Memaksa Diri Sendiri untuk Pura-pura Bahagia Adalah Sia-sia. Toh Sedih Itu Hak Setiap Manusia

Sedih itu hak tiap manusia

Setelah dibuat jatuh cinta sedalam-dalamnya, kamu malah ditinggalkan pergi begitu saja. Belum sempat memberikan yang terbaik untuk ayah atau ibu, tapi semesta sudah terlebih dahulu memanggil mereka. Pun dengan hidup yang terasa lebih berat dari hari ke hari. Rasanya nggak ada pilihan selain bersedih hati. Namun saat kamu baru saja menundukkan muka dan hampir meneteskan air mata, dirimu memaksa agar kamu pura-pura bahagia. Dia berkata:

Advertisement

Udahlah, nggak perlu tenggelam dalam kesedihan! Nggak mau kan nanti kamu ditinggalkan teman-teman?

Dan akhirnya kamu selalu kalah. Sesedih apapun, sejahat apapun hidup mengujimu, senyum selalu saja terukir di wajahmu. Iya, kamu pura-pura bahagia dan bersembunyi di balik topeng sandiwara. Padahal sejatinya bersedih itu sah-sah saja. Malah pura-pura bahagia yang selama ini kamu lakukan, merupakan sebuah kesia-siaan. Agar kamu terlepas dari bahagia yang bikin lelah ini, mari genggam tangan Hipwee. Kita sama-sama cari alasan paling kuat agar sesekali kamu bisa bersedih hati.

1. Perasaan sedih dan bahagia bagai kutub utara dan selatan. Kamu nggak bisa memilih salah satu demi keseimbangan hidupmu

Kamu nggak bisa milih. Cukup jalani via www.pexels.com

Kalau diperbolehkan memilih, kamu pasti menjadi orang pertama yang akan berdiri di belakang rasa bahagia. Kalau diperbolehkan juga, kamu ingin sekali menghilangkan sedih yang sering buatmu terisak sendiri saking sakitnya. Namun perasaan sedih dan bahagia itu satu paket. Ibarat kutub utara dan selatan, dua hal itu tak bisa dipilih salah satunya. Sebab hidupmu kelak akan datar jika yang seumur hidup dirasakan hanya bahagia, senang, dan tertawa.

Advertisement

2. Karena bahagia yang bikin hatimu benar-benar lega butuh rasa sedih juga. Tak bisa instan apalagi dipercepat jalannya

Yakin tak mau bahagia yang bukan sekadar pura-pura? via www.pexels.com

Untuk bisa melihat pelangi, kamu harus rela menunggu hujan berhenti dulu. Pun untuk bisa tahu warung paling enak untuk ngopi, kamu harus keluar masuk kota, merelakan waktu istirahatmu. Begitu pula dengan merasakan bahagia. Kamu baru benar-benar bisa merasakan leganya bahagia setelah merasakan sedih dan merana terlebih dahulu. Yakinlah kalau semua itu ada prosesnya. Tak bisa instan apalagi mencari berbagai katalis untuk mempercepat prosesnya.

3. Kalau dipikir lagi, capek juga terus-terusan menjadi orang yang sok bahagia. Padahal di dalam hatinya penuh luka

Terur-terusan sok bahagia juga capek kali~ via www.pexels.com

Mungkin kamu belum tahu, kalau pura-pura bahagia itu terlalu mengorbankan banyak hal dalam sekali waktu. Pun dengan energi yang perlu kamu kerahkan sekadar untuk menampilkan selarik senyuman. Sudah hanya menguras waktu dan tenaga, ujung-ujungnya capek hati dan pikiran juga yang kamu rasa. Semakin bertambahlah beban hidupmu: capek pura-pura bahagia plus hati yang dalamnya masih terluka.

4. Sebab merasa sedih, menangis, bahkan terluka itu bukan dosa. Justru bukti kalau perasaanmu masih bekerja

Kamu nggak berdosa! via www.pexels.com

Merasa sedih itu sama sekali bukan dosa. Tak perlu merasa jadi manusia paling bersalah di dunia hanya karena kamu meneteskan air mata atau mengurung diri sebentar di kamar dan merenungi jalan hidupmu. Mari membuka mata, ada lebih banyak hal lain yang pantas disebut sebagai dosa. Meninggalkan kewajiban bercakap dengan Si Empunya Semesta lima kali sehari, bilang A padahal kemarin kamu bilang B ke teman yang lainnya, sampai tak sengaja menghilangkan Tupperware ibu karena pulang kantor terburu-buru misalnya.

Advertisement

5. Sesuatu pasti ada waktunya. Sebuah kesia-siaan dalam hidup kalau kamu pilih sok pura-pura bahagia padahal dirimu sedang ingin berduka

Semua bakalan sia-sia via www.unsplash.com

Nggak hanya susu kalengan saja yang punya masa berlakunya. Sedihmu pun sama! Rasanya semesta tak mungkin tega membiarkamu terus menerus disiram kesedihan sampai kamu basah dengan air mata. Makanya memaksakan diri untuk pura-pura bahagia itu sebenarnya merupakan sebuah kesia-siaan. Sesekali izinkahlah dirimu berduka. Toh di setiap cemberut dan air mata, selalu tersedia pintu bahagia yang akan terbuka pada waktunya.

6. Pun dengan memaksa orang lain untuk cepat-cepat menyelesaikan kesedihannya. Bukankah itu tanda kamu tak memanusiakan mereka?

Mereka pun punya hak untuk bersedih via www.pexels.com

Nggak perlu merasa jadi yang paling sedih. Ingat, ada yang jauh lebih sedih daripada kamu!

Sejatinya setiap orang memiliki hak yang sama. Hak untuk bersedih dan menikmati waktu berdua dengan air mata. Sudah saatnya kamu menghentikan kepura-puraanmu untuk bahagia. Pun dengan memaksa orang lain untuk cepat-cepat menyelesaikan kesedihannya. Sebab apa yang kamu lakukan itu merenggut hak mereka sebagai manusia. Masa dengan ornag lain atau bahkan teman-teman sendiri kamu bersikap tak memanusikan mereka?

7. Bersedihlah kalau memang perlu. Kadang hidup hanya butuh hal sesederhana itu

Kalau memang perlu…bersedihlah via big.assets.huffingtonpost.com

Kadang jalan keluar dari masalah pelik yang kamu hadapi itu sederhana sekali. Salah satunya ketika hidup bercanda dan menggagalkan semua rencana, jalan keluarnya ya membiarkan dirimu bersedih ini. Toh tak ada larangan untuk bersedih. Dan sah-sah saja kamu bersedih, kalau memang perlu dan hatimu menjerit untuk itu.

Mulai sekarang tak perlu malu dengan mata sembab, muka cemberut dan aura yang gloomy seperti mendung di pagi hari. Nikmati masa-masa bersedihmu selagi bisa. Sebagai fitrahnya manusia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Not that millennial in digital era.

CLOSE