Perjumpaan di Antara Hujan

Rekaman kali pertama perjumpaan kita, masih tak hilang dalam kepala.  Tempo hari lalu kita masih berdiri berdua, menunggu hujan reda.  Kau dan Aku.  Tak ada seloroh kata yang mengisi ruang di antara kita.  Tumbukan mata dan garis senyum seadanya juga belum memiliki arti apa-apa.  Lengan menyilang di depan dada, pertanda kita berdua sama-sama kedinginan.  Saat itu juga masih belum ada keinginan untuk kita saling berbagi kehangatan.  Hujan reda adalah keinginan kuat kita berdua kala itu.  Ingin pulang dan melepas lelah.  Ingin memanjakan tubuh dengan air hangat.  Mungkin kira-kira seperti itulah pemikiran kita.

Advertisement

Sehari…seminggu…sebulan.  Semesta masih saja mempertemukan kita.  Kadang dalam kondisi hujan yang sama.  Kadang juga dalam kondisi hening yang sama.  Kita masih menjadi orang asing yang hanya mengangguk saat mata saling tatap, lalu melempar garis senyum hambar seadanya.  Maka setelahnya kita berpisah karena arah tuju yang berbeda.  Kita tidak meninggalkan kesan apapun pada diri masing-masing.  Tidak seperti kisah romansa yang ada di cerita-cerita novel atau film.  Bertemu lalu jatuh cinta.  Sederhana, tapi pelik kemudian.

Hingga satu kemudian itu datang, kita terbelit dalam obrolan hanya karena sebuah sapu tangan yang tertinggal.  Kamu meninggalkannya tak sengaja.  Arah pandangku meraih sapu tangan yang kau tinggalkan.  Kamu sudah jauh menjadi titik yang lebih kecil saat aku memanggil untuk mengembalikan.  Maka perjumpaan kesekian kali kita, menjadi sebuah perkenalan sapu tangan yang luar biasa.  Saling menautkan nama dalam kepala.  Kedekatan kita yang sekarang berawal dari sana.

Hingga saat ini benang merah kita sepertinya masih belum menjumpai ujungnya.  Pertemuan yang awalnya tanpa seloroh kata, perlahan berubah diisi gelak tawa.  Sesekali ada umpatan-umpatan kecil dari mulut kita, atau sekedar keluhan persoalan hari yang tidak berjalan semestinya.  Kita sama-sama menjadi mulut dan telinga, pundak dan kepala, mata dan mata. Maka kemudian benih-benih perasaan mulai tumbuh mengakar dalam diriku.  Mengembang dan merekahlah bunga-bunga dalam hati.  Kamu mengendap-endap masuk kedalam nadi, mengikuti desir darah, hinggap sudah dikepalaku lalu menggandakan diri pergi ke hati. Mengakar sudah kamu di sana.  

Advertisement

Waktu seperti berlari.  Pergantian hari melesat menjadi pergantian tahun.  Perasaanku semakin rumit saja.  Cinta tumbuh di antara perasaan-perasaanku yang kemarin mengakar.  Namun, keberanian untuk mengungkapkan hanya sebesar biji kacang. Maka, diam dan mendengarkan adalah caraku bermain-main pada perasaan.  Kita sudah terlanjur menjadi teman.  Senoktah atau segunung perasaan tak wajar, mungkin saja malah  akan menghancurkan utas-utas tawa yang mengisi ruang di antara kita.  Lalu, kita akan kembali mengasing, tanpa anggukan kepala dan lemparan senyum hambar seadanya.  Itu lebih  buruk dari asing sesaat sebelum sapu tanganmu kau tinggalkan.  Maka, melihatmu menautkan sapa di ruang temu kita dan masih tetap berada di sisiku adalah hal yang lebih cukup untuk memuaskan perasaanku.

Mati rasa. Dua kata itu menjadi alasan kamu untuk tidak menjumpai lagi perihal jatuh cinta.  Dua kata yang membuat aku memilih untuk memendamnya saja.  Pada ujung perjumpaan kita kelak, mungkin perasaan ini hanya akan jadi perasaan saja.  Tanpa ada pengakuan. Tanpa ada ikatan.  Tanpa ada pengutaraan.  Biar saja orang memanggilku pengecut.

Advertisement

Hari ini kita kembali berjumpa.  Berseri sekali kamu hari ini.  Begitu rapih dengan gaun yang membalut tubuhmu.  Entah apa yang kamu sebut-sebut sebagai kejutan itu.  Kita duduk dalam jarak pandang yang tidak jauh.  Aku terus mendesak bertanya tentang yang kamu sebut-sebut kejutan.  Kamu tak jua bersuara. Hanya menyimpan rahasia di balik garis-garis senyum penuh nyawa.  Maka kemudian waktu membawa seorang pria datang di antara kita.  Sukmanya terlihat akrab selaras dengan kau.  Sepersekian detik kemudian kau memperkenalkan dia sebagai tambatan hatimu.  Kusaksikan dua insan yang beradu jemari.  Jemari kecil yang kuidam-idamkan kini dipasangkan cincin oleh orang lain. Aku mematung, semua terasa kosong.  Benang merah yang menjuntai antara kau dan aku seolah tiba-tiba putus begitu saja.  Terbayang dalam kepala.   Semua seolah menghitam, wajah kau dan dia tertawa tawa mengitari kepalaku.  Tanganku menutup telinga.   Kemudian semua lantai yang kuinjak berubah menjadi air tak berdasar.  Aku jatuh. Pasrah tengelam di dalamnya.  Biar saja aku mati di sini.

Suara kau memanggil-manggil namaku.  Kemudian aku bangun dari semuanya.  Pemandangan di depanku tidak berubah.  Kamu masih beradu jemari dengannya.  Bendungan di kelopak mataku nyaris hancur.  Ruang temu kau dan aku sudah berubah menjadi ruang temu kau dan dia.  Untuk sekarang, pergi adalah cara tepat untuk tidak lebih membuat hatiku tersayat. 

Aku kira, kau dan aku adalah dua insan yang tengah dalam hubungan spesial, tapi kenyataan pahit datang terlalu lambat.  Kau tidak diciptakan tuhan untuku.


Algoritma yang dibuat tuhan kadang sungguh tak terduga.  Kadang aku saja yang sebagai manusia terlalu menebak lebih.  Saat benang merah mempertemukan kita, ternyata hanya sekedar mempertemukan.  Tanpa membuat kita bersama lebih lama dalam ikatan saling berbagi cinta.  Apakah sesuatu yang kau sebut mati rasa jika tiba-tiba jemarimu terpasang bukti hubungan yang terikat kuat?.  


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE