pertemuan dengan keluarga besarku jelas sudah meluruhkan kepercayaan dirimu. Begitu hebatnya hingga berhasil menciutkan nyali dan keyakinanmu.

“Pertemuan itu adalah satu momen titik balik. Kita dipaksa bersabar dan kembali memikirkan segala sesuatunya baik-baik. Ibarat sebuah turbulensi, kita diguncang agar kian mantap sebelum melangkahkan kaki.”

Advertisement

Orang tuaku tak memberi restu. Bagi mereka, kemapanan, strata pendidikan, hingga latar belakang keluarga adalah pertimbangan utama. Ketika tak bisa memenuhi semuanya, mustahil kita diizinkan hidup bersama

ketika kita tak direstui untuk bersama

ketika kita tak direstui untuk bersama via www.sincerelykinsey.com

Aku tahu. Memilih pendamping hidup bukanlah perkara sederhana. Jika saat ini aku berani memilih kamu, itupun lantaran kita sudah menjalani masa pacaran sekian lama. Sayangnya, orang tuaku tak lantas begitu saja percaya. Mungkin, mereka pikir aku masih gadis belia yang minta dinikahkan lantaran sedang dimabuk cinta.

Iya, aku memang mabuk, Sayang. Aku tergila-gila pada kamu yang sekadar pria sederhana. Seorang pria yang bisa dengan hebatnya membuatku jatuh cinta lewat cara-cara yang biasa. Meski bukan anak orang kaya, sekalipun tidak kuliah di kampus ternama, dan belum punya penghasilan besar yang bisa membuat dirinya sendiri berbangga.

“Tapi, bukankah hubungan kita tak pakai hitungan matematika? Cinta tak berdasar pada materi atau hukum jual beli, dan perasaan selayaknya tak menghitung untung rugi?”

Maaf Sayang, orang tuaku bukannya bersikap keterlaluan. Mungkin, mereka justru sekadar berlaku normal seperti orang tua yang lainnya. Mencecar soal jumlah penghasilan dan silsilah keluargamu pasti mereka anggap hal biasa. Mereka hanya ingin memastikan, kelak anak gadisnya tak akan hidup sengsara.

Bagi orang tuaku, kamu memang bukan calon menantu idaman. Tapi bagiku, kamulah pasangan yang aku yakini bisa menggenapkan

kamulah pasangan yang menggenapkanku

kamulah pasangan yang menggenapkanku via www.sincerelykinsey.com

Kita bukan lagi remaja belasan. Di usia yang lebih dari seperempat abad, kita mengerti betapa sakralnya sebuah pernikahan dan betapa kudusnya momen melangkahkan kaki ke pelaminan. Kita pun paham bahwa hidup berumah tangga pastilah akan melewati berbagai ujian dan cobaan.

“Menikah adalah keputusan yang sepatutnya diambil sekali seumur hidup. Janji yang harus ditepati dan komitmen yang pantas dijaga sampai mati.”

Apapun yang nanti harus dihadapi, aku sudah memilih kamu. Kamu pun meyakini bahwa akulah yang ditakdirkan untuk mendampingimu. Kita sudah demikian mantap, pun sama-sama siap. Maju menjejak ke kehidupan baru; dimana dalam susah maupun senang, selamanya kita akan bersatu.

Sayangnya, sekadar niat dan keyakinan nyatanya belum berarti apa-apa. Semakin kita berusaha, restu dari mereka tetap tak kunjung kita terima. Mungkin benar, orang tuaku hanya butuh bukti nyata. Mereka yang berharap anak gadisnya dijemput dengan mobil dan bukan motor roda dua. Mereka yang ingin punya menantu sarjana, bukan seperti kamu yang hanya tamatan SMA.

“Tapi bukankah kita sudah sama-sama dewasa? Menikah memang tak sekadar modal cinta dan berdua kita tak putus-putus berusaha. Dari mereka, kita hanya butuh doa dan sekadar rasa percaya.”

Maaf Sayang, jika kata-kata dan sikap mereka menyakitkan. Tapi kamu tak akan sendirian. Percayalah, aku rekanmu seperjuangan.

butuh perjuangan demi mendapat restu orang tua

butuh perjuangan demi mendapat restu orang tua via www.sincerelykinsey.com

Kukirim surat ini bukan sekadar sebagai penawar rindu. Surat ini pula yang jadi perantara ucapan maafku untukmu. Maafkan aku yang tak punya mental sekuat baja; yang hanya bisa menangis kala mereka menyudutkanmu dengan sedemikian kerasnya.

Semoga hatimu tak sesakit yang aku bayangkan. Semoga kamu tetap bisa tangguh dan aku andalkan. Maaf Sayang, sejenak kita harus menghentikan perjalanan. Ibarat pendakian, kita hanya sedang sejenak istirahat sambil menikmati pemandangan sebelum mendaki puncak.

Harapanku, semoga kamu tak akan mundur walaupun selangkah. Semoga pertemuan dengan mereka tak membuat pikiranmu berubah. Dan semoga kita masih punya semangat yang sama besarnya untuk segera menikah. Mari bergandeng tangan denganku. Kita berjibaku meyakinkan mereka agar segera memberi restu.

“Percayalah kamu tak akan sendirian, Sayang. Ada aku yang akan jadi rekanmu seperjuangan.”

Aku mencintai kamu, pun mereka yang berjasa besar dalam hidupku. Mungkin kita hanya harus menunggu, biarkan waktu yang kelak mengirim restu

kamu tak akan berjuang sendirian

kamu tak akan berjuang sendirian via www.sincerelykinsey.com

Akulah yang dalam-dalam mencintaimu. Berharap kamu bisa segera jadi pendamping hidupku. Namun, kala orang tuaku belum juga memberi restu, tak ada yang lebih baik selain menunggu. Karena tak sedikit pun terlintas di pikiranku untuk mengabaikan mereka, memaksakan keadaan semata-mata demi kebahagiaan berdua.

Bagaimana pun, restu mereka lah yang akan menjadikan rumah tangga kita melimpah berkah. Bertahan lah, karena pasti ada jawaban untuk doa-doa yang kita rapal tanpa lelah. Bersiap lah, karena kelak langkah kita akan semakin mudah.

Berjanji padaku Sayang, jangan pernah berhenti berjuang demi aku dan niat baik kita. Yakinlah, bersama pasti kita bisa mewujudkan bahagia. Percayalah bahwa menikah denganku bukanlah angan-anganmu semata.

Dari aku,

Kekasih yang berharap segera menyandang nama belakangmu

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka kopi, puisi, band beraliran folk, punya hobi mikir dan pacaran di bangku taman.

CLOSE