[CERPEN] Apakah Kamu Akan Pulang?

Aku sudah lama menunggumu, apakah kamu akan pulang?

 “Brak! Kamu maju ke depan. Hafalkan rumus aljabar!” Bentak seorang guru. Dia menyuruh teman sebelahku, Dika untuk ke depan karena terus mengoceh ketika guru menulis di depan.

Advertisement

Beberapa menit di depan, sedikitpun tak ada yang dia hafal. Akhirnya seperti biasa dia lari keliling lapangan sekolah. Kami tak begitu dekat, karena memang dasarnya aku tidak mau begitu dekat dengan laki-laki. Dia adalah Dika, laki-laki yang tidak begitu hebat dalam pelajaran, tapi lumayan jago olahraga. Cuek dan sedikit brandalan. Kegiatan rutinnya, nongkrong di kantin dan parkiran sekolah sambil gibah dan merokok. Dia orang yang nggak aneh-aneh, sebenarnya baik, hanya saja sedikit cuek.

Aku Zizah, termasuk cewek biasa, nggak cantik-cantik amat tapi lumayan dalam pelajaran. Sering langganan peringkat, dan teman-teman menjulukiku sebagai cewek dengan passion belajar. Setiap pagi sebelum kelas dimulai, aku sudah dicegat di parkiran dan mereka menggeledah tasku. Bukan minta duit, tapi minta contekan PR. Termasuk dia, dan aku sangat membenci mereka yang tidak mau berusaha dan hanya mengandalkan orang lain.

Setelah lulus dari SMA. Aku memilih untuk melanjutkan kuliah, dan dia? Tidak usah tanya, dia tak akan ambil pusing untuk kuliah. Prestasinya dalam olahraga membuatnya diterima sebagai abdi negara. Beberapa bulan berlalu, tiba-tiba DM Instagramku muncul namanya. Dia menyapaku setelah setengah tahun hilang kontak.

Advertisement

“Zah, apa kabar? Kuliah di mana kamu?”

“Baik, aku kuliah di Jogja Dik. Gimana kabarmu? Tugas di mana?” Tanyaku basa-basi.

Advertisement

“Aku baik, aku ditempatin di Jakarta. Boleh minta nomor WA mu?”

“Oke, aku kirim bentar”

Setelah setengah tahun, kita membangun komunikasi yang baik. Aku tak secuek dulu, aku lebih terbuka dan sering juga cerita dengannya. Dia intens menghubungiku. Sebenarnya, aku sudah merasakan ada perasaan yang berbeda ketika dia berbicara denganku dulu ketika di kelas. Dia tak berani menatapku dan sedikit malu dan segan ketika mengobrol denganku.

“Zah, lagi apa?” Tanyanya pagi-pagi.

“Habis jogging nih, diet aku haha”. Kataku sambil bercanda.

“Apaan sih diet segala, kamu udah kurus kali. Nggak penting ah, ntar kamu sakit.”

“Apaan sih, suka-suka aku dong. Kan jadi lebih sehat juga.”

Dia sering tanya kabarku, setiap dia akan ditugaskan ke tempat-tempat konflik, dia pasti menelponku dan berpamitan. Awalnya aku sih cuek aja, lagi pula bukan siapa-siapa. Sudah hampir 3 tahun kita berkomunikasi dengan baik. Perlahan-lahan entah kenapa aku mulai ada peraaan padanya. Tapi aku menyembunyikan itu hingga dia mau menyatakan langsung kepadaku. Dua tahun berlalu, kita sama-sama saling perhatian tapi dia tak kunjung menyatakannya.

“Zah, kok sedih sih, kenapa? Sini cerita sama aku.”

Iya, dia suka banget nyuruh aku cerita. Karena semakin lama aku dengannya, semakin banyak dan suka banget cerita. Dia sosok orang yang sabar dan pendengar yang baik. Tapi pertanyaanku masih sama, kenapa dia tak kunjung menyatakan perasaannya?

Setelah lulus sarjana, aku melanjutkan pendidikanku ke pascasarjana. Setelah total 6 tahun aku berkuliah, akhirnya aku lulus juga. Tak berharap banyak, pasti dia hanya mengirimiku pesan ucapan selamat. Karena aku yakin dia tak akan meninggalkan tugasnya hanya untuk mendatangi acara wisudaku.

“Zah, selamat ya. Ini buat kamu.”

“Hah? Kamu ngapain di sini?” Tanyaku kaget dan hampir saja menangis karena terharu.

Dia mencium tangan kedua orang tuaku, dan memberiku seikat bunga dan boneka wisuda. Aku hampir menangis karena tidak percaya. Kami semua pulang bersama, dan dia mampir ke rumahku dan mengobrol dengan kedua orang tuaku. Dan, dia berniat ingin melamarku dalam waktu dekat. Aku terkejut, dia tidak pernah menyatakan cintanya padaku terlebih dahulu tapi langsung mengatakannya di depan orang tuaku. Aku tidak pernah menyangkanya, di hari spesial ini dia mengatakan akan melamarku sesegera mungkin.

Orang tuaku menyerahkan keputusan kepadaku, dan tanpa basa-basi aku bilang “iya”. Dan kami menentukan tanggal lamaran. Aku tidak pernah menyangka kalau dia yang dulu aku benci sekarang akan menjadi calon imamku. Bahagiaku berlipat ganda, selesai dapat ijazah dan lalu ijab sah. Malam harinya aku mengantarkan dia ke stasiun, karena keesokan harinya dia harus bertugas. Aku masih tidak menyangka, aku akan bersamanya dan mendampinginya. Di sepanjang perjalanan menuju stasiun, kita mengobrol banyak hal dan sesekali dia menatapku sambil tersenyum.

Satu minggu sebelum acara lamaran, dia mengambil cuti beberapa hari untuk mempersiapkan acara lamaran itu. Semuanya berjalan lancar, dan kami semua menentukan tanggal pernikahan. Bulan Januari, dia menelponku secara mendadak.

“Dek, abang mau ijin nih. 2 minggu lagi abang pergi tugas ke daerah perbatasan selama 2 bulan.”

“Dadakan banget sih bang, kenapa lama, kita kan mau nikah sebentar lagi”

“Iya, tapi ini sudah tugas dek, biar nanti bisa dapat cuti lama juga kan.”

“Iya udah, hati-hati ya bang. Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, hati-hati pokoknya”

“Iya dek, tenang aja ntar kita persiapin pernikahan bareng-bareng.”

Setelah pesawat mendarat, dia menelponku dan mengatakan mungkin kita akan lost contact dalam waktu lama karena sinyal sulit di tempat itu. Setelah dua bulan, aku mulai resah. Dia sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku terus berharap dan berdoa agar dirinya baik-baik saja. Tiga minggu sebelum pernikahan kami, dia tak kunjung ada kabar. Aku sudah kalang kabut, dan tiba-tiba ponselku berdering,

“Nak, pernikahan ini mungkin akan dibatalkan, Dika hilang kontak.” Kata Ibu sambil terisak-isak.

“Nggak, nggak mungkin, kan tidak ada konflik bu, kenapa kok bisa hilang?” Aku menangis sejadi-jadinya.

Aku mendapatkan kabar bahwa semua rekannya sudah kembali ke Jakarta, dan aku tak mendengar kabar apapun dari Dika. Aku menangis, sekian lama aku menunggunya menyatakan perasaannya dan akhirnya dia berniat melamarku. Dan aku harus menunggunya lagi ketika menjalankan tugas. Aku tak pernah bertemu dengannya, hanya sekali ketika dia akan melamarku. Dan apakah aku harus kembali menunggunya tanpa status yang tidak jelas seperti ini.

Setelah kejadian itu, di tanggal ketika kita seharusnya menikah, aku hanya berdiam diri di kamar. Menatap lama-lama ponselku, jikalau Dika menghubungiku. Aku terus mengirim pesan kepadanya, berharap dia membalas pesanku. Setiap pagi dan malam, aku duduk di teras depan rumah berharap ada sesosok pria yang membawa bunga dan boneka yang katanya akan menikahiku.

Satu tahun berlalu, aku tak kunjung mendapatkan berita tentang Dika. Keluarga sudah mengikhlaskan tentang apapun yang terjadi. Tapi aku? Aku terus berharap, dan sesekali menatap ponselku berharap pesan-pesanku selama ini mendapatkan balasan. Aku membaca semua pesannya dari awal hingga akhir untuk mengobati kerinduanku. Dan aku selalu bertanya, apakah kamu akan pulang?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE