Sebagai Tenaga Medis & Anak, Dokter Leonita Alami Tragedi Mendalam. Ia Berpesan: Please #dirumahaja!

Dokter Leonita

Sebuah curhatan pilu dari seorang anak menggambarkan momen terakhir ayahnya meninggal dalam kesendirian di ruang isolasi, menyita perhatian kita semua beberapa minggu lalu. Sang ayah, Prof.Dr.dr Bambang Sutrisna, MHSc, seorang dokter yang juga Guru Besar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, meninggal dunia pada tanggal 23 Maret lalu dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur. Satu dari 13 dokter yang gugur hanya dalam sebulan terakhir akibat pandemi ini.

Advertisement

Lewat Instastory-nya, sang anak yang juga berprofesi sebagai dokter, dr.Leonita Triwachyuni A S, MD , bercerita bagaimana awalnya ayahnya demam, batuk-batuk, dan akhirnya sesak napas setelah menangani seorang pasien. Walaupun telah dilarang praktik, ayahnya tak kuasa menolak pasien yang datang dari jauh. Pasien yang kemudian diketahui hasil rontgen paru-parunya sudah putih semua, tanda pneumonia akut yang jadi ciri Covid-19. Seketika hati dokter Leonita dan keluarga pun hancur, mengetahui kemungkinan ayahnya terpapar. Ketakutan yang akhirnya berubah nyata dan jadi air mata.

Foto dr. Leonita bersama mendiang dr. Bambang Sutrisna via www.instagram.com

Bukan sekadar ingin berbagi kisahnya saja, postingan dokter Leonita itu seakan-akan merupakan teriakan minta tolong untuk memohon semua orang menanggapi dengan serius imbauan #dirumahaja di tengah pandemi ini. Imbauan yang akan menyelamatkan nyawa dengan memutus mata rantai persebaran virus dan memberikan waktu lebih untuk para tenaga medis seperti dokter Leonita dan ayahnya yang harus berjuang di garis terdepan. Hipwee mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan dokter Leonita, dan ia punya pesan penting yang harus kita dengar bersama…

“hari ini makna #dirumahaja yang sebagian dari kalian abaikan dan jadikan lelucon menjadi airmata bagi keluarga kami”

Advertisement

Kalimat yang mengawali postingan Instastory dokter Leonita tersebut mungkin merepresentasikan perasaan para tenaga medis lain dan keluarga mereka di tengah pandemi ini. Tiap harinya, mereka harus berharap-harap cemas menjalankan tugas di rumah sakit maupun menunggu kabar atau kepulangan keluarganya dari rumah sakit — mengetahui betul besarnya risiko penularan di sana. Bahkan kalaupun sudah selesai bekerja, para tenaga medis ini banyak yang memilih tak pulang ke rumah karena khawatir bisa menularkan orang terkasih. Seperti bagaimana dokter Leonita tak bisa pulang selama dua minggu menjelang kematian ayahnya, bahkan akhirnya tidak bisa bertemu di ruang isolasi maupun melihat jasad ayahnya setelah meninggal dunia.

Sekalipun kini angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia terus merangkak, termasuk dokter dan perawat di dalamnya, imbauan #dirumahaja dan penerapan physical distancing masih carut marut. Belum lagi masalah pasokan APD yang kian menipis dan kini juga jadi persoalan hidup-mati bagi petugas medis. Dokter Leonita menjelaskan bahwa tenaga medis sekarang seakan-akan disuruh turun ke medan perang, tapi tanpa senjata seperti misi bunuh diri. Bukan hanya di rumah sakit-rumah sakit besar yang jadi rujukan, perlindungan yang sama juga harus disediakan untuk petugas puskesmas atau klinik kecil yang mungkin didatangi pasien-pasien yang ternyata suspect. Bagi yang mau ikut berkontribusi melindungi tenaga medis, bisa banget ikut donasi di laman KitaBisa ini.

Perbanding jumlah tenaga medis dengan populasi Indonesia yang sangat tidak berimbang, membuat posisi Indonesia sangat rentan dalam pandemi ini. Terlebih yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19 itu sumber daya atau alat-alat canggih seperti ruang isolasi dan ventilator yang jumlahnya sangat amat terbatas.

Advertisement

“Secara ilmiah, virus akan mati dalam 14 hari kalau tidak menempel ke mana-mana. Kalau menempel ke manusia, manusia tuh ibaratnya seperti tentara yang bawa virus. Kita bisa jadi kaki tangannya virus”

Dokter Leonita menyadari bahwa memang sulit mengharapkan semua orang Indonesia berada dalam level pemahaman yang sama terkait pandemi ini. Kesenjangan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang begitu lebar di negeri ini, membuat prioritas orang pun berbeda-beda. Namun yang penting untuk dipahami adalah virus ini merupakan musuh bersama yang hanya akan bisa hilang jika semua orang ikut berpartisipasi mencegah penyebarannya.

Memang masih banyak yang belum diketahui tentang virus corona bernama resmi SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit mematikan Covid-19 ini, tapi perilaku virus pada umumnya akan mati dengan sendirinya dalam waktu tertentu jika dibiarkan saja. Dalam pandemi ini, diperkirakan waktu inkubasinya selama 14 hari. Namun jika menempel pada manusia, virus ini berkembang biak dan terus menyebar dengan sangat cepatnya. Makanya imbauan #dirumahaja dan selalu rajin mencuci tangan itu resep paling ampuh untuk memutuskan rantai persebaran demi menyelamatkan banyak nyawa dari virus yang telah merenggut 48 ribu jiwa hanya dalam hitungan beberapa bulan. Karena dokter Leonita memohon dengan sangat untuk sebisa mungkin #dirumahaja, jangan mau jadi kaki tangan virus jahat ini Guys…

“Belanja pakai APD, pakai baju hazmat lengkap itu sebenarnya percuma kalau masih garuk-garuk muka, tidak langsung mandi, atau peluk anak dulu. Percuma. Kuncinya bukan itu, Indonesia tuh terlalu reaktif dengan hal-hal yang sebenarnya tidak penting”

Dokter Leonita juga berkomentar terhadap perilaku orang-orang Indonesia yang menurutnya justru banyak salah kaprahnya di masa-masa genting ini. Seperti orang yang viral pakai pakaian hazmat lengkap selayaknya yang digunakan di rumah sakit untuk berbelanja di supermarket. Menurutnya perilaku itu sangat berlebihan dan sebenarnya percuma, lebay lah. Pakai pakaian biasa saja dan mungkin masker seadanya sudah cukup kalau memang harus keluar dari rumah. Yang lebih penting setelah pulang ke rumah, lepaskanlah pakaian di area tersendiri dan langsung mandi. Begitu pun penggunaan handsanitizer yang berlebihan, padahal alkohol dalam campuran handsanitizer itu juga akan menguap 5 menit kemudian. Jika darurat di luar rumah, handsanitizer memang berguna namun kalau di rumah cucilah tangah dengan sabun biasa.

Masker pun menurut dokter Leonita harus dipakai sesuai kebutuhannya. Jika sakit (dan harus banget keluar rumah), wajib pakai masker medis yang standar. Begitu pula kalau mengunjungi rumah sakit, kamu butuh perlindungan lebih. Namun jika di rumah atau harus keluar rumah, pakai masker seadanya seperti masker kain sudah oke. Ingat saja hal-hal penting yang mendasar seperti cuci tangan, #jagajarak, lindungi ‘jalan masuk’ virus yaitu mulut, hidung, dan mata.

Lebih penting lagi di masa-masa seperti ini: #dirumahaja! Apa pun kondisimu, baik merasa sehat, negatif, ODP, PDP, dan positif sekalipun, intinya kamu butuh ‘dirumahkan’. Dirumahkan di rumah masing-masing, diisolasi di Wisma Atlet, ataupun ruang isolasi rumah sakit, intinya semua orang di dunia saat ini butuh menjaga jarak satu sama lain demi memutuskan virus yang sudah terlanjur menyebar diantara kita. Pencegahan jelas jadi pilihan utama, mengingat kita belum menemukan obat, vaksin, ataupun dalam kasus Indonesia ketersediaan alat tes dan kemampuan analisis hasil tes yang cepat.  Semoga pesan-pesan dokter Leonita ini bisa kamu pahami dan resapi bersama ya…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Learn to love everything there is about life, love to learn a bit more every passing day

Editor

Learn to love everything there is about life, love to learn a bit more every passing day

CLOSE