Bullying di Sekolah Salah Siapa? Guru, Masyarakat, atau Orang Tua?

Masyarakat umum seringkali menganggap bahwa yang dilakukannya tidak akan berdampak terhadap kondisi psikis anak

Bullying saat ini sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu atau dapat dikatakan sudah menjadi hal yang sering terjadi di lingkungan masyarakat, terutama di sekolah. Bullying yang terjadi di sekolah sebenarnya bukan fenomena yang baru terjadi sejak sepuluh tahun yang lalu atau dua puluh tahun yang lalu.

Kekerasan yang berupa bullying telah terjadi sejak era 1980-an, hal tersebut dikarenakan tidak adanya media hiburan sehingga bullying seringkali dijadikan media hiburan untuk melepas penat. Akan tetapi di era modern saat ini bullying masih dapat ditemui, artinya sudah 38 tahun bullying belum dapat teratasi hingga saat ini.

Data UNICEF tahun 2014 menunjukkan bahwa 80% anak peenah mengalami kekerasan non fisik yang berupa bullying. Selain itu, kasus bullying juga termasuk sebagai urutan keempat sebagai kasus kekerasan terhadap anak. Data lain menunjukkan bahwa kasus bullying lebih sering terjadi di jenjang sekolah dasar.

Padahal menurut George Herbert Mead seorang sosiolog modern Amerika, pada usia tersebut seorang anak cenderung mengikuti perilaku yang dilihatnya atau masa itu disebut sebagai Play Stage dimana seorang anak dipersiapkan dirinya untuk dapat beradaptasi dengan masyarakat di tempat tinggalnya.

Jika memang demikian, lalu salah siapa jika seorang siswa melakukan bullying terhadap temannya? Apakah salah guru, masyarakat, atau orang tuanya? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut seringkali menyudutkan satu pihak, baik itu lingkungan masyarakat, guru, maupun orang tuanya yang tanpa mereka sadari, bahwa mereka yang menyudutkan juga berperan terhadap pembentukan karakter dan sikap anak untuk mem-bully seseorang. Bukankah menyudutkan seseorang pengkajian secara mendalam juga merupakan bentuk bullying?

Secara etimologi bahasa, bullying merupakan tindakan menggertak atau menyudutkan pihak yang dianggap lemah. Demikian dapat dikatakan bahwa pelaku bullying atau yang disebut dengan bullies menganggap bahwa dirinya memiliki kekuatan atau power yang lebih dibandingkan korbannya.

Selain itu, bullying yang dilakukan seringkali menyudutkan pihak-pihak yang dianggap berbeda atau diskriminasi. Dalam kajian sosiologi, diskriminasi dalam bentuk bullying merupakan fenomena segregasi dimana terdapat upaya pemisahan suatu kelompok tertentu yang berbeda berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti ras, etnis, budaya, ekonomi, dan pendidikan.

Faktor-faktor segregasi yang disebabkan oleh bullying tersebut tidak hanya ditentukan oleh guru, masyarakat, maupun orang tua saja. Akan tetapi seluruh elemen yang berinteraksi dengan seorang siswa berperan dalam pembentukan karakternya, karena seorang anak yang baru memasuki lingkungan sekolah masih belum mampu memaknai nilai dan norma yang diajarkan oleh lingkungan sosialnya.

Sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh seorang siswa yang berupa kekerasan atau kenakalan remaja seperti tawuran, diskriminasi, pelecehan seksual, dan bullying baik berbentuk fisik maupun non fisik.

Bullying yang terjadi di kalangan siswa sekolah dasar, seringkali dipicu oleh sikap-sikap yang dilakukan oleh masyarakat umum seperti penyebutan 'negro' terhadap ras kulit hitam, penyebutan 'cina' terhadap orang yang bermata sipit, dan penghinaan fisik terhadap difabel.

