#HipweeCerpen: Sore Setelah Hujan

Cerita tentang menjadi perempuan di antara kami. Di hari rabu, sore setelah hujan di atas vespa kuning.

Ini adalah hari ketika kita sama-sama letih. Menangkis semua ragu, menghempas segala gundah karena hal-hal yang masih abu-abu. Kamu mengajakku menikmati petrikor sore itu. Bahkan sebelum turun, kamu mengingatkan aku yang seorang koprofil, "langit mendadak gelap akan turun hujan" lewat aplikasi bercakap dari ponsel pintar yang kamu bawa kemanapun karena kerjaanmu dari situ. 

Aku jadi menunggu hujan reda waktu itu, sambil berpikir menikmati sore setelah hujan adalah cara baik untuk membuang segala huru-hara yang terjadi antara aku dengan suasana yang tak jelas Rabu itu. Aku sempat bersungut-sungut sebelum tahu kamu memberiku pesan kalau hari akan hujan, perkara waktu yang harusnya kupakai untuk rehat tiba-tiba tanpa seizinku direnggut oleh ketidakkuasaan. Hingga akhirnya aku punya ide buat kita bertemu sore setelah hujan. Aku yang akan menjemputmu, kupastikan seperti itu agar kamu pun ada alasan untuk keluar sebentar menikmati sisa sore di hari Rabu waktu itu. 

 

———-

 


" Kamu berupaya melakukan emansipasi kayak Ibu Kita Kartini, Tian?"


 


" Iya, dong. Kenapa nggak? Maksudmu karena aku menjemput dan akan memboncengmu ini? Atau karena hal-hal lain, Ram?,"jawabku setelah Ram telah berada di jok belakang motor vespa kuning kesayanganku. 


 


" Hehehe, aku tuh selalu salut sama kamu, nggak mau kalah sama laki-laki, nggak mau dihina sebagai perempuan"


 


" Mulutmu! Gak gitu, Ram. aku sebagai perempuan melek huruf yang mampu mengolah kalimat ini berupaya demikian bukan karena gak mau kalah sama laki-laki," jawabku sambil konsentrasi mengendarai motor yang sudah keluar dari kantor Ram menuju kafe tempat kita meluangkan penat.


 


" La terus apa, dong?"


 


" Dengerin nih. Buka tuh kaca helm, biar angin gak menutupi aliran suaraku sehingga membawa berita palsu masuk ke telingamu"


 


" Oke, Tian"


 


" Di dunia yang serba patriarki ini mungkin akan sulit mengubah tatanan yang telah terjadi, tapi bagiku, kalau dimulai dari sendiri bisa, kenapa harus menunggu nanti? Atau bahkan menunggu orang lain?. Perempuan sudah lama dijadikan manusia kedua, tidak dianggap, bahkan ketika telah berlari dua kali lebih cepat daripada laki-laki."


 


" Hmm… iya juga sih"


 


" Iya, kan. Jadi sebenarnya aku bukan gak mau kalah sama laki-laki. Pandanganmu yang mengatakan ke aku demikian saja sudah menganggap bahwa aku ini perempuan yang harusnya di belakang saja, kan?. Hayo, ngaku!"

 



" Mmmm… kalau dipikir-pikir bener sih"


 


" Terus, konklusi dari percakapan sepanjang jalan di atas motor menuju kafe ini adalah…….."


 


" Setidaknya aku juga bisa mengubah perspektifku terhadap perempuan. Menempatkan mereka sejajar denganku, memberinya ruang yang sama dalam segala hak perempuan sebagai sesama manusia," sahut Ram cerdas. 


 

Percakapan tersebut terhenti ketika kami telah sampai di kafe tujuan. Aku melempar kunci motor ke arahmu, kamu cepat tanggap buat menangkapnya. Kamu paham, aku tidak bisa memarkir dengan benar. Aku juga paham, kamu kelelahan mikir kerjaan seharian. Duduk di boncengan belakang vespa kuningku adalah cara bagimu, partner dalam segala halku, untuk kembali menemukan diri lebih-lebih inspirasi dari mendengar ceritaku yang kadang banyak mikirnya diiringi canda. Sejujurnya, aku juga merasa seru dengan hal itu. Terlebih berkendara di hari Rabu  yang menyebalkan waktu sore setelah hujan. Bau tanah yang basah membuatku bangkit merasakan alam sedang menyembuhkan dirinya, menyembuhkanku yang butuh jeda, menyembuhkan Rabu yang ditutup tanpa dendam. 

 


" Nih aku traktir, selamat Hari Kartini, Tian"


 

Tingkah lakumu yang mengejutkan membuatku terperangkap nostalgia waktu sore setelah hujan. 

 


" Makasih, Ram"


 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka menulis, membaca, berkebun, dan beres-beres.