5 Kebiasaan Mendidik Anak Yang Keliru

Tidak semua kebiasaan itu baik atau benar, tapi membiasakan yang benar yang harusnya dilakukan

Ada hal yang kita alami sebenarnya keliru tanpa kita sadari. Yaitu membenarkan yang biasa dilakukan, walaupun terkadang kebiasaan itu keliru. Seharusnya kita membiasakan yang benar. Dan ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari. hipers berikut saya jelaskan beberapa hal khususnya dalam mendidik anak-anak kita. Eits, ini bukan untuk orang tua aja ya hips.. kamu juga perlu tahu juga nich…

Advertisement

1. Seharusnya memberi kebahagiaan bukan menuntut anak

Photo by Aaron Burden on Unsplash

Photo by Aaron Burden on Unsplash via https://unsplash.com

Orang dewasa seharusnya berkewajiban memberikan kebahagiaan kepada anak-anak. Namun kenyataannya, anak-anak seringkali justru dituntut untuk memberikan kebahagiaan kepada orangtuanya. Padahal masih TK. Ini biasa disebut dengan Hyper Parenting. Kenyataannya banyak orangtua yang menganggap anaknya pintar dan baik kalau mereka melakukan sesuai harapan orangtuanya. Jika tidak dianggap anak yang membangkang, anak nakal dan sebagainya. Justru berbahaya karena bisa merusak mental anak sampai dewasa nantinya. Hati-hati ya namanya juga anak-anak kan. Karena anak-anak itu waktunya untuk bermain dan diberikan contoh yang baik. Tepatnya diajarkan cara berperilaku yang baik. Seperti saling menghormati diantara sesama, antri, membuang sampah pada tempatnya, belajar menyebrang jalan. Hal-hal dasar yang justru orang dewasa sering melanggar. Padahal sederhana dan berdampak besar sekali. Anak-anak ini memang belum waktunya untuk belajar membaca, berhitung, apalagi menghafal. Kalau dipaksa, lebih parah lagi nanti akibatnya.

2. Bermain adalah belajar secara sukarela

Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Photo by Tim Mossholder on Unsplash via https://unsplash.com

Anak-anak itu sukanya bermain. Itu adalah cara mereka untuk mengenal lingkungan, bisa beradaptasi dengan kondisi sekitarnya. Anehnya dan ini menjadi kebiasaan. Anak sekecil itu justru dibatasi waktu bermainnya. ini akan fatal akibatnya jika mereka sudah besar nanti. Anak-anak dipaksa untuk memahami pelajaran yang sulit dipahami dan memang didesain untuk sulit dipahami. Ketika mereka ditanya gurunya tentang materi tertentu, si anak lupa lantas dia buka buku dan dimarahi gurunya. Harusnya biarkan mereka baca bukunya tapi paham daripada hafal tapi tidak paham. Betul apa betul hips? Akibatnya kita bisa lihat hari ini. Contohnya mahasiswa diberikan tugas membuat presentasi. Harusnya isinya berupa poin-poin, mereka justru copas dari internet. Ketika maju presentasi dibaca pula. Mereka tidak mengutarakan isi presentasinya dengan pemahaman mereka sendiri. Karena kecilnya mereka dipaksa untuk menghafal saja.

Advertisement

3. Ingat parents anak-anak itu unik lho tidak ada yang sama

Photo by Ivan Aleksic on Unsplash

Photo by Ivan Aleksic on Unsplash via https://unsplash.com

Kebiasaan berikutnya adalah menyamakan atau menstandarkan bahwa semua anak-anak itu harus sesuai standarnya. Sementara kita semua tahu bahwa anak-anak itu unik secara individunya. Beda-beda kemampuan dan kecerdasannya. Makanya Howard Grdner sendiri mengatakan bahwa ada kecerdasan majemuk. Tiap anak beda-beda kecerdasannya. Tidak bisa disama ratakan hips. Ada anak yang pintar menggambar, ada anak pintar olahraga sepak bola, ada anak yang suka fisika. Yang pintar olahraga nilai fisikanya kecil. Ada yang matematikanya pintar tapi olahraganya kurang. Bagaimana ceritanya anak-anak manusia ini yang spesifik dan unik ini diseragamkan tata kelakuannya? suatu ketika Einstein ditanya oleh jurnalis: Mengapa anda jenius di bidang fisika? lalu dijawab Saya memang Jenius di bidang fisika, tapi ada orang lain yang jenius di bidang olahraga, ada orang jenius di bidang seni. Nah anak-anak kita tidak diterima seperti itu. Karena kebiasaan lama yang tidak relevan lagi. Standarisasi itu memang penting hanya sebagai pedoman tapi bukan dijadikan alat untuk menilai kemampuan dan masa depan anak.

4. Belajar yang dibutuhkan itu yang efektif

Photo by Alexander Grey on Unsplash

Photo by Alexander Grey on Unsplash via https://unsplash.com

Belajar yang paling efektif itu belajar yang dibutuhkan. Kalau tidak butuh tidak usah dipelajari. Kalaupun dipelajari jangan dipaksakan. Kenyataannya tidak begitu hips. Kebiasaan memaksakan pelajaran harus tuntas tetap saja dilakukan. Padahal nyata-nyata tidak efektif justru membuat anak-anak berontak dan terjadilah pelampiasan emosi di luar sekolah yang sering kita lihat. Seperti tawuran dan kawan-kawannya. Kebanyakan orang dewasa tidak menyadari dan tidak mau disalahkan. Tuhan telah memberikan kita naluri, atau insting atau apapun namanya. Jadi ketika anak laki-laki lahir misalnya, bisa berdiri, bisa berjalan sampai berlari. Diberi testosteron. Maka anak laki-laki itu suka berkompetisi suka main bola. Anak perempuan juga begitu mereka lebih suka berkata-kata bermain emosi. Suka mengasuh bayi palsu. Karena mereka nantinya akan menjadi ibu. Bukannya anak dilarang main boneka malah disuruh belajar biologi karena lebih teoretis. Anak laki-laki dilarang main bola justru disuruh belajar fisika misalnya. Padahal dengan bermain tadi, mereka sedang belajar. Bagaimana itu sportif, disiplin dalam bermain bola. Itu belajar praktek langsung.

5. Belajar dari negara tetangga

Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Photo by National Cancer Institute on Unsplash via https://unsplash.com

Setelah bebrapa kebiasaan dan kelucuan di atas. Sekarang kita berikan solusinya. Yaitu belajar dan meniru model pendidikan negara-negara tetangga kita. Ada Singapura, Austalia, Vietnam. Tetapi orang Indonesia tidak mau meniru itu. Karena orang Indonesia itu membenarkan kebiasaan bukan membiasakan yang benar. Contoh, guru-guru di Australia kalau mereka mau jadi guru, mereka diberi latihan retorika, bagaimana menyampaikan pembelajaran dengan baik, menginspirasi dengan baik, mereka diberikan pendidikan psikologi anak.Agar mereka mampu memahami kebutuhan anak cara mendekati anak. Tidak membuat administrasi pembelajaran yang ribet. sampai dua rim seperti di Indonesia. Karena kita maunya ribet padahal sudah ada negara tetangga yang sistem pendidikannya sudah maju. Negara yang pendidikannya maju tadi tidak menyulitkan murid dan gurunya. Tidak heran mereka maju. Karena gurunya tidak stres dengan administrasi. Tapi fokus mengajar, mencerdaskan muridnya dan…. sejahtera. Semoga bermanfaat hips!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang guru di Sekolah Swasta

CLOSE