Cisadane, Sampah, dan Perhatian Masyarakat

Sore itu (7/4), cuaca Cibodas, Kota Tangerang cukup terik. Saya sedang menaiki perahu katamaran milik Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksasuci). Perahu ini beroperasi rutin ketika ada tamu yang berkunjung ke Banksasuci.

Advertisement

Tujuan saya ingin melihat kondisi Sungai Cisadane, yang menurut berita, sering dipenuhi sampah. Di atas perahu, rupanya banyak penumpang lain yang juga ingin melihat Cisadane dari dekat. Saya juga berkesempatan ngobrol dengan Uyus Setia Bhakti, salah satu tetua di Banksasuci, tentang kondisi sampah di sungai terpanjang di Tangerang.

Sejak lama, Sungai Cisadane dianggap penting bagi masyarakat Tangerang. Banyak penduduk sekitar memanfaatkan Sungai Cisadane untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Ia menggambarkan Sungai Cisadane seperti aliran darah dalam tubuh manusia. Ketika aliran darah tersumbat, penyakit bisa datang. Begitu pula ketika sungai tersumbat sampah, bisa jadi penyakit bagi masyarakat.


“(Sungai Cisadane) sangat penting. Ini sumber kehidupan. Cisadane kering, semuanya teriak. Masjid teriak nggak ada air wudhu, masyarakat teriak nggak ada air yg bisa diminum,” tegas pria yang karib disapa Kang Uyus itu.


Advertisement

Permasalahan Sampah di Sungai Cisadane

Cisadane yang sekarang berbeda dengan kondisinya puluhan tahun lalu. Air kali yang dulunya jernih sekarang keruh. Masalah ini disebabkan oleh banyaknya sampah yang dibuang ke sungai.

Advertisement


“Tahun 80-an Cisadane masih sangat bening. Mulai masuk industri, pembangunan skala besar, Cisadane airnya berubah keruh karena danau banyak yang hilang. Air dari drainase dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bercampur. Jadinya seperti ini,” jelas Kang Uyus yang sejak kecil sudah tinggal di Tangerang.


Selain itu, pendiri sekaligus pembina Banksasuci itu menyebut faktor dominan yang membuat Sungai Cisadane penuh sampah adalah kebiasaan masyarakat sekitar yang menganggap sungai sebagai tempat sampah gratis.


“Masyarakat sudah biasa dengan cara-cara lama. Memandang sampah sebagai sesuatu yang menjijikkan, makanya dibuang gitu aja,” sesalnya.


Sejak berdiri pada 2012 lalu, jalan berliku dilalui oleh Kang Uyus dan puluhan pengurus Banksasuci lainnya. Tak jarang dia mendapat penolakan oleh masyarakat ketika memberikan edukasi agar tidak membuang sampah ke sungai. Bahkan, ia pernah mendapat ancaman golok dari warga.


“Waktu di awal, banyak yang marah juga. (Saya bilang) Pak, jangan buang sampah di tepi kali. Mereka jawab, siapa kamu? Saya dari jaman engkong saya di sini nggak ada yang marah. Sambil bawa golok,” ujarnya menirukan ancaman warga.


Kang Uyus bersyukur usahanya bersama Banksasuci perlahan membuahkan hasil. Masyarakat yang dulunya cenderung defensif, sekarang bisa mendukung keberadaan Banksasuci. Lantas, apa kiatnya?

Cinta Adalah Kunci


“Kuncinya adalah rasa cinta. Tidak ada yang lebih kuat dari kekuatan cinta. Karena cinta, Banksasuci ada. Masyarakat jadi lebih dekat. Kita akan nyaman kalau ngobrol berdasar cinta,” ucapnya bangga.


Kang Uyus memandang Banksasuci lebih dari sekadar bank sampah. Ia ingin Banksasuci menjadi pusat dari berbagai kegiatan terkait perbaikan Sungai Cisadane. Secara rutin, Banksasuci mengadakan diskusi dan kegiatan pembersihan sungai bersama komunitas dan masyarakat umum.

Melalui sektor pariwisata, masyarakat ‘hanya’ perlu membawa 2 kg sampah bekas kemasan air mineral ke Banksasuci untuk bisa menikmati panorama Sungai Cisadane dari perahu Katamaran. Ia ingin masyarakat berpikir bahwa sampah memiliki nilai. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih mengenal Sungai Cisadane, termasuk permasalahan sampah yang ada.


“Kenapa kita buat begini, supaya tidak ada jarak antara manusia dengan sumber kehidupan. Kita ajak naik perahu agar mereka mereka bisa mencium kebenaran dari Cisadane. Kok banyak sampah ya? Kok nggak bersih?” lanjut Kang Uyus.


Di sela-sela obrolan kami, saya melihat sampah plastik bekas kemasan mie instan, botol minuman, sampai popok bayi mengalir di permukaan sungai. Di tepian sungai, banyak tumpukan sampah yang siap hanyut. Saya juga melihat limbah mengalir dan bercampur dengan air sungai melalui corong kecil milik salah satu pabrik di Tangerang.

Melihat banyaknya sampah di Cisadane, saya sangsi bahwa permasalahan sampah di sungai dapat diatasi dengan usaha yang biasa-biasa saja. Benak saya cukup terganggu. Saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Kang Uyus, “Apakah menurut Kang Uyus yang dilakukan Banksasuci ini dapat menyelesaikan permasalahan sampah di Sungai Cisadane?”


Ia menghela napas seraya mengangguk pelan, “(Apa yang kami lakukan) efektif nggak efektif kami nggak peduli. Yang penting harus dimulai. Kalau nggak dimulai, kapan lagi?”


Peraturan Ada, Implementasi Kurang

Dalam wawancara terpisah (16/4), pakar isu persampahan sekaligus pendiri Waste4Change, Mohamad Bijaksana Junerosano menyebut penyebab utama permasalahan sampah di Indonesia adalah tidak adanya tata kelola persampahan yang holistik. Meski sudah terdapat peraturan untuk tidak membuang sampah sembarangan, tetapi implementasinya tidak sebaik yang tertulis.


“Belum ada penegakan hukum yang nyata. Ini membuat banyak dampak. Orang memilih jalan pintas untuk membuang sampah di sungai. Akhirnya membuat masyarakat berpikir ngapain sih bayar mahal untuk pengelolaan sampah, wong nggak ada penegakan hukumnya,” jelas pria yang biasa disapa Sano tersebut.


Selain implementasi hukum yang lemah, pria lulusan Teknik Lingkungan ITB tersebut juga menyebut bahwa tata kelola persampahan di Indonesia juga masih belum memiliki pondasi yang kuat.


“Kekacauan masalah sampah, yg salah satu gejalanya adalah adanya sampah di sungai, adalah masalah tata kelola. Selain tidak ada penegakan hukum, tidak jelasnya skema kemitraan dan belum memadainya mekanisme pembiayaannya jadi masalah banget. Nggak ada aturan jadi chaos, nggak ada kemitraan yg jelas positioning-nya jadi bentrok, nggak ada duit ya nggak bisa jalan. Jadi muter-muter aja di situ,” sesalnya.


Tak terasa, hampir satu jam saya ngobrol bersama Kang Uyus. Kami sudah sampai di daerah Serpong, Tangerang Selatan. Langit sudah gelap, azan magrib terdengar bersahutan. Setelah rehat sejenak di saung yang ada di tepi sungai, kami memutuskan untuk kembali ke markas Banksasuci di Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.

Dalam perjalanan pulang, perahu sempat mogok. Beberapa penumpang saling berbisik, mulai panik. Dalam hati kecil saya, ada sedikit kekhawatiran mesin perahu tidak bisa hidup kembali. Beberapa awak perahu mulai memeriksa bagian mesin untuk mencari sumber masalah.

Sekitar 10 menit mengapung tanpa deru mesin, seorang awak perahu berteriak. “Ada sampah nyangkut di baling-baling.” Para penumpang menunggu kabar baik, termasuk saya yang pertama kali berada di perahu mogok pada malam hari. Khawatir jika harus menghabiskan malam yang dingin di perahu mogok tanpa persediaan cukup.

Akhirnya, kabar baik itu sampai juga. Mesin perahu hidup kembali, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Pengalaman ini membuat saya berpikir, apakah mungkin semesta sedang menunjukkan kepada kami bahwa sampah memang masalah semua orang?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Bekerja untuk Waste4Change.

CLOSE