Masyarakat umum seringkali menganggap bahwa yang dilakukannya tidak akan berdampak terhadap kondisi psikis anak atau pembentukan moral karakter anak. Padahal apa yang masyarakat umum lakukan telah membentuk suatu kurikulum tersendiri layaknya yang ada di sekolah yakni kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum.

Kurikulum tersembunyi merupakan kurikulum yang menjadi bagian dari budaya yang ada di dalam masyarakat karena tersampaikan melalui aktifitas sehari-hari atau day to day activities, seperti lingkungan yang membangun perilaku, dan tersampaikan dalam kegiatan interaksi seorang anak dengan lingkungannya sehari- hari.

Praktik-praktik dalam pelaksanaan kurikulum tersebut tersampaikan dalam keseharian seorang anak yakni melalui hubungan sosialnya. Dengan demikian apabila seseorang melakukan sebuah tindakan penghinaan etnis di depan siswa sekolah dasar, maka apa yang dilakukannya bukan tidak mungkin akan dilakukan juga oleh siswa tersebut dikemudian hari.

Peristiwa demikian terjadi dikarenakan adanya penanaman nilai atau internalisasi dari apa yang dilihat oleh seorang anak ke dalam dirinya akibat dari kurangnya pemahaman anak terhadap hal yang bersifat baik maupun buruk.

Meskipun demikian, bukan berarti sekolah tidak memiliki peran penting dalam kegagalan pembentukan moral siswanya. Faktanya, seorang siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah dibandingkan lingkungan masyarakatnya maupun keluarganya, kecuali hari libur.

Sistem full day school yang menghabiskan waktu siswa hampir dua belas jam atau lebih dari itu di sekolahnya. Sehingga lembaga pendidikan memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Akan tetapi, seringkali bagian-bagian dari lembaga pendidikan seringkali tidak memikirkan kurikulum yang tersembunyi.

Para tenaga didik khususnya lebih mementingkan bagaimana kurikulum yang tertulis dapat terlaksana dengan baik dan menghalalkan segala cara untuk keberhasilan kurikulum tersebut. Berdasarkan data yang diambil oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-KPPPA) menyebutkan sepanjang tahun 2016 hingga 2018 sebanyak 84% siswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah dan sebanyak 45% siswa laki-laki serta 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan tersebut.

Sehingga bukan tidak mungkin jika para siswa cenderung memiliki tindakan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh gurunya di kemudian hari.

Pada era teknologi saat ini, peran media juga menentukan pembentukan karakter anak dalam kasus bullying. Lembaga riset Childwise menyebutkan bahwa anak masa kini rata-rata menghabiskan waktu 6,5 jam per hari untuk beraktivitas dengan gadget-nya. Hal tersebut didukung oleh banyaknya konten negatif yang tersebar di berbagai media di Internet.

Data Kementiran Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyebutkan bahwa sepanjang 2017 terdapat 5.000 konten negatif seperti ujaran kebencian, fitnah, dan hoax di 11 platform media yakni Facebook, Instagram, Twitter, Google, Youtube, Telegram, Line, BBM, Bigo, Live Me, dan Metube.

Tingginya angka tersebut belum terhitung dari jumlah share terhadap konten tersebut, sehingga perlu pengendalian dari seluruh elemen masyarakat dalam pembentukan moral anak melalui segala bentuk interaksi yang ada baik dunia nyata maupun dunia maya.

Sehingga dengan demikian bagian-bagian dari lingkungan sosial baik keluarga, masyarakat, guru, sekolah, maupun kita sebagai pegiat media sosial harus mampu berhati-hati dalam melakukan setiap tindakan agar tidak membentuk perilaku bullying pada anak.

Penting orang-orang yang dekat dengan anak untuk melakukan proteksi terhadap hal-hal yang ada di sekitar anak, selain itu harus terdapat sosialisasi bagaimana seorang anak harus bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat sehingga perilaku bullying dapat dihindari sejak dini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis lepas mengenai isu-isu sosial di sekitar kita.