Budaya Cancel Culture di Media Sosial. Perlukah? Yuk Disimak!

budaya cancel culture bisa mengganggu kesehatan mental?

Belakangan ini, istilah cancel culture semakin akrab kita lihat di berbagai platform media sosial, terutama di Twitter. Simplenya, cancel culture adalah trend memboikot seorang public figure yang dianggap berperilaku atau membuat pernyataan yang bersifat ofensif. Polanya biasanya seperti ini, seorang public figure melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif, kemudian publik merespons di media sosial sampai akhirnya ada yang menyerukan si public figure pantas di-cancel, yang bisa diartikan ajakan untuk mematikan karier maupun pengaruh si public figure, baik dengan cara memboikot karyanya atau bahkan meminta hukuman dan pertanggungjawaban yang lebih tegas dari institusi yang berkaitan dengannya.

Advertisement

Istilah cancel culture sendiri ternyata sudah ada sejak Maret 2014 di Amerika di mana terjadi kasus rasisme yang dilakukan The Colbert Report terhadap masyarakat Asia. Cancel culture pun semakin dikenal saat Tarana Burke menginisiasi pergerakan #MeToo yang merupakan seruan terhadap banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Berdasarkan penelusuran pada Google Trends, kata kunci ini pertama kali dicari warganet Indonesia pada Oktober 2019 yang berpusat di Pulau Jawa.

Sedikit berbeda dengan Amerika, di Indonesia, operasi cancel culture ini seringkali dilakukan dengan cara memotret, mempertontonkan, melabeli, bahkan mempermalukan public figure tersebut di ruang publik melalui media sosial.

Dari sekian banyak influencer Indonesia yang terkena cancel culture diantaranya yang paling viral adalah Saipul Jamil yang diboikot warganet karena kasusnya beberapa tahun yang lalu dengan membuat petisi berjudul Boikot Saipul Jamil Mantan Narapidana Pedofilia yang tembus 500 ribu tanda tangan. Selain itu ada juga Rachel Venya alias Buna yang di-cancel netizen karena kasusnya yang melarikan diri saat karantina dan putusan hukumnya yang dianggap kontroversial.

Advertisement

Cancel culture ini tidak bisa sepenuhnya dikatakan salah, dan juga tidak bisa dikatakan benar. Di satu sisi cancel culture bisa menjadi wadah untuk para korban ketidakadilan untuk menyuarakan kebenaran demi tercapainya keadilan. Adanya gerakan ini pun membuat kita lebih berpikir sebelum membuat keputusan atau mengunggah postingan yang berpotensi menyinggung orang lain.

Namun di sisi lain, budaya ini dapat berkembang menjadi perilaku main hakim sendiri yang dilakukan secara berkelompok di media sosial yang dapat mengganggu kesehatan mental seseorang. Bayangkan saja, sudah dicaci maki, dimatikan kariernya serta kemungkinan akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan, orang yang terkena cancel culture juga akan merasa dikucilkan, terisolasi secara sosial, hingga kesepian, yang tentunya berpotensi besar untuk memicu stres dan depresi. Tak hanya itu, banyak juga para pemboikot yang memanfaatkan moment dengan menghalangi korban untuk meminta maaf juga merampas kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. 

Advertisement

Efek negatif cancel culture ternyata bukan hanya menyerang psikis korban, tapi juga dapat berdampak pada psikis pelakunya. Trend ini disebut dapat menurunkan tingkat empati, karena saat melakukan praktik cancel culture, pelaku cenderung akan menolak untuk memahami atau mendengarkan si korban. Wah, hati-hati lho guys!

Lantas bagaimana agar kita terhindar dari cancel culture? Nah, ini dia beberapa tipsnya:


  1. Biasakan untuk berpikir dua kali sebelum melakukan atau memposting sesuatu di media sosial. Pastikan apa yang kamu lakukan atau apa yang kamu posting tidak menyinggung orang lain.

  2. Sebaiknya jangan memposting sesuatu ke media sosial saat emosi sedang tidak stabil.

  3. Lakukan detoks media sosial secara berkala. Kamu bisa deactivated akun media sosialmu untuk beberapa saat dan cari kesibukan lain sesuai dengan passion kamu.

Cancel culture dapat bernilai positif bila niatnya dan tujuannya memang beralasan. Karena tujuan dari meng-cancel sesorang ini adalah agar orang tersebut mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab. Namun, pada praktiknya, yang sering terjadi adalah netizen terlalu emosi dan menyerang korban secara membabi buta tanpa mendengar cerita dari sisi korban terlebih dulu. Hal ini tak ada bedanya dengan tindakan main hakim sendiri.

Pada akhirnya, menggunakan media sosial dengan bijak adalah kunci utama sebelum kita meng-cancel orang lain. Lebih baik mengedukasi, mengingatkan, dan menegur terlebih dahulu sebelum meng-cancel seseorang. Yuk bijak dalam bermedia sosial!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE