Demokrasi: Bersikap Dewasa dan Berpikir Matang

Merawat dan Merayakan Kebebasan

Demokrasi itu pasar ide, tempat orang-orang menjual kreativitas dan gagasan. Di sanalah kita bebas berekspresi tidak memandang soal kapasitas diri. Namun sebagai sipil society yang menjunjung tinggi soal adab, kita perlu cerdas dalam berekspresi, agar ekspresi tersebut selalu mencapai nilai-nilai edukasi. Kita bebas terlibat untuk sharing-sharing, tapi informasinya haruslah tetap disaring dan berargumen tidak mengedepankan rasa sentimen. 

Advertisement

Hadirnya media sosial sebagai sistem pasar yang mempercepat agar ide-ide itu semakin cepat terjual. Berbagai aplikasi seperti Facebook, YouTube, Instagram, Twitter, Tiktok dan aplikasi sejenisnya adalah sebuah infrastruktur untuk membentuk ekosistem pasar terbuka untuk menjual ide tersebut supaya sampai di tangan publik.

Efek samping dari pasar ide tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah soal kegaduhan opini, argumentasi saling serang, debat, menggugat pendapat, dan saling tindih perspektif. 

Itulah hari-hari yang terjadi di pasar ide, yang bisa kita sebut sebagai demokrasi. Seharusnya hal tersebut tidak membuat kita saling benci, atau saling lapor polisi. Justru membuat kita semakin dewasa dan gagah dalam memberikan pandangan atau beropini. Karena selalu ada tukar tambah informasi dan pikiran.

Advertisement

Jika kita memahami dari awal efek samping dari demokrasi, tentu hal ini tidak membuat suasana semakin gaduh atau pun menjadi keruh. Pemahamanlah yang membuat itu menjadi tentram dan di media sosial. Kita bisa memilih, jika ingin berisik, berselancarlah di medi sosial, jika ingin duduk tentram, matikan gadget lalu diam.

Hanya se-simpel itu kehidupan di era demokrasi. Justru yang membuat hal itu tidak sederhana, karena kurangnya pemahaman akan konsekuensi dari demokrasi.

Advertisement

Saya ingin men-sounding-kan hal ini dengan sebuah teori Butterfly Effect.

Banyak orang menggunakan istilah butterfly effect untuk menjelaskan aksi kecil dapat memulai rangkaian peristiwa yang menyebabkan efek lebih besar dan tidak terduga. Demokrasi sangat membuka peluang besar akan hal-hal yang tidak terduga dalam kehidupan berwarga negara.

Butterfly effect bisa terlihat dari peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Misal, tentang cara memperlakukan atau mengomentari orang lain, terutama dalam hal kata-kata atau tulisan di media sosial. Kata-kata atau tulisan sekecil apapun terkadang bisa berefek besar.

Ketika kamu mengatakan sesuatu yang baik kepada seorang teman, bisa jadi akan menimbulkan efek besar dikemudian hari. Baik ataupun buruk.

Begitu pula sebaliknya, bisa jadi kalimat negatif yang kamu katakan pada teman, akan menimbulkan dampak besar di masa depan.

Ketika suatu tulisan atau konten yang dibuat dalam media sosial, apapun itu, pasti memiliki efek bagi kehidupan orang lain. Oleh karena itu, menulislah sesuatu secara konstruktif, jangan destruktif, agar tidak menjadi kegaduhan yang membuat kita di panggil ke pengadilan.

Sah-sah saja marah, emosi, dan menulis status yang bersifat pribadi, tapi ingat lagi, ada UU ITE sebagai penguji. Mungkin di antara kita ada yang tidak setuju dengan undang-undang ini. Dan itu sah-sah saja, tapi alangkah lebih baiknya kita juga mengerti, bahwa undang-undang ini sudah diterapkan dalam sistem kita berdemokrasi.

Berdemokrasi artinya merayakan kegaduhan sesama warga negara. Dan kegaduhan itu adalah insting dasar manusia, bahkan terkadang kita gaduh dengan diri kita sendiri.

Itulah perbedaan kegaduhan zaman dulu dengan sekarang, terletak pada bagaimana cara kita mengorganisir kegaduhan itu sendiri, kegaduhan dulu sampai menumpahkan darah, sekarang di era demokrasi kita organisir kegaduhan itu hanya sebatas kata-kata, sikap saling mengelus dada dan tidak sampai angkat senjata. Jangan sampai.

Oleh sebab itu, ketika menghadapi kegaduhan, apa bila kita bumbui dengan kematangan dan kedewasaan, maka kegaduhan tersebut akan tampak indah. 

Demokrasi menuntut kita akan kematangan dalam berpikir, ketika kita tidak matang, maka kita akan mudah diseret dalam zona yang tidak nyaman. Stres akan bully-an.

Sehingga muncul anggapan bahwa demokrasi adalah arena gaduh, yang semakin memperkeruh situasi dan kondisi bernegara. Memang benar adanya, bahwa demokrasi adalah arena gaduh dan berisik, tapi akan terasa indah jika diorganisir dengan kematangan dan kedewasaan dalam berpikir.

Terkhusus untuk para penjabat negara, harus dewasa dan matang melebihi warga negaranya. Karena kepada para aparatur negaralah masyarakat itu melepaskan segala kekesalan dan bahkan makian. Sebagai suatu konsekuensi dari harapan mereka yang mungkin belum terealisasikan.

Sebab itu pula, pemimpin negara, harus seseorang yang tahan akan kritik. Negara memerlukan para penjabat dengan kebesaran jiwa untuk mendengar segala kritik yang akan menjadi gizi bagi jalannya negara dan pemerintahan, agar tetap seimbang.

Lebih lanjut, segala yang dilakukan oleh negara dapat diterima oleh akal sehat warganya, agar kinerja para pengelola negara, dalam hal ini pemerintah, dapat diukur dan dirasakan oleh rakyat, maka dibutuhkan partisipasi rakyat, kritik atau argumentasi merupakan salah satu bentuk partisipasi. Itulah sejatinya demokrasi.

Dan partisipasi tersebut jangan dibalas dengan cara kriminalisasi dan hambatan terhadap kebebasan warga, melakukan kritik dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan adalah upacara terhadap rakyat demokrasi. Maka bersikap dewasa dan matanglah kita dalam menjalankannya.

Sekian!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang penggiat literasi 'Kembul.id'. Pencinta buku-buku provokatif dan revolusioner.