Meninggalkan Jakarta Kukira Hanya Akan Bahagia. Ternyata Sedikit Lega, Banyak Sedihnya

Pengalaman Hidup di Jakarta

Dalam hati aku selalu ingin beranjak pergi…
Kota yang sama yang membuatku tegak berdiri…
Ingar bingar sudut jalan yang takkan pernah mati…
Kota yang sama yang membuatku merasa sepi…

Advertisement

Betapa senangnya hatiku ketika menemukan lagu Jakarta-Jakarta dari Kunto Aji. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan emosi yang terendap dalam diri. Seperti berhasil mengungkapkan apa yang selama ini hanya bisa direpresi dalam semangat cari uang demi kebutuhan yang semakin melambung tinggi. Ya, relasiku dengan Jakarta mirip-mirip tahap awal dari sebuah novel percintaan. Kzl-kzl sayang, benci tapi rindu.

Teringat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Rasa takut yang lugu setia mengiringi hari

Halo Jakarta (photo by Azka Rayhansyah) via unsplash.com

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, diri yang polos ini mulai menginjakkan kaki di Jakarta. Jiwa yang lugu membuatku terbengong-bengong melihat situasinya. Gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang jaraknya hanya sepelemparan batu, aku baru tahu bahwa hiburan bisa begitu mudah didapatkan. Macet-macet yang menggular di jalan, membuatku bertanya-tanya, ada apa sih? Padahal, memang begitulah Jakarta sehari-hari.

Jam malam yang tak terbatas membuatku kagok karena banyak yang baru mulai keluar pukul 7 malam, padahal di rumah, omelan ibu datang jika Magrib aku belum pulang. Aku jadi mengerti perasaan gadis-gadis desa di FTV yang tergagap-gagap saat pertama kali datang ke ibukota (yang sebentar lagi tidak lagi jadi ibukota).

Advertisement

Jarak yang jauh dari rumah membuat segala hal terasa makin susah. Hari demi hari dihitung dengan tanya ‘berapa hari lagi bisa pulang?’

Menunggu liburan (photo by Rangga Cahya) via unsplash.com

Menjadi perantau memang tidak mudah. Apalagi dulu aku tak pernah berlama-lama pergi dari rumah. Sekalinya pergi jauh, hanya bisa pulang setengah tahun sekali. Aku tertatih-tatih beradaptasi dengan hal-hal baru dan kesendirian. Mungkin itu sebabnya benih-benih benci pada Jakarta ini mulai tertanam di hati. Karena jauh dari rumah membuat sakit sesepele flu saja jadi berlipat-lipat deritanya.

Lantas, aku mulai membuat kalender manual yang kucoreti setiap kali hari berganti sembari berhitung berapa lama lagi saya bisa pulang. Kiranya saat itu aku belum sadar bahwa kelakuan ini justru membuat penantian terasa lebih panjang.

Terkadang ibukota terasa tak masuk akal. Hingga di satu titik aku bisa bilang ‘aku benci kota ini’ dan ingin segera pergi

Advertisement

Macet (photo by Adrian Pranata) via unsplash.com

Bertahun-tahun kemudian, ternyata aku belum punya kesempatan untuk meninggalkan kota ini. Meski tak lagi menyoreti kalender, kebiasaan “berencana” itu berlanjut hingga aku bekerja. Jauh-jauh hari aku sudah menandai kapan ada libur ganda atau kapan bisa cuti. Sejenak, aku selalu merasa perlu melarikan diri dari kota ini, meski hanya dua atau tiga hari.

Lama-kelamaan, aku pun sudah terbiasa dengan segala keanehannya yang wajar itu. Kemacetan jalan yang makin parah tidak lagi membuatku marah-marah. Ritme hidup yang serba cepat dan terburu-buru itu sudah kumaklumi, karena aku pun jadi begitu. Gaya hidup yang cukup mahal demi sekilas eksistensi pun sudah kumengerti. Namun, dalam diri ini tetap menyadari bahwa kota ini tak masuk akal. Masa jarak 3 kilo saja bisa memakan waktu 1 jam?

Tapi di sisi lain aku juga menikmati Jakarta yang memanjakan diri. Ya, relasiku dan Jakarta memang seromantis ini

MRT Jakarta (photo by afidzpratama) via unsplash.com

Jakarta memang kota yang ambigu. Ia menempaku menjadi sosok yang serba cepat dan terburu-buru, sekaligus melenakanku dengan berbagai kemudahan yang ada. Jakarta membuatku menjadi sosok yang tangguh mengarungi perjalanan pulang pergi 3-4 jam tiap hari, sekaligus membuatku merasa B aja dengan perihnya asam lambung. Jakarta membuatku begitu mandiri dan berani ke mana-mana sendiri, sekaligus membuatku sering parnoan dan takut ditipu orang.

Jakarta membuatku memaki-maki ketika makan di warteg saja bisa habis 20 ribu rupiah, sekaligus memberiku penghasilan yang bisa dipakai untuk berfoya-foya ketika pulang ke kampung halaman. Jakarta membuatku tak pernah kehabisan akal untuk menghibur diri, sekaligus membuatku merasa kesepian di tengah kesibukan dan rencana yang centang-perenang di buku agenda harian.

Setelah hampir 10 tahun berlalu, mimpi itu dikabulkan. Kesempatanku untuk meninggalkan Jakarta terbuka lebar

Hanya ada di Jakarta (photo by Rezal Scarfe) via unsplash.com

Entah sudah berapa lama aku begitu dendam dengan kota ini. Aku tak sabar untuk berucap “Selamat tinggal, Jakarta! See you when I see youuuu…“. Lantas aku menjadi pengelana di JobStreet, dan mengganti wilayah pencarian kerja di luar Jakarta. Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Solo, semua asalkan bukan Jakarta. Ternyata nutuh waktu nyaris sepuluh tahun untuk memantabkan diri. Setelah berlembar-lembar surat lamaran yang tak jadi dikirimkan, dan bergumpal-gumpal keraguan hingga akhir gagal wawancara, akhirnya hari itu tiba. Aku akan meninggalkan Jakarta.

Sulit untuk diterjemahkan apakah hati ini susah atau senang. Sebab seiring hari berganti, ada rasa tak rela yang mulai menggigit hati

Saatnya meninggalkan Jakarta (photo by Rade Nugroho) via unsplash.com

Awalnya kukira, rencana kepindahan ini hanya beraroma bahagia. Kukira, aku akan begitu samangat membenahi barang-barang dan tak sabar menunggu hari keberangkatan tiba. Kukira, aku akan meninggalkan Jakarta dengan perasaan berbunga-bunga. Ternyata, semua tebakan itu salah. Ada rasa malas yang tak berhingga saat harus mengemasi barang-barang. Ada rasa enggan saat akhirnya tiba di hari keberangkatan. Ada pula rasa takut ketika akhirnya meninggalkan zona nyaman, yang selama ini kuanggap tidak nyaman.

Namun barangkali waktu bercengkrama dengan kota ini sudah harus berakhir. Aku sudah lulus di kota ini, dan saatnya keluar

Malam di Jakarta (photo by MHRS ART VISION) via unsplash.com

Jakarta ibaratnya sebuah padepokan. Sudah banyak ilmu yang kudapatkan di sana, dan sudah saatnya untuk menimba ilmu di padepokan lainnya. Kisah dan kenangan dari awal kaki kecil ini melangkah ragu-ragu hingga derap kaki cepat yang terburu-buru ini akan selalu teringat. Begitu juga gelak tawa saat memaksa ketemu di akhir bulan meski setelah itu akrab dengan mie instan. Namun, pengalaman dan cerita-cerita seru juga sudah menunggu di tempatku yang baru.

Aku tak bisa menyangkal bahwa Jakarta memberikanku pengalaman yang lengkap. Mengajariku untuk beradaptasi dengan hidup yang keras, hingga sesekali lembur sampai dini hari tak membuatku menjerit lagi. Mengajariku bersyukur dengan cara menertawakan kesialan yang terjadi. Mengajariku untuk tetap produktif dan bisa kerja di segala suasana, termasuk saat terjebak macet atau antrean KRL di stasiun Manggarai yang njelehi. Sebuah ilmu yang, tentu saja, perlu.

Dear Jakarta, goodbye dan terima kasih banyak, bosque~

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

CLOSE