Masih teringat sangat jelas di ingatanku, hari dimana aku dengan semangat mendatangi tempat catering sebagai persiapan pesta pertunangan. Setelah menjalin hubungan selama kurang lebih 6 tahun, kemarin malam ia mengatakan akan minta izin pada keluarganya untuk pada akhirnya meminangku. Bahagia tak kepalang. Rasanya seperti menari di atas udara. Mungkin karena saking bahagianya, aku sampai lupa.
Hari itu sebenarnya ia tidak mengatakan akan minta izin. Ia mengatakan,
“Aku ingin menanyakan pada orang tuaku”
Sesungguhnya ada yang aneh dari peryataan itu. Bertanya? Apa yang harus ditanyakan? kami sudah bersama 6 tahun, kedua orang tua sudah sama – sama tahu. Namun , aku mencoba berpikir positif dan membiarkan berlalu.
Sekitar akhir Januari 2017, ia tiba – tiba mengirimkan pesan whatsapp yang berisikan lagu dari salah satu komposer terkenal Alan Walker. Waktu itu sedang booming lagunya yang berjudul “Faded”. Aku sempat bertanya,
“Memang mau pergi kemana to?” tanyaku dengan nada bercanda saat kita melakukan telepon malam harinya sepulang aku bekerja
“Nggak .. nggak kemana – mana.” Jawabnya.
Lantas kami hening sesaat, jeda saat ingin menyambung dengan topik pembicaraan lain. Saat akan mengakhiri telepon malam itu, dia sempat bertanya,
“Menurutmu, apa kita sedang menggenggam pasir ya?”
Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Apa kita sedang kehilangan sesuatu? Karena ketika menggenggam pasir, seakan – akan kita memiliki segalanya namun pada saat yang bersamaan kita kehilangan segalanya. Aku hanya terdiam, pertanyaan yang cukup aneh untuk kami yang sudah saling mantab dan dia yang sudah ada niatan untuk meminang.
“Apa yang hilang ?” tanyaku malam itu. Dia hanya menghela nafas panjang, lantas menjawab , “Bukan apa – apa, lupakan saja.”
Bulan itu, ayahku sedang sakit keras dan ibuku sudah meninggal ketika aku berumur 13 tahun. Aku bekerja keras sekali, karena aku tahu pertunangan, pernikahan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ayah yang sedang sakit juga sudah tidak memungkinkan untuk bekerja kembali. Kakak perempuanku sudah memiliki 2 anak yang sedang membutuhkan banyak biaya sekolah.
Aku sangat sadar, aku harus bekerja keras. Pertanyaan menggenggam pasir terus terngiang di pikiranku, namun sengaja tidak aku ceritakan pada siapapun. Hanya aku anggap sebagai angin lalu. Aku terus fokus bekerja untuk pengobatan ayah, untuk biaya pertunangan dan pernikahan –pikirku waktu itu.
Berselang 2 bulan setelah ia mengatakan akan menanyakan pada keluarganya mengenai pertunangan kami ia datang ke rumah. Di sana ada aku dan ayah. Ayahku membuka pembicaraan dengan mau dibawa kemana hubungan 6 tahun ini.
“Saya tidak bisa meneruskan ini, saya sudah tidak cinta lagi pada anak bapak.” kalimat itu yang pertama kali keluar dari bibirnya. Kami berdua terperanjat. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Seketika air mataku menetes. Tak kuasa menahan, aku masuk kamar.
Aku menangis sekeras – kerasnya. Aku ingat betul ayahku menanyakan ada apa dan anakku salah apa. Aku ingat betul, ia berulang kali minta maaf. Aku ingat betul, aku menangis di pangkuan ayahku. Tak sanggup menatap orang yang selama ini aku sayangi semudah itu mengeluarkan kalimat “tidak cinta lagi”. Aku ingat betul, aku menangis dan meminta ia untuk segera pergi dari sana.
Aku mengira, ditinggalkan olehnya adalah titik terendah dalam hidupku. Ternyata bukan, satu bulan kemudian duniaku resmi runtuh. Ayahku meninggal dunia. Meninggalkan aku sendiri menghadapi segalanya. Hari saat ayahku meninggal, adalah hari dimana seakan aku masuk ke dalam hutan yang gelap gulita. Sendiri, tidak ada seorangpun di sana.
Ada banyak usaha yang aku lakukan untuk melewati kedukaan ini. Salah satunya dengan bekerja lebih keras dari biasanya. Agar aku lupa dengan rasa sakitnya, aku lupa dengan pedihnya kehilangan. Saat pulang, aku akan lelah dan segera terlelap. Hingga keesokan pagi aku bekerja lagi. Aku bahkan sering masuk pada hari libur.
Namun, dengan cara itu tidak juga mengisi kekosongan yang ada dalam hatiku. Megisi apa yang hilang. Paralel dengan bekerja keras, aku lakukan pendekatan religious. Aku bangun pada sepertiga malam, menangis sejadi – jadinya menangis. Mengadu kepada – Nya mengenai rasa sakit yang seakan – akan tidak sanggup aku tahan ini. Ada sedikit kelegaan disana namun tetap saja, rasa sakit ditinggalkan kekasih–yang kemudian aku tahu ia menikah dengan orang lain di tahun yang sama ayahku meninggal, rasa sakit ayah juga harus dipanggil oleh-Nya masih di sana.
Suatu hari temanku ada yang berbaik hati menemaniku, saat malam dan aku teringat ayahku. Ia bercerita bahwa kesedihan memiliki 5 tahapan.
“Pertama adalah penolakan (denial) tidak percaya hal ini terjadi kepadamu, dalam waktu singkat duniamu jungkir balik. Kemudian memasuki tahapan marah (anger) seperti yang sekarang kamu rasakan kepada mantanmu, ketiga adalah menawar (bargaining) ini adalah bagian berandai – andai, seperti sekarang yang baru saja kamu ceritakan padaku, seandainya kamu melakukan lebih untuk ayahmu, seandainya ini dan itu, keempat adalah depresi ini terjadi ketika kamu terus menerus bersedih dan tidak kunjung menemukan titik terang, atau hikmah dari kejadian ini dan yang terakhir adalah yang tersulit –penerimaan (acceptance), menerima bukan berarti kamu sudah bisa bahagia.
Menerima maksudnya adalah, keikhlasan dan keyakinan. Ikhlas bahwa hal ini yang terbaik and have faith that everything happens for a reason. Accept that , if you cannot conquer this storm … then all you have to do is dancing in the storm. Just enjoy the journey, since bigger the storm then the rainbow would be more beautiful.”
“Untuk mantan kekasihmu itu, dimaafkan saja. Aku tahu, kamu merasa kamu tidak bersalah seperti selingkuh atau semacamnya. You feel that he doesn’t deserve your apologize. But, forgiving him not because he deserves it, because you need living in a peace.”
Aku menghela nafas panjang, sedikit banyak pandanganku menjadi terbuka. Apapun yang aku lakukan untuk melewati kesedihan ini tampak tidak berhasil. Mungkin dia ada benarnya, mungkin semua ini harus diterima. Karena sejauh apapun aku pergi , sekeras apapun aku bekerja dan sebagaimanapun aku berdo’a, ujung dari kesedihan ini adalah penerimaan. Ikhlas menerima takdir – Nya dan percaya bahwa Ia sedang menyiapkan yang terbaik bagi siapapun yang bisa bersabar.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”