Berbagai Jokes dan Analogi yang Biasa Ditemukan di Aplikasi TikTok Berpengaruh Buruk? Apakah Benar?

Aplikasi TikTok, yaitu aplikasi Social Media yang identik dengan konten – konten berupa Video berdurasi 15 detik hingga 3 menit dan biasanya diiringi Sound Track. Konten pada aplikasi ini juga beragam mulai dari menari, challenge, edukasi, tutorial, vlog dan banyak lagi. Tidak dapat dipungkiri bahwa aplikasi ini berpengaruh besar terhadap masyarakat terutama remaja – remaja di seluruh dunia. Namun pada artikel ini, kita akan membahas tentang pengaruhnya pada remaja di Indonesia. 

Advertisement

Remaja – remaja di Indonesia cenderung lebih leluasa dalam mengekspresikan diri di aplikasi TikTok melalui konten video yang mereka buat, namun, tidak sedikit pula orang – orang yang dengan leluasa mengekspresikan perasaan dan opininya di kolom komentar. Lalu apa benar jokes yang dilontarkan pada kolom komentar berpengaruh buruk? Bagaimana bisa? 

Dengan adanya aplikasi TikTok yang menyediakan media untuk para remaja mengekspresikan dirinya, banyak dari masyarakat Indonesia yang masih memelihara mindset misoginis dan seksisme bermunculan di kolom komentar. Terutama pada kolom komentar TikTokers perempuan, banyak sekali komentar yang menormalisasikan pelecehan seksual, bahkan Rape Culture bermunculan. 

Candaan pertama yang sudah sangat sering ditulis di kolom komentar berbagai video TikTok ialah candaan 'nanti nangis', candaan ini biasanya berada dibawah kolom komentar video TikTok para remaja perempuan yang menggunakan pakaian yang terbilang cukup terbuka dalam kontennya. Candaan ini dengan jelas menyiratkan pelecehan seksual, yang dimana dinormalisasikan karena dianggap perempuan yang berpakaian minim pantas mendapatkannya. 

Advertisement

Dikarenakan banyaknya orang – orang yang menormalisasikan pelecehan seksual dan juga Rape Culture pada aplikasi ini, banyak pula content creator di TikTok yang mengunggah konten edukasi seputar permasalahan ini. Namun, tetap banyak orang yang melakukan victim blaming atau menyalahkan korban. Tidak sedikit pula orang – orang yang melontarkan analogi 'ada gula ada semut', seakan perempuan adalah gula dan laki – laki adalah semut yang akan melakukan tindak seksual jika dipancing tidak peduli consent atau persetujuan dari pihak perempuan. Sehingga analogi ini digunakan mereka membenarkan bahwa korban yang berpakaian minim lah yang salah Ketika terjadinya pelecehan seksual karena dianggap memicu.

Tidak hanya para perempuan yang berpakaian minim, content creator perempuan  yang menggunakan hijab sekalipun tidak lepas dari komentar – komentar yang melecehkan. Tidak bisa disebutkan satu persatu berbagai candaan yang menormalisasikan dan memelihara rape culture.

Sangat disayangkan hal seperti ini tidak dapat dihindari, namun kita bisa menjaga pikiran dan hati kita agar tidak terpengaruh oleh komentar – komentar tersebut. Sudah sepantasnya kita sebagai manusia saling menghargai, dan berlaku adil terhadap semua gender.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE