Tolong, Jangan Remehkan Kami yang Lulusan Madrasah dan Pesantren

 

The whole purpose of education is to turn mirrors into windows ~ Sydney J. Harris

Tujuan utama pendidikan adalah mengubah sebongkah kaca menjadi jendela. Kutipan J. Harris di atas menurut saya dalam sekali maknanya. Bikin kita semua tambah melek, bukan cuma tentang pentingnya pendidikan, tapi juga cara berinteraksi satu sama lain.

Belum jelas darimana, tapi bahkan di dalam dunia pendidikan itu sedniri pun ada stratifikasi. Semacam ranking yang diberikan oleh masyarakat, baik secara formal maupun tidak. Tentu saja itu ada baiknya. Untuk memetakan pendidikan jenis apa yang ideal dan terbaik dibanding yang lain.

Kemudian, perbandingan yang ada dan terus dijaga itu terus mengakar dan menjadi sebuah paradigma.

Sayangnya, pemahaman ini membuat satu dua institusi pendidikan menjadi minor. Di saat yang sama, pendidikan yang lainnya menjadi (merasa lebih) superior. Ini menyedihkan.

 <>1. Kami juga mendapatkan pelajaran yang sama seperti yang kalian pelajari di kelas. Kalian tahu itu, kan?
bahkan semua perangkat ajar yang kalian gunakan, kami pun menggunakannya

bahkan semua perangkat ajar yang kalian gunakan, kami pun menggunakannya via http://metrolangkat-binjai.com

Entah berasal dari mana pemikiran bahwa kami yang belajar di Madrasah atau Pesantren adalah berbeda dnegan kalian yang berskolah di sekolah negeri atau lainnya.

Tentu saja kalian tahu dong kalau kami juga menggunakan kurikulum yang sama dengan yang kalian gunakan dalam proses belajar mengajar? Kami juga mengikuti semua peraturan resmi pemerintah tentang pendidikan.

Buku, bahan ajar, rencana pendidikan, standar nilai, praktek belajar, dan sebagai-bagainya seratus persen sama seperti yang kalian banggakan.

<>2. Jika kalian mengelu-elukan pluralisme. Sesungguhnya di sekolah kami lah pluralisme itu ada.
belajar toleransi

belajar toleransi via http://indonesia.ucanews.com

Konsep saling menghargai dan toleransi antar-umat beragama sangat dijunjung tinggi di republik ini.

Sekolah negeri sudah lama membuka diri sebagai fasilitas pendidikan yang umum dan boleh dijajal oleh semua lapisan masyarakat. Semangat plurarisme dan toleransi antar-umat beragama juga sudah jelas-jelas masuk ke kurikulum pendidikan nasional.

Lalu, kami yang bersekolah dengan label dan latar belakang satu agama tertentu bisa dicap sebagai sekolah anti-plurarisme?

Salah. Tentu saja itu salah. Justru kami yang bersekolah dalam lingkungan homogen seperti Madrasah dan Pesantren akan lebih jeli menghadapi kebragamaan. Kami diajari bagaimana menyikapi perbedaan dengan anggun. Hari-hari kami minim friksi antar-umat beragama. Kami sangat menghormati mereka yang berkeyakinan berbeda. 

<>3. Apa karena seragam kami yang menutup aurat? Lantas kalian nampak lebih keren?
kerudung dan celana panjang. ada yang salah?

kerudung dan celana panjang. ada yang salah? via http://4.bp.blogspot.com

Bahkan saat mengetik poin yang satu ini saja saya sudah merasa malu dengan diri sendiri. Apa masih ada orang di luar sana yang dengan tega mempermalukan diri sendiri dengan mengemukakan alasan ini demi nampak lebih baik daripada yang lain? Menggunakan poin fisik dan cara berbusana? Come on!

Madrasah dan Pesantren sejak jenjang pendidikan paling muda sudah memastikan semua warga sekolahnya untuk mengenakan seragam yang tertutup.

Tidak ada satu peraturan baik dunia maupun yang akhirat yang dilanggar dengan mengenakan seragam tertutup seperti itu, tho? Karena tentu saja kita semua sepakat bahwa isi kepala lebih penting, kan?

<>4. Gedung sekolah kami boleh jadi kalah megah, bukan berarti kalian berhak menjadi pongah

Yang satu ini sih sepertinya tidak terlalu relevan untuk zaman sekarang ya. Karena sudah banyaks ekali madrasah dan pesantren yang dilengkapi fasilitas gedung berlantai-lantai.

Tapi tetap saja, paradigma tentang sekolah negeri yang biasanya megah akan selalu ada.

Itu karena kalian mendapatkan anggaran khusus dari pemerintah. Telah punya standar bangunan layak yang pakem. Sedangkan kami? Mengandalkan dana yayasan dan donatur yang pastinya tidak se-stabil anggaran dana dari pemerintah.

Gedung yang seadanya membuat kami lebih bersahaja. Menghargai dan mensyukuri apa yang dimiliki. Kami terbiasa belajar di tengah proyek renovasi minor maupun major. Kami terbiasa berpanas-panas di kelas tak berpindingin udara. Untuk itu kami tidak pantas diremehkan atas alasan apapun.

<>5. Beban pelajaran kami dua kali lebih berat dibanding kalian. Mana yang lebih tangguh?

Apa kalian pernah dengar mata pelajaran Sejarah dan Kebudayaan Islam? Aqidah Akhlak? Tauhid? Fiqh? Khot? Imla? Nahwu? Shorof?

Apa yang kalian biasa lakukan selepas sekolah? Saat kami duduk bersila mendengarkan kajian Tafsir, mungkin kalian siudah sampai di rumah kalian yang megah atau tengah berada di pusat perbalanjaan.

Tentu saja kalian tidak tahu kalau masa ujian kami dua kali lebih lama dibanding kalian. Kami terbiasa menghadapi ujian selama bermingu-minggu.

Dengan jam sekolah yang tentu saja logikanya lebih panjang, kami membawa beban buku dan hapalan jauh lebih banyak dibanding kalian. Ini semua tidak membuat kami merasa lebih pintar. Demi tuhan, tidak. Justru kami tetap saja merasa rendah diri. Entah karena apa. Padahal tidak alasan untuk kami menjadi rendah diri. Mungkin karena kami dididik untuk selalu bersikap sederhana dan apa adanya.

<>6. Untuk kami, kenaikan kelas bukan sekadar menggapai nilai terbaik. Tapi juga bukti hapalan yang fasih.

Nilai yang baik dan di atas rerata kelas belum cukup untuk kami bisa duduk di kelas yang lebih tinggi. Ada kualifikasi lain yang harus kami penuhi setiap semester. Dan itu adalah hal mutlak.

Kami diharuskan menghapal satu dua srat dari Kitab Suci untuk bisa naik kelas.

Iya. Surat yang setiap semesternya bertambah panjang dan juga rumit. Bisa saya katakan, bahwa bahkan mereka yang paling badung, nakal, tidak bisa diatur, bengal, dan berandal di sekolah kami pun harus melewatinya. Mereka harus bisa dneganf asih dan lancar melafalkan ayat-ayat suci sebelum dinyatakan naik kelas.

 

<>7. Jujur, kami sama sekali tidak ingin merendahkan siapapun. Hanya saja, tolong, berhenti remehkan kami.
mari berprestasi

mari berprestasi via http://3.bp.blogspot.com

Kami lelah dengan mereka yang memandang kami sebelah mata. Menganggap kami sebagai lulusan kelas dua yang tidak pantas mendapatkan kesempatan yang sama.

Kami lelah dengan cibiran yang bahkan sudah kami hapal diksinya, sudah kami lupakan bagaimana sakit hatinya, dan sudah leluasa kami lewati setiap kali mendengarnya.

Ingin sekali rasanya mengatakan: Bring it on!

Biarkan kami membuktikan prestasi kami dengan bukti. Dengan aksi yang jauh dari sangsi.

Latar belakang pendidikan tidak lantas membuat kita semua boleh berpuas diri. Bagaimanapun bentuk sekolahnya. Bagaimanapun tenar dan mahal sekolahnya. Karena di luar sana, intelejensi dan kecakapan emosional lah yang punya peran. Untuk itu, meremehkan satu sama lain bukanlah cara bijak menyikapi hidup.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

a writer.

10 Comments

  1. Ahmad Sulthoni berkata:

    sangat menginspirasi… artikel bagus.

  2. Ahmad Faiz berkata:

    like @ alumnus pesantren banyak yg jadi orang besar, sperti ketua muhammadiyah, ketum pb nu, hidayat nur wahid dll….

CLOSE