Stereotype Gender dan Pengaruhnya Terhadap Konsep Diri Perempuan

Banyak hasil penelitian menunjukan bahwasanya perempuan memiliki konsep diri yang lebih rendah jika dibandingkan laki laki. Stereotype yang terbentuk terkait perempuan seperti perempuan lemah, emosional, tidak rasional, dan lain sebagainya. Pelebelan masyarakat terkait hal tersebut mungkin dapat benar ataupun tidak, akan tetapi yang menjadi tanda tanya besar ialah apakah hal tersebut karena ia seorang perempuan?

Ataukah hal tersebut hanya merupakan bentuk konsep diri negatif yang ada dan terus terinternalisasi dalam diri perempuan? Berikut penjelasan lebih lanjutnya!

Advertisement

1. Apa itu stereotype ?

Photo by time management and productivity on youtube

Photo by time management and productivity on youtube via https://www.google.com

Stereotype ialah prasangka terkait segolongan orang dan dapat mempengaruhi persepsi serta penafsiran informasi atau data yang sudah diterima. Stereotype mengacu kepada kecenderungan dalam mempertahankan dan mengembangkan  persepsi yang  tidak dapat berubah dan sudah tetap terkait sekelompok manusia, serta menggunakan persepsi ini dalam mengevaluasi anggota suatu kelompok tersebut, namun mengabaikan karakterstik dari setiap individual yang unik.

Dalam keseharian yang dapat dikatan stereotype ialah ketika sejumlah orang membangun pendapat terkait suatu golongan  lain atau suatu objek tertentu serta bertindak sesuai dengan pendapat tersebut.

Advertisement

Prediksi umum yang diberikan kepada seseorang, suatu kondisi tertentu, atau sekelompok golongan tertentu. Prediksi umum ini berdasarkan konstruksi sosial yang dilekatkan pada seseorag atau sekolompok orang.

Contoh dalam realita yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari terkait stereotype  ini ialah ketika seorang  dosen ataupun guru yang bertemu dengan berbagai macamkelompok siswa siswi atau mahasiswa mahasiswi dengan berbagai kepribadian dan mengkategorikannya dengan konsep tertentu, seperti  siswa siswi  atau mahasiswa mahasiswi  malas, bodoh,  cerdas, dan rajin.  

Advertisement

Ketika seorang guru atau pun dosen mengkategorikan seorang anak atau sekelompok anak sebagai siswa siswi maupun mahasiswa mahasiswi yang cerdas, kemungkinan besar dosen ataupun guru tersebut akan terus mengikuti persepsinya secara konsisten. Dengan kata lain semua hal dan konsep terkait anak cerdas akan terus melekat dan ditempelkan pada pribadi seorang anak atau sekelompok anak tersbut, dan menjadi suatu stereotype.

Kemungkinan besar guru maupun dosen juga mengkomunikasikan hal tersebut baik secara verbal ataupun nonverbal persepsinya kepada  siswa-siswa terkait,hal tersebut berpengaruh kepada bagaimana cara pandang mereka terhadap diri mereka dan membentuk suatu konsep diri.

Demikian juga yang terjadi dalam stereotype yang dilekatkan kepada jenis kelamin baik laki laki maupun perempuan yang akan berdampak kepada tututan, harapan, dan perlakuan yang berbeda dari masyarakat.

Dalam praktek kesehariannya seperti biasanya perempuan sering dianggap lebih emosional, sensitif, tidak tegas, lebih rapih, sabar dan sebagainya sehingga dianggap lebih cocok untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya pelayanan  dan membutuhkan kesabaram seperti  guru, perawat, dan lain-lain. Sementara laki laki yang dianggap lebih kuat, tegas, kompetitif, dan lain sebagainya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

photo bye 123rf Who Am I Stock Photos and Images

photo bye 123rf Who Am I Stock Photos and Images via https://www.google.com

Hurlock menyatakan bahwa konsep diri ialah  gambaran seseorang tentang dirinya sendiri dan  merupakan gabungan dari  psikologis, keyakinan fisik, aspirasi, emosional, sosial dan prestasi yang dicapai individu.

Dari berbagai macam sumber terkait  pembentukan konsep diri yang ada, berikut menurut Burns terdapat lima faktor yang  dapat mempengaruhi konsep diri seseorang,  yaitu:

  1.  Body image atau Citra Tubuh

 merupakan evaluasi kepada diri sendiri  dalam hal fisik  sebagai  suatu obyek yang dengan sangat jelas berbeda.

    2. Bahasa

Bahasa merupakan kemampuan agar dapat memverbalisasikan diri dan mengkonseptualisasikan diri juga orang lain.

 3. Umpan balik

Umpan balik atau feedback dapat ditafsirkan melalui lingkungannya terkait bagaimana orang orang terdekat dan orang orang di sekitar dapat memandang pribadi kita  dan  bagaimana pribadi kita secara relatif hadir dan ada dalam   nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang bermacam-macam.

4. Mengidentifikasikan model peranan yang sesuai berdasarkan pada jenis kelamin secara biologis.

5.  Metode Pengasuhan

Metode pengasuhan dari orang tua sedikit banyak menentukan konsep diri seseorang anak.  Anak yang diasuh dan di didik dengan cara pola kelekatan yang meremehkan, takut, ataupun cemas akan berdampak kepada konsep diri sang anak yang berpandangan negatif terhadap diri dan lingkungannya.  

Sementara, seorang anak yang diasuh dan diperlakukan dengan pola kelekatan yang aman di mana orang tua penuh perhatian juga kasih sayang, anak menjadi yakin diri nya berharga dan akan memuliki konsep diri yang baik juga pandangan positif terhadap diri dan lingkungannnya.

Menurut Calhoun, yang menyatakan bahwa sumber informasi dalam perkembangan dan pembentukan konsep diri ialah sebagai berikut :

1. Melalui belajar.

Seorang anak dapat menemukan konsep dirinya melalui belajar,  hubungan dengan orangtua, Interaksi sosial, dan kepuasan fisik yang dapat dirasakan anak. Hal hal tersebut  akan dapat menimbulkan sifatuntuk bisa menghargai diri sendiri maupun lingkungannya.

Hukuman maupun hadiah yang diterima sang anak sebagai akibat dari tindakan tindakan yang ia lakukan akan membuat anak menyadari siapa sebenarnya dirinya di mata orang lain.  Rasa ingin tahu serta motivasi dari sang anak juga akan mendorong untuk terus mencari tahu mengenai dirinya dan lingkungannya.

2. Orang tua.

Orang tua ialah merupakan  kontak sosial pertama yang di dapatkan dan dilakukan oleh seorang individu serta hal paling kuat dan tahan lama yang akan dapat membentuk konsep diri dari seorang anak. Anak yang diberikan label buruk ataupun baik dari orangtua akan turut  memperkuat dan membentuk konsep diri sang anak sesuai dengan labelisasi yang diberikan.

3. Teman sebaya.

Peran yang dimiliki seorang individu dalam kelompoknya akan dapat menguatkan pandangannya kepada dirinya, hal tersebut berpengaruh dalam membentuk konsep diri ke arah negatif maupun positif nantinya.

Penerimaan atau penolakan dalam suatu kelompok teman sebaya mungkin memiliki pengaruh yang cukup dalam pada pandangannya tentang dirinya.

4. Masyarakat.

Penilaian dari masyarakat terkait dengan diri anak seperti  suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama,  dan status sosial seorang anak akan masuk  dan mempengaruhi dalam konsep dirinya.

3. Bagaimana stereotype gender terbentuk

photo by certification point

photo by certification point via https://www.google.com

Sejak masih dalam kandungan, ketika diketahui usia kehamilan memasuki 7 bulan dalam kandungan seorang ibu. Munculah tanda tanya besar dari kedua orang tuanya yang berbahagia terkait  identitas bilogis anak tersebut, yang juga seringkali diajukan kepada sang dokter, “Apakah jenis kelamin anak saya, laki laki atau perempuan?”.

Dengan bantuan kecanggihan teknologi yang membantu seperti USG menjadi dapat diketahuinya kelamin dari sang bayi yang ada dalam kandungan. Dari hal tersebut merupakan awal dari serangkaian peristiwa panjang dari hidupnya yang berlandaskan atas identitas seseorang berdasarkan jenis kelamin biologisnya.

Yang terpenting biasanya bukanlah jenis kelaminnya secara biologis sebagai anak laki laki ataupun perempuan, namun lebih kepada apakah anak tersebut dapat tumbuh menjadi perempuan yang feminin maupun laki laki yang maskulin.

Maskulinitas dan feminitas merupakan tingkah laku ataupu karakteristik yang dianggap sesuai di suatu masyarakat  dalam waktu tertentu baik bagi laki laki maupun perempuan.

Sifat yang dilekatkan pada laki laki maupun perempuan merupakan suatu konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat, dan tentu saja bukanlah suatu hal yang mutlak dan tidak memiliki kemungkinan untuk berubah atau tidak sesuai dengan standarisasi dan labelisasi yang menjadi salah satu skrip identitas yang ada di masyarakat.

