[CERPEN] Delapan Jam Milikku Berbeda Dari Cerita Film

Menunggu Itu berat, hati-hati jadi tak waras

“Lalu?”                                                                          

Advertisement

“Lalu apa?”

“Kita apa?”

“Kita ya kita, apa lagi?

Advertisement

“Itu saja?”

“Cukup kan?”

Advertisement

“…….”

 

Pembicaraan di seberang telepon terus saja begitu. Pertanyaan yang kemudian dijawab dengan pertanyaan pula. Aku menutup telponnya dan beranjak dari tempat dudukku. Melangkahkan kaki ke gerbong 3. Tidur selama 8 jam perjalanan, berharap kode-kode perempuan yang jauh disana dapat aku lupakan sejenak. Lelah aku dengan mereka! Makhluk yang punya berbagai macam kode, bisa jadi bahasa alien tak jauh lebih rumit dari kode perempuan.

Sudah 1 tahun aku dan dia tidak ada pada satu tempat yang sama. Di tengah ujian semester, aku menghampirinya. Respon dia sama seperti 2 tahun yang lalu. Bersama tapi tak tahu ikatan apa yang mengikat. Ikatan benang merah atau benang biru? Jelasnya, mau diikat benang warna apapun dia tidak menginginkannya. Terus mengelak namun tak ingin ditalak.

“Biasanya perempuan yang menuntut kepastian, ini malah lelakinya,” ledek teman-teman ku. "Kuat banget sih menunggu kepastian dari dia?" timpal yang lain. Sepertinya manusia yang telah beranjak dewasa pernah ada di posisi ini. Mengalami keruwetan dalam urusan cinta. Saat ada di tengah drama itu, tentu mereka menganggap dirinya paling waras meskipun orang disekelinglingnya tak berhenti tertawa. Nah, sekarang saya rasakan!

Pertama melihatnya di SMA, bagiku dia Milea. Tak memakai jaket merah dan punya tahi lalat memang, tapi dia perempuan yang aku serbu dengan gombalan. Dia yang aku lindungi saat ada yang mengganggunya di kelas. Aku layaknya Dilan, panglima perang yang berusaha mengambil hati seorang perempuan. Sayangnya Mileaku bukan seperti Mileanya Dilan yang luluh dengan puluhan kata romantis dan pada akhirnya menerima Dilan. Aku pun bukan Dilan yang berhasil mendapatkan hati Milea seutuhnya.

Ada nama dia di layar handphone, setelah 3 bulan tak mendengar suaranya. Akhirnya kali ini, dia yang berinisiatif menghubungiku. “Yes! Ada kemajuan,” pikirku. Aku angkat segera telepon itu, tak mau membiarkan dia menunggu lama. Aku kaget mendengar suara di seberang sana. Serak, tangisnya tak berhenti. Aku panik, bingung, sekaligus senang karena dia mengingatku disaat sedang mengalami hal yang buruk menimpanya.

Tak apa dia tidak membagikan tawanya kepadaku, dibagikan tangisnya pun aku terima. Aku sudah gila! Ada apa denganku? Atau ada apa dengannya? Harus aku datang pada satu purnama? Untuk mempertanyakan cintanya, lagi? Iri aku dengan akhir cerita Rangga dan Cinta. Ah, sudahlah aku tak sedang memainkan peran di film Ada Apa Dengan Cinta atau Dilan 1990. Ini cerita cintaku. Entah seperti apa akhir ceritanya nanti, yang jelas aku menginginkan dia.

Aku berusaha menenangkan dia hingga akhirnya dia berhasil bercerita meskipun lama aku mengerti apa yang dia ucapkan. Samar aku mendengar dari suaranya yang hampir habis karena lama menangis “Ibu meninggal,” ucapnya.

Tak berpikir lama, aku menggendong tas ransel menuju stasiun. Delapan jam perjalanan kali ini tak sedikitpun aku mampu memejamkan mata. Gelisah membayangkan dia yang terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Aku mengenal baik Ibunya, beliau yang selalu menerima aku dengan ramah di rumahnya. Menemaniku mengobrol saat menunggu putrinya yang tak mau menemuiku. Aku tahu betul betapa sayangnya beliau pada putrinya dan betapa manjanya sang anak.

