Self Healing yang Tepat Bukan Sekadar Meluapkan Emosi Sesaat, Butuh Waktu dan Konsistensi

Self healing

Sebuah unggahan berisi informasi adanya tempat ‘healing‘ dengan cara menghancurkan barang viral di media sosial. Mereka menawarkan paket seharga ratusan ribu rupiah untuk menyewa tempat dan memilih barang-barang yang akan dihancurkan. Saat ditelisik, tempat itu bernama Breakroom yang berlokasi di Jakarta Utara.

Dilansir dari Kompas.com, sang pemilik mengungkapkan alasan pembangunan Breakroom ini bertujuan untuk memberi fasilitas pelampiasan emosi, sarana olahraga, hingga sekadar untuk bermain gim secara privat. Tak hanya di Indonesia, ‘ruang kemarahan’ atau desebut dengan ‘rage room‘ semacam ini juga sudah tersebar di banyak negara lainnya. Mengutip dari Vice, ruang kemarahan pertama kali dibuka di Jepang pada tahun 2008 kemudian menyebar ke negara-negara lainnya, seperti Amerika Serikat, Australia, hingga Indonesia.

Meskipun belum ada penelitian mengenai manfaat ruang kemarahan untuk meredakan stres, tetapi fenomena ini kemudian banyak diperbincangkan. Publik bertanya-tanya apakah menghancurkan barang-barang semacam itu bisa menjadi metode self healing yang tepat atau justru sebaliknya. Selain itu, dari sekian banyaknya perilaku berembel-embel self healing, manakah langkah yang sebenarnya tepat untuk dilakukan? Lalu, apa tanggapan psikolog?

Saat diri merasa tidak baik-baik saja, self healing diperlukan untuk memberikan kenyamanan emosi dan penyelesaian masalah

Mengenal self healing | Photo by Maksim Goncharenok from Pexels

Seiring bertambahnya usia, ada banyak hal yang bisa membuat kita merasa ‘tidak baik-baik saja’. Perasaan itu bisa timbul dari mana saja, seperti saat kita gagal dalam pekerjaan, hubungan, ataupun pendidikan. Segala perasaan kecewa, marah, dan sedih buah dari permasalahan itu bisa meninggalkan luka batin yang perlu kita obati. Salah satu cara yang bisa kita gunakan untuk mengobati luka itu adalah dengan menyembuhkan diri sendiri atau kerap disebut self healing.

Seorang psikolog klinis yang dihubungi Hipwee Premium, Nago Tejena menyatakan bahwa self healing secara psikologis mengandung dua aspek, yaitu kenyamanan emosi dan penyelesaian masalah atau luka. Namun, Nago menambahkan bahwa masyarakat lebih banyak fokus pada aspek ‘healing’ yang pertama, yaitu kenyamanan emosi. Maka dari itu, banyak dari mereka pergi jalan-jalan, membeli barang baru, dan semacamnya untuk kenyamanan emosi mereka. Meskipun hal itu sah-sah saja dilakukan, tetapi perlu diingat bahwa kita perlu kembali menyelesaikan masalah yang membuat luka itu muncul.

Namun, sering kali terjadi salah kaprah dengan ungkapan self healing yang justru dianggap sebagai metode instan

Self healing yang tidak tepat | Photo by Mikhail Nilov from Pexels

Meskipun kita bisa menyembuhkan luka batin yang kita miliki, proses untuk self healing tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Untuk memulainya, kita perlu membuka kembali luka yang kita miliki untuk mengenali hingga menerimanya. Artinya, melakukan self healing bukan berarti menolak dan mengabaikan luka yang ada di batin kita, tetapi justru dengan mengenali luka yang kita rasakan. Hal itulah yang perlu kita pahami untuk menghindari kesalahpahaman mengenai self healing.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis