Belajar dari Kisah Irfan Ramdhani dan Dodit; Keterbatasan Bukan Penghalang Untuk Mengejar Impian

YOGYAKARTA, tempat yang istimewa ini selalu ada hal menarik untuk dilakukan baik dari segi wisata alam atau kuliner. Jika selama ini Anda hanya melihat kegiatan outdoor bernama sandboarding di luar negeri, sekarang di Indonesia tepatnya Yogyakarta sudah memiliki lokasi yang sangat cocok digunakan untuk kegiatan tersebut. Sandboarding merupakan olahraga permainan menggunakan papan seluncur yang dipergunakan diatas pasir. Lokasi untuk bermain sandboarding sangat mudah untuk dijangkau, yaitu terletak di Parang Kusumo. Tempat ini bersebelahan dengan Pantai Parang Tritis yang menjadi salah satu ikon kota Yogyakarta.

Ketika Anda berada di atas pasir dan siap meluncur, adrenalin Anda akan diuji di sini, antara perasaan takut atau berani. Dengan ketinggian sekitar 5-7 meter Anda akan merasakan adrenalin meningkat dengan cepat setelah meluncur. Jatuh bangun berluluran pasir sudah menjadi hal biasa dalam olahraga ini dengan alat pengaman sandboarding berupa helm, pengaman tangan dan lutut kaki.

Pada bulan Februari 2016 yang lalu, saya berkesempatan akan mengunjungi kota Istimewa Yogyakarta, kali ini saya akan melakukan petualangan yang tidak seperti biasanya, saya kali ini akan bertualang dan mencicipi bermain di kegiatan alam bebas dengan salah satu teman Disabilitas juga, yang biasanya saya ketika bertualang, selalu teman menjelajahnya teman-teman yang biasanya membantuku ketika berkegiatan di Alam bebas.

Bedanya, kali ini partner saya adalah seorang sahabat tuli, yaitu orang yang sangat spesial yang telah diciptakan oleh Tuhan. Tuli ialah keadaan individu yang mengalami kekurangan pendengaran, atau pendapat lain mengatakan bahwa tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat berat. Namun, ada juga seorang Tuli yang bisa merasakanadanya petir, atau getaran gempa bumi yang membuat sedikit berdengung di kupingnya. Nama teman spesialku kali ini adalah Dodik. Awal mulanya, saya dikenalkan oleh salah satu penerjemah bahasa isyarat ia bernama Mas Pong, asal dari Solo, ketika mengisi acara di Universitas Indonesia.

Dodik ketika dilahirkan ia selayaknya bayi biasanya, tetapi ketika umur satu tahun ia mengalami kecelakaan, ia mengalami benturan dikepala. Saat itu orang tuanya hanya merawat dengan biasa, karena minim informasi, dan ketika sembuh dodik divonis dengan dokter bahwa ia mengalami Tuli. “Mas Irfan, banyak teman tuli di Solo yang suka berkegiatan alam bebas juga loh. Siapa tahu Mas Irfan bisa berbagi dan ajak mereka berkegiatan alam bebas bersama.” Seraya Mas Pong memberi tahuku, ketika selesai acara di Universitas Indonesia.

“Wah keren tuh Mas, nanti kalau ada kesempatan mau aku coba ajak berkegiatan alam bebas ya Mas. Semoga Tuhan merestui rencana kita ya.” Jawab saya kepada Mas Pong.

Pada akhirnya saya bergegas menuju kota Gudeg. Sesampainya di Yogyakarta, saya singgah di Mapala Universitas Yogyakarta, yaitu MAPAGAMA UGM. Saat malam harinya, Mas Pong pun hadir, dan ia mengenalkan kepada kami semua yang berada di Mapagama, ia mengenalkan sosok Dodik, bertubuh tinggi berkulit agak gelap, berambut Mohawk setengan kuning bagian atas rambutnya, awalnya masih terlihat canggung ketika Dodik berinteraksi, teman-teman yang lain mengobrol seperti biasanya, dan ketika Dodik berbicara, semua seakan hening seketika. Mungkin dalam hati masing-masing berucap kata ‘Syukur’ yang membuat sesaat kita menghela napas, ketika Dodik berbicara kepada kita semua dengan cara tangan dan tubuh yang ekspresif kepada Mas Pong yang berada di Mapagama malam itu.

Jari-jemari Dodik sangat cekatan, ketika ia mencoba berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Semuanya hening, dan memperhatikan Dodik dengan seksama, setelah ia mencoba berbicara dengan gesture tubuh dan jari-jemari yang sangat cekatannya, Mas Pong pun memberitahu kepada kami semua, tidak usah canggung kalau berinteraksi dengan teman Tuli, kalau mau mencoba belajar Bahasa Isyarat, langsung ke Dodik biar lebih mengerti dan paham, ujar Mas Pong kepada kami semua yang berada di Gelanggang UGM, tepatnya di Mapagama.

Malam itu, suasana seketika jadi riuh sekali, dikarenakan ada pelajaran bahasa isyarat dari Dodik, saya bersama teman-teman yang lain dari anggota Mapagama mencoba belajar bahasa Isyarat dengan Dodik. Saya sangat antusias dan menikmati sekali belajar bahasa isyarat, ternyata Tuhan memberikan sebuah nikmat yang indah kepada semua umatnya bagaimana berinteraksi dengan sesama mahluk hidup.

Tujuan belajar Bahasa Isyarat dimalam itu adalah, agar ketika kami berkegiatan di alam bebas, bisa lebih kondusif lagi berkomunikasi dengan Dodik karena sedikitnya sudah belajar bahasa isyarat. Dan selain itu juga mempopulerkan bahasa isyarat agar bisa di sahkan oleh pemerintah sebagai Bisindo, atau Bahasa Isyarat Indonesia.

Kami mengobrol hingga larut malam, bahwa di Kota Istimewa ini kita akan menyusuri Derasnya Sungai elo, Hammocking di Taman Hutan Raya, Gunung Kidul, Sandboarding dan Kayaking. Dodik pun sangat antusias sekali ketika akan berkegiatan alam bebas dengan kami. Namun, ia memberitahu bahwa hanya bisa ikut berkegiatan Hammocking dan Sandboarding saja, selebihnya tidak bisa karena pekerjaan yang ditinggalkan oleh Dodik di Solo, ia sehari-hari bekerja sebagai Tukang Las borongan di Solo.

Namun, perjalanan bersama Dodik akan terasa asik sekali walaupun ia tidak mengikuti kegiatan Full, dan keesokan harinya kami ditemani oleh teman-teman Mapagama UGM selaku tuan rumah di Yogyakarta, akan menuju ke Gumuk Pasir Parangkusumo yang letaknya tidak jauh dari Pantai Parangtritis.

Sekitar setengah jam kami tiba di lokasi, dan tepat matahari seakan ada di atas kepala kami yang berada disana, sangat menyengat sekali, karena kami tiba sekitar jam 11 siang, dan itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berkegiatan. Puncak undukan pasir itu serasa jauh sekali ketika saya mencoba untuk mendakinya, padahal saya melihat teman-teman sangat begitu melenggang dengan bebasnya, oh iya saya lupa mungkin saya berjalan dengan empat kaki dibantu oleh kedua tongkat, dan sedikit memperlambat pergerakkan saya.

Namun, saya sudah terbiasa dengan hal ini, melihat teman-teman yang begitu bersemangat ditambah Dodik, yang serta merta mendampingi saya hingga kepuncak undukan pasir, saya tetap bersemangat menjalani hari yang penuh dengan keringat ini. Sesampainya di Puncak, yang lain pun lekas menuruni undukan pasir, dilengkapi beberapa kamera pendukung.

Berbedahal dengan saya, ketika saya ingin menuruni undukan pasir, saya melakukannya dengan duduk, dan kaki kiri saya pegangi karena masih lemas, dan agar tidak mempengaruhi keseimbangan untuk turun. Wow adrenalin saya sangat terpacu, walau dengan keterbatasan, batas bukanlah pembatas untuk berkegiatan alam bebas, jantung berdegup sangat kencang dari biasanya, dan ketika tangan ini menyentuh pasir sangat panas sekali, selayaknya kerupuk pasir yang sedang di goreng hehehe.

Kami pun beberapa kali mencobanya dan sangat ceria sekali hari itu, melihat kami semua membaur dengan teman-teman yang lain, tidak ada nampak perbedaan apalagi Diskriminasi, yang ada balutan hangat dari teman-teman terbaik yang menemani di Gumuk Pasir Parangkusumo, biasanya teman-teman Disabilitas sangat menjadi kaum minoritas dilingkungan sekitar. Namun,kali ini sangat berbeda, begitu hangatnya kebersamaan kami.

Dodik seorang Tuli yang baru dikenal pun bisa asik berbaur tidak memandang dari keterbatasan Bahasa verbal, maupun saya yang berjalan seakan tertatih yang kerap dibantu oleh teman setia yaitu tongkat. Dodik sangat menikmati sekali, terlihat dari pancaran wajahnya yang sangat ceria sekali kala itu, ia mencoba beberapakali naik turun undukan pasir untuk berseluncur diatas papan menuruni pasir dengan berbagai macam gaya.

Saya pun mencobanya berulang kali, tetapi saya tidak bisa berseluncur dengan berdiri melainkan dengan duduk diatas papan, dan itu pun tidak ada bedanya sama-sama mengasikkan. Bahkan saya mencoba berseluncur dengan tiduran diatas papan, seolah-olah menjadi Superman diatas pasir hahaha. Itu rasanya PANAS sekali ketika tangan menyentuh pasir, siang itu cuaca sangat bersahabat dikarenakan musim hujan di bulan Februari, beruntung kami mendapatkan hari yang cerah saat itu.

Saya sangat beruntung kegiatan kali ini, karena bisa mendefinisikan apa arti kata syukur itu sendiri, hadirnya Dodik membawa warna didalam kegiatan ini, kami bisa melepas penat bersama dengan masalah yang ada dengan berkegiatan di Alam bersama, saya bersyukur sekali, karena teman-teman saya pun bisa berbahasa Isyarat tidak lancar namun bisa dimengertilah apabila berbicara dengan teman-teman Tuli.

Semoga dengan kegiatan ini bisa lebih memacu lagi untuk teman-teman Disabilitas yang lainnya bahwa batas bukanlah pembatas untuk menjelajahi Alam, apabila dalam hati ini yakin, jalanilah dan tuntunlah agar bisa memeluk mimpi selayaknya mimpi indah di malam hari, dan ketika terbangun raihlah mimpi itu dan kejarlah sehingga menjadi nyata, jangan pernah takut bermimpi untuk teman-teman Disabilitas yang lain, bahwa kami pun mampu melakukan hal-hal diluar nalar, oleh sebab itu bermimpilah sesuka hati berjuanglah tanpa henti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini