Sebuah Renungan Dalam tentang Arti Memaafkan

Satu bulan yang lalu, teman se-SMA saya memanggil saya via suara. Percakapan di akhir teleponnya masih terpatri di kepala. Bisa dibilang kami adalah teman dekat. Dahulu kami sering berangkat sekolah bersama, ke kantin bersama, ke mana pun bersama. Selepas hari kelulusan, kami masih berhubungan baik melalui media genggam. Sebenarnya saya sedikit terkejut menerima panggilan tersebut karena alih-alih melakukan panggilan biasanya teman saya lebih nyaman menggunakan ruang pesan. 

Advertisement

Saya menggeser tombol berwarna hijau pada layar handphone keluaran lama ke atas sambil menyandarkan punggung di punggung kursi belajar. Setelah saya mengangkat panggilan tersebut, tidak ada hal aneh yang terjadi. Kami saling bertukar kabar dan sedikit menyalurkan keluh kesah masing-masing perihal dunia perkuliahan. Kami membahas banyak hal malam itu. Tentang jalanan dekat kosnya yang seperti rel roller coaster. Tentang harga ayam goreng yang terlampau mahal. Juga tentang pemandangan kampus yang disuguhkan. Hingga secara tiba-tiba dia bertanya bagaimana pendapat saya mengenai kata memaafkan. Sebenarnya sejak dia bercerita perihal harga ayam goreng yang cukup mahal, saya sudah mulai curiga. Saya merasa dia sedang sedih. Entah apa hubungannya harga ayam goreng yang mahal dengan hawa sedih yang saya rasakan. Ketika dia menanyakan ini, akhirnya intuisi saya divalidasi. Mengapa kita harus memaafkan? Atau apa sebenarnya fungsi dari memaafkan itu sendiri? Dua kalimat yang saya sendiri kurang paham dalam menjelaskannya.

Hening sejenak. Jujur saja, saya belum pernah memikirkan jawaban untuk ini. Mungkin dikarenakan sebagian besar yang kita dapat memang tidak semuanya diberikan definisi, alasan, maupun pemahaman secara eksplisit. Banyak dari kita sering menangkap hal-hal yang terjadi secara implisit sesuai sudut pandang diri masing-masing. Contohnya adalah berbagai macam emosi dan respon kita. Salah satunya yakni memaafkan. Memaafkan adalah salah satu respon kita dalam menghadapi problem yang ada. 

***

Advertisement

Pikiran saya masih berkelana. Jari-jari saya mengetuk tumpukan kertas yang tak jauh dari laptop yang menyala. Agar tidak membuatnya salah mengartikan dari keterdiaman saya, akhirnya saya meminta dia untuk menunggu, membiarkan saya untuk berpikir. Saya mencoba menelaah pertanyaannya. Sambil berpikir, dia lagi-lagi menambahkan statement-nya. Menurutnya memberi maaf tanpa memaafkan tidak ada artinya. Untuk apa memberi maaf bila lagi-lagi akan mengulangi hal yang sama. Untuk apa memaafkan bila nyatanya tidak bisa membuat diri kita bahagia dengan sendirinya. Sejujurnya saya kurang setuju. Menurut KBBI memaafkan adalah memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya. Lalu bila tidak bisa memaafkan, maka kita tidak perlu mengatakannya, kan? Katanya lagi.

Dalam media massa atau internet saat ini, banyak yang mengatakan bahwa memaafkan memiliki beberapa manfaat, di antaranya yakni hidup akan jadi lebih bahagia, fisik kita juga terjaga karena tidak banyak mengonsumsi rasa stres. Namun, sepertinya jawaban ini belum dapat menjawab keraguannya perihal memaafkan. Terbukti ketika saya selesai membaca kalimat tersebut di layar laptop, dia mendesah kecewa. Katanya, kalau saja dia puas dengan itu, dia tidak akan bertanya pada saya. Saya tertawa ringan, setuju dengan sanggahan tersebut. 

Advertisement

Akhirnya saya menutup laptop yang tak lagi berguna, itu. Tangan kanan saya sibuk membersihkan kertas di meja yang sudah kehilangan warna. Daripada menjawab pertanyaan yang belum saya pahami, saya bertanya kepada manusia di seberang sana. Mengapa dia menanyakan hal tersebut. Awalnya dia berbelit, mengatakan bahwa itu hanya pertanyaan random dalam kepalanya. Sepertinya dia lupa siapa saya, setelah berteman lebih dari satu windu dengan dia, saya menjadi begitu hafal tabiatnya. Setelah interogasi yang cukup panjang akhirnya dia mengaku juga. Ternyata dia sedang gagal dalam menjalin hubungan dengan alasan yang kurang menyenangkan. Satu dua hal dapat dilupakan. Namun, sisanya hanya meninggalkan bingkai usang sebuah harapan. Tentu tak lupa dengan sebuah goresan luka tak kasat mata. Malam itu, panggilan tersebut berakhir dengan panjangnya cerita lara milik rekan seperjuangan saya.

***

Dua hari setelahnya, saya berpikir kembali tentang arti dari memaafkan…dan sampailah saya pada pernyataan bahwa memaafkan adalah proses dari berdamai dengan diri sendiri. Apabila ditanya kembali perihal memaafkan. Mungkin saya akan menjawab demikian. 

Menurut saya secara pribadi, memaafkan memang bukan dirancang untuk menyembuhkan. Banyak orang berpikir memaafkan adalah sebuah jalan pintas untuk menyembuhkan luka batin. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa saat melewati akhir dari sebuah cerita, mereka dapat menyingkirkan segala rasa kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan segala hal yang mengusik ketenangan hati mereka. Nyatanya, itu semua dapat kembali kepada mereka, bahkan dapat mengoyak mereka jauh lebih sakit dari sebelumnya.

Mungkin dahulu saya juga menanyakan hal yang sama, mengapa kita memaafkan? atau untuk apa kita melakukan hal tersebut? Hal tersebut tidak menyembuhkan kita. Hal tersebut tidak menyelamatkan kita dari orang lain yang mungkin saja dapat mengusik kita. Hal tersebut juga tidak menjadikan diri kita baik dengan sendirinya.

Namun, sekarang saya paham bahwa memaafkan bukan dirancang untuk itu. Memaafkan dirancang untuk membuat kita merasa bebas. Memaafkan dirancang untuk membuat kita melepas beban secara tidak langsung. Ketika kita mengatakan, saya memaafkanmu, yang sebenarnya kita katakan pada diri kita adalah saya tahu apa yang dia lakukan dan itu tidak baik untuk saya. Setelahnya, kita akan seolah mengatakan, saya tidak ingin menahan hal (rasa yang timbul dari konflik) ini lagi. Saya bisa menyembuhkan diri saya sendiri dan saya tidak membutuhkan apa pun dari dia.

Maka dari itu, memaafkan menurut saya adalah proses dari berdamai dengan diri sendiri. Itulah mengapa kita memaafkan. Itulah alasan mengapa kita dapat merelakan segala hal yang tidak sesuai dengan harapan. 

Memaafkan memang bukan hanya dirancang hanya untuk diri sendiri dengan orang lain, tetapi juga diri kita dengan diri sendiri.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini