Surat dari Pengangguran Untukmu yang Sering Mengeluh di Senin Pagi. Andai Bisa, Posisimu Biar Kugantikan

Surat dari Pengangguran

“Ah, Senin lagi, Senin lagi. Ngantor lagi, deadline lagi. Hidup begini amat yak…”

Sering aku mendengar keluhan itu berlalu-lalang di telinga. Terkadang muncul juga di timeline media sosial yang memang tempat segala macam sambat bermuara. Senin dianggap seperti monster yang tidak diharap-harap kedatangannya, kecuali bila Senin itu tanggal gajian.

Namun, tahukan kamu bahwa Senin bagiku adalah sebuah harapan baru? Sebab bisa saja hari itu HRD perusahaan yang kemarin kukirimi surat lamaran mulai mengecek dan tertarik pada CV yang kukirimkan. Lalu aku akan dipanggil wawancara, dan kalau lancar, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Senin yang dibenci semua orang itu, adalah hari yang kutunggu-tunggu.

Bagimu Senin itu berat ya? Bagiku Senin lebih berat lagi, sebab kegiatannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya: menunggu balasan lamaran kerja

kesibukanmu ada tujuan via www.nationaljournal.com

Hari Senin memang penuh tantangan. Lalu lintas yang macetnya menjengkelkan, tumpukan pekerjaan yang tertunda selama akhir pekan, sedang tubuhmu masih jetlag setelah bersantai selama akhir pekan. Tapi bagiku, Senin jadi lebih berat lagi. Sebab aku hanya bisa melihat lalu-lalang kesibukan di Stasiun Sudirman atau di jalan raya dari balik jendela kamar yang muram, sembari bertanya-tanya, kapan aku akan sesibuk itu juga? Aku juga ingin punya momen bisa berkata “ngantor dulu, Pak, Bu” saat berpamitan di pagi hari.

Jalanan padat merayap dan transportasi umum pun seperti pepes ya? Tapi setidaknya kalian pergi ke kantor, bukan dari jobfair ke jobfair seperti yang kulakukan

Dari satu jobfair ke jobfair yang lain via www.voanews.com

Jalanan di Senin pagi memang semenyeramkan itu, aku juga tahu rasanya. Terutama bila kamu berdomisili di Jabodetabek dan naik KRL atau moda angkutan massal lainnya. Wah, butuh kesabaran ekstra dan aku tahu hal itu menyebalkan. Tapi coba pikirkan bahwa setidaknya kalian sedang berangkat menuju tempat kerja. Ada tujuan yang jelas dari perjuanganmu di Senin pagi ini. Sedangkan mobilitas kami hanya dari jobfair ke jobfair lainnya, menaruh surat lamaran sebanyak yang dimungkinkan dan berharap bisa segera ada panggilan.

Aku bukannya nggak mau berusaha. Segala macam lowongan sudah dicoba, sempat juga terpikir untuk membuat usaha

sudah mencoba berbagai cara via www.chanceandconfidence.com

Banyak yang menudingku pemalas karena nggak berusaha cukup keras. Ada juga yang bilang aku terlalu idealis dan terpatok satu lowongan tanpa mau mencoba lainnya. Ada juga yang menyalahkan karena aku terlalu berharap mendapat pekerjaan, bukannya membuat pekerjaan. Padahal itu semua sudah Aku coba. Aku melamar setiap lowongan yang ada meski tak sesuai dengan minat. Tapi aku juga realistis, untuk menjadi pengusaha itu butuh modal dan keterampilan yang mungkin sekarang aku belum punya. Dengan gagal yang terus-terusan datang aku jadi bertanya-tanya: sebenarnya kurangnya di mana?

Hari semakin berlalu, begitu juga dengan harapan di mata Ibu. Aku pun khawatir ilmu ini akan karatan sebab tak kunjung diberikan kesempatan

Semakin hari semakin gamang via www.nationaljournal.com

Aku cukup sabar kok, awalnya. Aku tahu bahwa ini semua proses yang mesti dijalani, dan suatu hari nanti ada juga kesempatan bagiku untuk bisa menunjukkan skill yang sudah dipupuk sekian lama di bangku kuliah ini. Namun, seiring waktu berlalu dan semakin bertambahnya tumpukan email penolakan, hatiku juga semakin gamang. Apalagi melihat rasa kecewa di mata Ibu. Rasanya aku ini seperti ekspektasi yang gagal diwujudkan. Sedih sekali rasanya, padahal aku juga ingin hidup mandiri dan tak merepotkan orangtua lagi.

Ya, aku mengerti apa yang disebut dengan passion, dan mungkin itu yang membuatmu tak bahagia saat ini. Tapi bekerja di luar passion juga tak mesti disesali

passion via www.pexels.com

Terkadang aku nggak mengerti apa yang membuat kamu mengeluh sebegitunya, saat kamu lebih beruntung daripada aku. Oke, aku mengerti soal passion. Bisa jadi pekerjaanmu saat ini bukanlah yang kamu inginkan, dan itu memberikan tekanan yang cukup berat bagimu. Namun percayalah, ketika kamu menghadapi tagihan kebutuhan hidup yang semakin mahal, tabungan yang semakin menipis, harapan orangtua yang semakin terkikis, dan hari esok yang penuh dengan ketidakpastian ini, passion itu akan jadi hal nomor dua belas yang akan kamu pikirkan.

Jika kamu benar-benar lelah, istirahatlah, sebab kamu memang berhak mendapatkannya. Namun, jangan mengutuki hari yang semestinya kamu syukuri

Kalau capek, istirahatlah (Photo by VisionPic .net) via www.pexels.com

Lelah bekerja itu wajar. Memang lebih enak rabahan di kamar sambil streaming film ketimbang bekerja keras di kantor dan kejar-kejaran dengan deadline. Kalau memang lelah itu nggak tertahankan, istirahat saja. Toh, ada jatah cuti yang bisa kamu manfaatkan. Bila perlu ambilah liburan. Tapi nggak perlu mengutuk pekerjaan dan hari-hari yang semestinya kamu syukuri. Setidaknya kamu masih punya pemasukan untuk membayar segala tagihan. Tak sepertiku  yang bingung harus bagaimana mengatur uang yang tak ada.

Mengeluh itu manusiawi, tapi jangan terlalu sering. Sebab itu menyakitiku yang mati-matian berharap ada di posisimu saat ini

mengeluh jangan terlalu lama via chicago.suntimes.com

Bukannya melarangmu mengeluh sama sekali. Kamu boleh kok mengeluh, dan itu hal yang manusiawi. Kalau sedang marah, ya marahlah. Begitu juga ketika kamu sedih dan kecewa, emosi itu layak kamu ungkapkan karena kamu memang nggak harus gembira terus. Namun, jangan memberinya ruang yang terlalu luas hingga tak terbatas. Sebab keluhanmu itu sedikit menyakiti hatiku, yang berharap mati-matian punya pekerjaan yang bisa memberi penghasilan seperti kalian.

Semangatlah, Senin memang berat dan padat. Senin memang menyebalkan, dan bekerja itu memang melelahkan. Namun, selalu ada hal-hal baik di setiap hal dan kejadian, bukan? Saat kemalasan itu muncul dan hasrat untuk mengeluh dan mengutuk begitu membuncah, ingatlah bahwa ada ribuan orang sepertiku yang ingin mendapatkan posisi yang kamu miliki. Jadi, kenapa nggak disyukuri?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta harapan palsu, yang berharap bisa ketemu kamu.

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi