Bermain dari Hati ke Akal Budi

Sebuah Opini

Fides Quaerens Intellectum (Iman mencari pengertian) merupakan ungkapan terkenal dari salah satu pemikir dan orang suci Katolik bernama St. Anselmus dari Canterbury (1033 – 1109). Ungkapan ini merupakan sebuah bentuk pengulangan dari ungkapan yang dilontarkan oleh salah seorang pemikir lain yakni St. Agustinus (354-430) beberapa abad sebelumnya yakni Credo ut Inteligam (saya percaya membuat saya mengerti). Ungkapan-ungkapan ini pada dasarnya mau menunjukkan suatu ikatan relasional antara iman dan akal budi. Meski penekanannya bahwa yang pertama adalah iman baru datang pengertian, ini tidak menunjukkan bahwa iman bekerja semata-mata dalam dirinya sendiri, tetapi melibatkan akal budi manusia sebagai tanggapan atas iman tersebut. Bagaimanapun iman adalah tanggapan dari pihak manusia pada wahyu dan karya keselamatan Allah.  

Paus Benediktus XVI dalam Porta Fidei menulis “Hati menunjukkan bahwa tindakan pertama dengan mana seseorang datang kepada iman adalah rahmat Tuhan dan pencurahan rahmat itu menggerakkan dan mengubah orang dari dalam”. Karya Allah mendatangkan perubahan bagi manusia. Perubahan yang hakiki adalah terangkatnya derajat kemanusiawian kita ke derajat ilahi sehingga manusia mampu terbuka dan melakukan hal-hal yang baik, luhur, dan suci. Bagi St. Anselmus dan St. Agustinus iman itu bekerja secara misterius dari dalam sebagai sebuah rahmat dan anugerah dari Allah semata-mata bukan karena tingkat pengertian dari akal budi manusia. Namun demikian, dengan kualitas iman yang bertumbuh dan senantiasa berkembang manusia kemudian berusaha untuk mencari pengertian-pengertian sejauh kemampuannya.

Dewasa ini, terutama di negeri tercinta Indonesia, tidak jarang kita menyaksikan perilaku-perilaku anomali dari para pelaku agama entah kalangan awam biasa bahkan para petinggi agama. Tidak jarang berbagai bentuk kejahatan menjadi halal karena dibungkus semerbak wangi ungkapan religius dan doktrin agama yang misinterpretasi. Atau aneka bentuk peraturan agama mampu disulap dan diubah untuk melindungi berbagai praktek kejahatan.

Sebut saja, pembakaran berbagai tempat ibadah agama lain dengan dalih membela “agama dan Allah mereka”, atau pelarangan mendirikan tempat ibadah agama lain karena “yang lain itu haram/najis dalam aturan agamanya”, juga peraturan tentang larangan memberi ucapan selamat pada perayaan agama lain karena itu dilarang dalam agamanya, peraturan tentang tidak boleh menginjak tempat ibadah agama lain, tidak boleh makan sepiring, tidak boleh dan tidak boleh lainnya yang tiba-tiba menjadi alat propaganda kelompok-kelompok tertentu untuk mendiskreditkan kelompok dan agama lain.

Orang yang mengaku beriman seharusnya adalah orang yang dewasa dalam berpikir dan bertindak. Orang beriman mampu membentuk dirinya untuk semakin memiliki akhlak moral yang mulia. Orang beriman semakin mendewasakan dirinya untuk semakin manusiawi. Idealnya, dengan semakin beriman kepada Tuhan kita semakin mengenal diri, mengenal ciptaan-Nya yang lain dan mulai mengembangkan sayap untuk mulai mencintainya sepenuh hati. Dengan mencintai ciptaan Allah kita mencinta Allah.  

Iman semestinya mendewasakan orang dalam mengenal Tuhan. K. H. Abdurahman Wahid melalui salah satu ungkapan terkenalnya pernah mengatakan “… Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah”.

Hari-hari ini Bangsa yang mengakui “Ketuhanan Yang Mahaesa” ini sedang diporak porandakan oleh berbagai hoax, ujaran kebencian, fitnah atas nama agama, ras, golongan karena berbeda pilihan politik. Agama yang saharusnya menjadi benteng terkahir dari peradaban pola pikir dan tingkah laku, ikut larut dan terseret dalam permainan beberapa oknum yang mengaku dirinya negarawan dan agamawan. Tiba-tiba agama menjadi pincang, larut dalam euphoria dan bujuk rayu iblis karena para penganutnya meninggalkan akal budi dan hati nuraninya di bangku dan lantai tempat ibadahnya. Mencaci maki atas nama agama serasa sah-sah saja bahkan membunuh dengan dalih membela Allah dan Agama Allah itu halal dan suci.

Tidak jarang para petinggi partai, pemerintah dan pejabat, akademisi bahkan tokoh publik ikut terlibat dalam permainan yang menyeret-nyeret agama. Toleransi dan keberagaman berakhir di wacana berita-berita Koran dan televisi, jadi bulan-bulanan tokoh-tokoh debat, lalu terserat ke meja hijau dan kandas dalam jeruji besi. Padahal kata Gusdur ““Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya”, sunggu penuh kontradiksi; miris.

Fides Quaerens Intellectum (Iman mencari pengertian), pernyataan yang releven untuk menggugat praktek keagamaan kita. Menggugat berbagai aneka praktek hidup religius kita. Menggugat sok beriman kita. Menggugat kepribadian agar iman tidak saja mengandalkan akal budi kita terutama cara berpikir kita yang menggiring agama ke arah yang salah karena cara berpikir  yang sesat. Tetapi juga Beriman tidak saja mengandalkan hati (apalagi yang baperan), perlu melibatkan pola pikir agar Tuhan tidak dimonopoli oleh segelintir orang dan ajara-ajaran-Nya tidak menjadi bahan untuk melegasi kejahatan oleh sebagian oknum bertopeng agama. Beriman itu suatu pergerakan yang positif dari hati menuju akal budi dan terealiasasi dalam tindakan-tindakan baik dan luhur. Salam waras orang beriman.

Kota Serambi Mekah

Padang Panjang, April 2019

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya adalah seorang Pengajar dan Pendidik. Mengajar dan mendidik adalah medan dan media untuk mengembara ke alam ide dan imaginasi manusia. Melalui pendidikan manusia menemukan kesungguhan untuk merealisasikan ide dan kreatifitasnya. Melalui pendidikan manusia menegekspresikan dirinya untuk memperdalam relasi dan intimasi dengan yang lain. Pada akhiranya pendidikan menjadiwadah untuk membangun karakter manusia untuk menjadi cerdas secara "otak" dan juga luhur secara "watak"