Aku tiba di rumahnya, betul bayanganku. Dia sangat terpuruk, hanya bisa menangis tanpa satu sendok nasi pun yang masuk ke mulutnya. Aku masuk ke kamarnya, tak bersuara. Hanya duduk di tepi kasur, menepuk pundaknya dan mengusap kepalanya. Apa yang bisa aku ucapkan? Siapa aku sampai dia mau mendengarku? Aku terus mengusap kepalanya. Hingga tangisannya terdengar lebih keras sampai ke ruang tamu. Hingga air matanya membasahi pundak kanan ku. Tak kepalang senangnya diriku. Dia mau meminjam pundakku untuk air mata dan ingusnya.

Maaf aku tak seharusnya merasa senang atas kesedihan mu. Aku tinggalkan dia yang tertidur karena lelah meraung. Aku pamit untuk menempuh kembali perjalanan 8 jam, mempersiapkan esok untuk pratikum. Selama 2 bulan menjadi rutinitas untuk langsung menuju ke stasiun usai kuliah. Menghabiskan waktu 8 jam di kereta dan 4 jam di rumahnya.

Terkadang waktu ku bersama dia terpotong karena ada berbagai pesta adat yang menyambut saat aku turun dari kereta. Macet karena ada upacara Sekaten tak membuatku berkata kotor. Bertemu dengan dia adalah salah satu kebahagiaanku meskipun sekedar menemani dia menonton tv, duduk disampingnya tanpa bersuara.

Lalu, apa dia bisa kembali hidup normal lagi? Ya, akhirnya dia bisa menerima kepergian Sang Ibu. Lalu, bagaimana hubungan aku dan dia? Puji Tuhan, dia masih dingin dan tak mempedulikan aku. Dia tahu perasaanku tulus ke dia. Menerima perhatianku tapi sepertinya dia lupa membalasnya atau memang tak ingin membalasnya. Aku tak menghiraukan balasannya, aku hanya sibuk menyampaikan perasaanku karena hanya itu yang aku bisa. 

Kurang lebih 4 tahun bangku kuliahku dihabiskan dengan belajar dan memberikan perhatian pada dia. Tak merasa bosan dengan apa yang aku lakukan itu tapi ternyata kesibukan membantu asisten dosen membuat ku tak serajin dulu menempuh perjalanan 8 jam. Kata beberapa orang, jarak tak jadi masalah selama ada jaringan komunikasi. Bagiku tetap menjadi masalah karena dia hanya membaca pesan tanpa membalasnya.

Bisa dihitung jari dia membalas pesanku sampai aku hafal apa saja balasan chat yang aku terima selama dia jauh dari ku. Tak terasa belajar jauh dari rumah selesai sudah. Aku kabari dia untuk datang pada prosesi wisuda. Berharap dia menghampiriku dengan membawa buket bunga. Aku terima balasan chatnya. Dia mengirimkanku foto rupanya.

Apa dia sedang mengirim wajahnya yang sedang senyum mengetahuiku yang berhasil menyelesaikan bangku kuliah dengan baik? Atau mengirim “meme” yang bertuliskan “Ayuk ke pelaminan bang” Aku masih saja gila karenanya. Aku buka dengan hati yang berdegup dan untungnya degup jantung ku tak berhenti saat melihat isi chatnya itu.

Tertera nama dia dan dia beserta tanggal dan tempat hari bahagianya. Lalu, bagaimana perasaanku? Laki-laki juga bisa patah hati, laki-laki juga bisa menangis, laki-laki juga bisa terpuruk karena cinta. Sesering apapun aku menempuh 8 jam perjalanan tetap saja untuk bisa berdiri disampingmu, menggenggam erat tanganmu dan kemudian menyanyikan lagu Sheila on7. Hanyalah menjadi ilusi belaka yang cuma bisa dinikmati di sebuah lagu Fiersa Besari.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Finding Pixie Dust--

CLOSE