Pengertian Cerdas yang Nggak Cuma Soal Otak Saja, Melainkan Juga tentang Kepribadian

Percuma nilai besar, tapi nggak ber-attitude.

Jumat sore ini, kuputuskan untuk menemui Liliana Montesa, biasa ku panggil Jili. Makanya sepulang sekolah aku segera mempersiapkan diri untuk menemuinya. Jili, iya seorang Jili. Dia, hmm berbeda. Dan aku harus bertemu dengannya. Ini pertemuan pertama kali setelah hampir tiga tahun kami berpisah.

Advertisement

Aku segera mengambil cardigan maroon dengan motif floral favoritku, dan menggunakan sepatu kets putih. Kami memutuskan untuk bertemu di sebuah angkringan tepi jalan. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai. “Jili, aku on the way!”, ku kirimkan pesan itu kepadanya.

Pikiranku kembali ke Jili, lalu ke tugas sekolahku, kembali ke Jili lagi. Entah mengapa sore ini aku merasa sangat excited untuk bertemu dengan kawan lamaku yang satu itu. Jili itu partner sekaligus sahabatku sejak SMP. Sekarang Jili berbeda sekolah denganku. Jujur Jili, aku butuh sahabat sepertimu.

Di angkringan, aku tak perlu bingung mencari Jili di mana. Karena ia pasti akan mengenakan bandana di kepalanya. Selera fashion Jili tidak pernah berubah. Dan ya benar, Jili kini berada di sebuah meja bernomor 22.

Advertisement

“Hai, Jili…!” , sapaku.

“Oh, hei.”

Advertisement

Aku langsung duduk di hadapannya, “sudah lama Jil?”

Jili tertawa melihatku, “sejam, Han.”

“Sorry Jil, aku baru pulang sekolah. Kamu tahu kan riweuhnya kayak gimana?”

“Santai aja kali Jihan.”

“Kita makan apa nih? Samain ya?”

“Yang biasa aja.”

Kami memesan nasi goreng extra sambal dan es jeruk.

“Sumpah, tiga tahun bukan waktu yang singkat, Jihan. Aku malah kira, kamu lupa sama kalau pernah temenan bahkan sahabatan sama aku.”

Aku menatap Jili, “enggaklah, Jil. Secara kita kan partner. Tapi lucu aja sih pas SMP. Aku sama kamu salip-salipan ranking terus. Kalau nggak kamu yang satu umum, ya aku yang dua umum. Pokoknya tukar-tukaran posisi deh. Nggak bakal pernah lupa, Jil. Kamu itu lawan yang rasa teman.”

“Apaan sih, Han? Habisnya kamu main sportif banget sih. Kan jadi kerasa kompetisinyam, kompetisi yang sehat. Kalau enggak sih, mah aku ogah.”

Aku kembali menatap Jili, “iyaah.”

Jili memasukkan ponselnya ke tas. “kenapa Han? Kok tumben ngajak makan bareng? Kangen ya? Hahahaha.”

Aku memperbaiki posisi dudukku. “Nggak tahu ya Jil, cuma ngerasa gak nyaman aja sama keadaan.”

“Ada masalah ya? Cerita aja.”

Dengan suasana yang mulai mencair, ku jelaskan semua rasa gundah gulanaku. Aku juga bilang banyak hal ke Jili. Misalnya, bagiku dia itu satu-satunya sosok yang emang gak pernah fanatik sama masalah-masalah yang berbau dengan nilai sekolah. Nilai sekolah ya nilai sekolah, emang penting, tapi relasi/hubungan pertemanan jauh lebih penting bagi Jili.

“Bukan gimana-gimana ya, Han. Cuma kamu tahu kan, cerdas nggak cuma diukur dari isi kepala saja tapi dari kepribadian juga. Percuma nilai besar, tapi nggak ber-attitude. Apalagi dapetin nilainya dengan menghalalkan segala cara. Ya kan? Kalau aku sih enggak pernah sampai segitunya, aku gak mau jadi orang yang brengsek, Han. Aku mau jadi diri sendiri. Ah sudahlah Han, nggak usah dipikirin. Bawa santai, have fun!”

Dan Jili, tetaplah Jili yang aku kenal seperti dulu. Perempuan tangguh yang gak pernah mau ada di satu titik yang sama. Bagi Jili, bagaimana caranya mengerti apa yang dipelajari jauh lebih penting dari nilai yang ia peroleh. Jili tetaplah Jili. Tahun depan ia akan melanjutkan pendidikannya ke Adelaide, Australia ngambil Finance. Sementara aku, akan memilih Psikologi, UI. Lalu memulai kehidupan baru di Depok, Jawa Barat. Terima kasih Bali, telah mengenalkanku dengan sosok inspiratif seperti Jili.

"Cuma kamu tahu kan, cerdas nggak cuma diukur dari isi kepala saja tapi dari kepribadian juga."

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dari lahir emang gini, dan masih betah :)

CLOSE