5 Bentuk Female Misogyny, Bukti Bahwa Perempuan Bisa Menjatuhkan Perempuan Lain

Apa itu Internalized Misogyny? Internalized Misogyny adalah istilah untuk orang atau kelompok yang memiliki ketidaksukaan, prasangka buruk dan kedengkian terhadap kaum perempuan, singkatnya Internalized Misogyny merepresentasikan kebencian terhadap wanita. Internalized Misogyny sering disamakan dengan seksisme, namun mereka memiliki definisi dan penggunaan yang berbeda.

Kebanyakan misoginis adalah laki-laki yang merasa memiliki superioritas gender dan menganggap bahwa gerakan perempuan untuk memperoleh kesetaraan akan menganggu keistimewaan yang dimiliki laki-laki. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga bisa menjadi misoginis, bahkan dibanding pria, perempuan lebih sering menjatuhkan perempuan lain tanpa disadari. Simak apa saja tindakan perempuan yang tanpa disadari termasuk Internalized Misogyny!

Advertisement

1. Pick Me Girl

girl in the dark

girl in the dark via https://pixabay.com

Pick me girl sering dilakukan perempuan untuk mendapat pengakuan bahwa dirinya lebih keren dan ‘langka’ dari kaum hawa lainnya. Hal ini dilakukan agar dapat perhatian oleh laki-laki sehingga ia bisa dicap berbeda.

Nyatanya pick me girl memiliki korelasi dengan Internalized Misogyny dimana perempuan merendahkan cara berpakaian, dandanan, atau kebiasaan yang biasa dilakukan oleh perempuan pada umumnya seakan-akan menjadi feminine adalah sesuatu yang tidak keren.

Advertisement

Rasanya diakui tomboy atau “one of the boys” merupakan suatu kebanggaan bagi pick me girl padahal tanpa disadari ia meremehkan perempuan lain untuk mendapatkan validasi tersebut.

2. Mengkritik keputusan yang tidak sejalan

Photo by Liza Summer from Pexels

Photo by Liza Summer from Pexels via https://www.pexels.com

Menjadi perempuan bukanlah hal yang mudah, ketika perempuan memilih menikah dan menjadi ibu rumah tangga, ia dinilai menyia-nyiakan masa lajangnya. Ketika perempuan tidak kunjung menikah, ia dituntut untuk segera menikah dan ditakut-takuti akan menjadi ‘perawan tua’.

Advertisement

Ketika perempuan menikah dan tetap bekerja, ia dituduh tidak mengabdi terhadap suami. Apalagi ketika perempuan memilih childfree, masyarakat mengecap dirinya orang tua yang egois.

Perempuan akan selalu salah di mata perempuan lain sehingga setiap pilihan yang ia buat akan selalu dikritik. Dibanding mengkritik keputusan mereka, Mengapa kita tidak saling memberi empati dan dukungan atas keputusan yang mereka buat?

3. Victim blaming

victim blaming

victim blaming via https://pixabay.com

Jelas tidak ada seorang perempuan pun yang ingin mengalami kekerasan seksual, mereka mengalami hal tersebut murni karena kejahatan pelaku, bukan karena mengundang dengan pakaian ketat, menggoda atau memancing untuk dilecehkan. Alasan mengapa banyak kasus pelecehan yang korbannya tidak berani melapor adalah karena adanya rasa tidak aman dari korban termasuk kecenderungan untuk disalahkan, ironisnya victim blaming juga tidak jarang dilakukan oleh sesama perempuan.

Perempuan seringkali tidak berempati dan justru menyalahkan korban karena tidak bisa menjaga diri, selain itu karena tidak mengalami hal serupa, kaum hawa bisa memberikan komentar jahat yang membuat korban merasa tidak berharga lagi setelah mengalami kekerasan seksual. Padahal ketika korban melapor, tandanya ia sedang mencari bantuan dan dukungan.

4. Meremehkan kemampuan perempuan lain

Photo by Tima Miroshnichenko from Pexels

Photo by Tima Miroshnichenko from Pexels via https://www.pexels.com

Terkadang perempuan tidak mau bekerja sama dengan sesama perempuan karena menganggap kinerjanya tidak akan sebagus laki-laki. Karena stereotip masyarakat menilai perempuan sebagai kaum yang dramatis dan sering bergosip, mereka jadi menilai bahwa perempuan tidak cukup ambisius untuk melakukan suatu pekerjaan dengan sempurna, bahkan karena streotip tersebut perempuan bisa saling meragukan kemampuan perempuan lain.

Tidak jarang karena adanya tuntutan dan ambisi jabatan, sesama perempuan bisa saling berkompetisi dan menjatuhkan yang lain agar mendapatkan posisi yang diinginkan.

5. Body shaming dan bullying

bullying

bullying via https://pixabay.com

Menurut ZAP Clinic dalam ZAP Beauty Index 2020 lebih dari separuh perempuan di Indonesia pernah mengalami body shaming. Perempuan adalah objek yang paling rentan terkena body shaming karena  dituntut untuk selalu terlihat cantik, perilaku body shaming ini semakin marak setelah adanya sosial media dimana bermodalkan fake account, seseorang dengan mudah mengkritik bentuk tubuh perempuan secara ofensif.

Melupakan istilah “woman support woman” sesama perempuan juga bisa tega menyerang fisik perempuan lain karena tidak sesuai dengan standar kecantikan yang mereka inginkan. Mereka sering lupa untuk meyaring komentar yang boleh diucapkan dan yang harus dipendam, padahal sesama perempuan harusnya saling memahami perasaan satu sama lain, apalagi body shaming yang dilakukan oleh perempuan lebih menyakitkan karena merasa diri kita tidak cukup baik dengan mereka.

Female misogyny adalah suatu masalah yang besar dalam lingkungan kita yang harus diberantas, mengkampanyekan dukungan kepada sesama perempuan adalah salah satu cara untuk mengurangi perilaku mysogyny, beruntungnya sekarang banyak perempuan yang semakin aware tentang masalah ini bahkan dari kalangan selebriti. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I am a night thinker

CLOSE