Dasar dari konsep diri itu sendiri ialah terkait suatu  konsep untuk menjadi seseorang yang maskulin atau pun feminin. Identitas peranan jenis kelamin secara bilogis ini ialah sebuah bentuk komponen dasar dari konsep diri, walaupun hanya sebuah aspek dari konsep diri, hal tersebut juga menjadi sebuah komponen yang universal.

Proses pembentukan terkait stereotype gender di mulai dari bagaimana proses seorang anak mulai melihat dan mendengar perilaku perilaku orang dewasa baik laki laki maupun perempuan.

Tahap selanjutnya ialah bagaimana terjadinya persepsi dan mulai mencontoh atau meniru perilaku dari apa yang mereka tangkap.  Hasil dari persepsi yang ditiru dan dipraktekannya akan mereka anggap sesuatu yang benar, dan terinternalisasi dalam diri mereka.

Peran peran dan sifat sifat sosial dari laki laki dan perempuan inilah yang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang mutlak atau kodrat yang tidak bisa diubah seperti jenis kelamin secara bilogis. Padahal, dalam kenyataanya hal tersebut diakibatkan oleh hasil dari pembentukan proses konstruksi sosial budaya yang sudah terinternalisasi dan mendarah daging.

4. Dampak stereotype gender terhadap konsep diri perempuan

image by spsi.org

image by spsi.org via https://www.google.com

Dampak dari stereotype ini ialah sekelompok orang yang menajdi objek dari stereotype ini diselimuti oleh pemahaman pemahaman yang membatasi tentang kemampuan dan kepribadian sebenarnya.

Dan jika stereotype tersebut bersifat negatif dengan otomatis akan menimbulkan penilaian negatif berupa prasangka. Prasangka tersebut tidak jarang dapat merusak konsep diri seseorang.  

Banyaknya penngertian atau pemahaman seperti tidak mandiri, lemah, emosional yang dapat membatasi baik kepada laki laki maupun perempuan namun juga penilaian negatif berupa derajat laki laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang dapat berdampak kepada kepercayaan diri, rasa untuk dapat menghargai diri sendiri, juga keberanian seseorang .

Disisi lain, kenyataannya diketahui bahwa dalam masyarakat masih sangat kuat terkait budaya patriarki, yang mana umunya sifat sifat maskulin lebih diterima dan dihargai ketimbang sifat sifat feminitas.

Hal tersebut berdampak kepada konsep diri kaum perempuan yang ditemukan dalam berbagai studi, bahwa konsep diri perempuan kurang positif dibandingkan dengan laki laki.

5. Konsep diri perempuan yang lemah akibat stereotype gender

photo by kumparan.com

photo by kumparan.com via https://www.google.com

Banyak hasil penelitian menunjukan bahwasanya perempuan memiliki konsep diri yang lebih rendah jika dibandingkan laki laki. Stereotype yang terbentuk terkait perempuan seperti perempuan lemah, emosional, tidak rasional, dan lain sebagainya.

Pelebelan masyarakat terkait hal tersebut mungkin dapat benar ataupun tidak, akan tetapi yang menjadi tanda tanya besar ialah apakah hal tersebut karena ia seorang perempuan ? Sebenarnya ini merupakan bentuk konsep diri negatif yang ada dan terus terinternalisasi dalam diri perempuan.

Konsep diri bukanlah suatu hal yang ada sejak lahir dan mutlak, pembentukan konsep diri melalui proses panjang kehidupan seseorang dari banyaknya faktor yang mempengaruhi bagaimana ia dapat memandang dirinya seperti apa dan lingkungannya.

Sifat-sifat seperti mandiri, tegas, percaya diri yang rendah maupun tinggi merupakan manifestasi dari konsep diri yang terdapat pada perempuan maupun laki laki.

Pembeian label dan stereotype masyarakat dan harapan juga perlakuan  yang berbeda kepada anak perempuan dan laki laki. Dimana sifat sifat maskulinitas lebih dapat diterima dan dihargai dibandingkan dengan feminitas.

Hal tersebut tanpa disadari dapat mempengaruhi cara pandang perempuan terkait siapa dirinya dan berpegaruh terhadap pembentukan konsep dirinya menjadi positif ataupun negatif.

Wood, Julia. T (2013). Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian (Edisi 6). Salemba Humanika: Jakarta.

 

Burns, R.B.. Konsep Diri: Teori, pengukuran, perkembangan, dan prilaku. Editor: Surya Setyanegara (Jakarta: Arcan, 1993).

Hurlock, E.B . Personality Development, ( New Delhi: McGraw-Hill, 1979), hal. 88.

Calhoun, F. James dan Acocella, Psikologi tentang Penyesuaian Diri dan Hubungan Kemanusiaan (Semarang: IKIP Semarang, 1995), hal. 77-78.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE