Kisah klasik perjuangan R.A. Kartini di masa lampau masih menjadi senjata ampuh untuk menang dari kompetisi gender antara laki-laki dan perempuan. Belum lagi konstruksi patriarki yang menilai perempuan itu lemah, menjadikannya sebagai kaum yang harus dilindungi, sehingga laki-laki harus mengalah. Namun, hal itulah yang mengakibatkan kesenjangan. Mengapa?
Kisah heroik dari perjuangan R.A Kartini adalah titik terang bagi kebebasan wanita di masa sekarang. Pelengseran belenggu wanita yang tak diijinkan menjejaki bangku tinggi pendidikan dan hak-hak lainnya menjadi momentum penting dari perjuangan Kartini yang memiliki makna mendalam terutama bagi wanita Indonesia.
Semakin tingginya kesadaraan wanita akan haknya mengakibatkan bermunculannya aksi-aksi wanita yang semakin gencar menuntut adanya kesetaraan dan perlindungan. Tindakan tersebut memang memunculkan hasil. Buktinya benteng pelindung dari lembaga dan badan sudah ada beragam.
Meski demikian, bagi kaum wanita, nyatanya pelindung tersebut belum cukup mumpuni untuk melindungi dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini bisa dinilai dari meningkatnya angka kekerasan wanita yang terjadi di Indonesia. Menurut data dari Komnas Perempuan setidaknya ada 299.911 Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020. Data tersebut belum termasuk kekerasan yang tidak terdaftar atau yang tidak dapat ditangani. Miris!
Berpegang pada kasus wanita yang terus ditindas itu, mereka kemudian selalu memposisikan dirinya sebagai korban dari kekejaman laki-laki. Di mana kekejaman itu masih harus balik ditindas habis. Untuk itulah mereka terus mengkampanyekan aksi terhadap perlindungan kaumnya.
Tapi pernahkah melihat dari fakta di sebalik itu? Kenyataan bahwa tak hanya wanita yang memerlukan pelindung, laki-laki juga membutuhkannya. Tamparan itu belakangan muncul dari kasus yang menimpa seorang pria dewasa di beberapa daerah indonesia yang menjadi korban pelecehan seksual.
Misalnya, pada sebuah pemberitaan belakangan ini. Sempat diceritakan terdapat seorang pria yang tiba-tiba dipepet oleh sepeda motor yang dikendarai oleh orang yang tidak dikenal dan dadanya diremas. Belum lagi cerita lainnya yang membahas topik serupa. Bahkan kondisi ini ditemukan juga menjalar dialami dari pria muda hingga dewasa.
Fenomena lain yang juga berkaitan didapat dari sebuah studi yang menemukan adanya pemahaman laki-laki yang lebih rendah dari perempuan terhadap bentuk dan sensitivitas terhadap kasus pelecehan seksual. Hal ini tentu menunjukkan bahwa laki-laki yang kurang memiliki pemahaman mengenai hal tersebut bisa saja sebetulnya sudah sejak lama mengalami pelecehan yang juga dialami perempuan, bahkan bisa jadi angka kasusnya lebih tinggi dari perempuan.
Sayangnya, di Indonesia sangat sulit dan jarang menemukan data ataupun studi yang mengukur jumlah pelecehan seksual dimana laki-laki adalah korban. Justru sudah banyak data yang mencatat kasus pelecehan dan kekerasan wanita. Banyak lembaga seperti Komnas Perempuan, Â Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan lembaga lainnya yang bahkan sampai membuat catatan tahunan untuk kasus kekerasan, kejahatan, pelecehan, dan kasus lain yang menjadikan wanita sebagai korban. Â Ironis bukan?
Melihat pada kondisi dari temuan di negara lain, pada studi yang dilakukan oleh BBC bahwa di Irak ditemukan 39% pria mengatakan mengalami pelecehan seksual dengan kata-kata dibandingkan dengan 33% perempuan. Dan 20% pria Irak mengaku mengalami kekerasan seksual fisik, sementara jumlah perempuan yang mengalaminya sebesar 17%.
Ini mengartikan bahwa masalah serupa bisa saja terjadi di Indonesia. Belum lagi, kurangnya kesadaran laki-laki terhadap pelecehan dan tindak kekerasan yang dialaminya menjadikan fakta tersebut tertutup. Terlebih kasus yang tertutup ini akan semakin tertimbun dari fokus masyarakat yang melulu memandang bahwa yang perlu dilindungi adalah perempuan.
Apabila ingin mengubah pandangan masyarakat, maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin sulit. Untuk masalah ini, seyogyanya laki-laki perlu diberikan edukasi dan pemahaman terkait isu yang selama ini di tekankan pada perempuan. Ini bukan tentang posisi siapa yang lemah dan kuat.  Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki titik lemah dan juga titik kuatnya masing-masing, walaupun mungkin berbeda. Tidak perlu lagi berlomba-lomba mencari siapa yang akan menang tapi mari saling melindungi, karena keadilan itu milik bersama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”