Dua Gadisku

Advertisement

Seorang murid laki-laki berjalan menyusuri lorong sekolah yang cukup ramai. Kedua mata yang berbinar itu berkeliaran ke arah sekumpulan murid-murid yang sedang berkubu-kubu membentuk gengnya sendiri. Ada juga murid yang duduk-duduk di kursi kayu yang terbentang di setiap lorong sekolah sambil membaca buku dengan kacamata tebalnya. Bahkan ada juga yang hanya berlalu lalang disekitarnya.

Laki-laki itu berhenti di depan sebuah kelas. Kemudian ia masuk, dan beberapa pasang mata memerhatikan kedatangannya. Terdengar celotehan murid-murid perempuan yang sedang berkerumun.

“Eh dia siapa? Anak baru ya?” Ucap Mona yang duduk di atas meja.

Advertisement

“Kayaknya iya deh, ganteng juga ya tuh anak baru.” Sahut teman lainnya Adel, lalu mendekati Priska.

“Wah calon gebetan baru lo tuh Pris!” Ujar Mona, kemudian Priska menoleh dan memandangi murid baru itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya.

Advertisement

Murid laki-laki itu mencari kursi kosong untuk ia tempati. Hampir penuh, hanya sisa satu kursi. Di sebelahnya duduk seorang gadis dengan rambut sebahu sedang membaca buku pelajaran.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya murid baru itu dengan ramah. Gadis itu lalu menoleh dan melihat wajah yang asing. Gadis itu terdiam sejenak. Melihat laki-laki tampan itu bibir gadis itu kelu, karena sebelumnya tidak pernah ada yang ingin duduk bersamanya sekalipun perempuan.

“Silahkan, ini kursi kosong.” Katanya lalu menutup buku yang ada di atas mejanya. Rasa canggung menghampiri gadis itu. Lalu tiba-tiba murid baru itu menyodorkan tangannya.

“Kenalin, saya Reno, murid pindahan dari Jakarta.”

“Saya Mila. Salam kenal.” Gadis itu pun menggapai tangan Reno kemudian menjabatnya sebagai tanda perkenalan.

Dari kejauhan, Priska dan teman-teman satu gengnya memerhatikan mereka berdua.

“Kayaknya Priska kalah start tuh sama si cupu.” Kata temannya menepuk bahu Priska. Lalu teman yang lainnya tertawa.

“Kalah? Liat aja nanti, dia yang bertekuk lutut sama gue!” Ujar Priska angkuh. Priska memang dikenal sangat cantik dibanding murid-murid perempuan yang lain di sekolahnya. Selain cantik ia juga supel, kaya, pandai bermain alat musik, dan banyak disukai murid laki-laki. Berbeda dengan Mila, gadis pendiam, namun memiliki prestasi yang baik di sekolahnya. Mila selalu menyandang juara kelas setiap tahun, dan ia mempertahankannya di tahun ketiga sekolah menengah atas. Hal itu juga yang membuat Priska iri. Priska selalu berada di bawah peringkat Mila.

Pak Asep seorang guru matematika memasuki kelas dengan membawa beberapa buku di tangannya. Setelah meletakkan buku di atas meja, Pak Asep mengumumkan sesuatu di depan kelas.

“Selamat pagi semua! Sebelum memulai pelajaran hari ini. Ada yang ingin bapak sampaikan, bahwa di kelas ini kita kedatangan murid baru dari jakarta. Murid baru bisa berdiri dan maju ke depan?”

Semua murid menengok ke kanan dan kiri, lalu berhenti pada sosok laki-laki di sebelah Mila. Dia berdiri lalu berjalan ke depan kelas. Mata Priska tak lengah dari wajah Reno. Tubuhnya yang tinggi, mata coklatnya, itu semua sangat menarik baginya.

“Nah, ini dia. Silahkan kamu perkenalkan diri pada teman-teman barumu.” Kata Pak Asep lalu menepuk bahu Reno pelan.

“Halo selamat pagi, saya Reno Hermawan. Salam kenal semuanya. Dan mohon bantuannya.”

***

Reno duduk di salah satu sudut kantin sendirian. Priska dan gengnya baru saja memasuki kantin langsung duduk di sudut lainnya. Priska menyadari keberadaan Reno di sana.

“Perhatian perhatian! tuh si anak baru lagi duduk sendirian. Gue mau samperin dia.” Kata Priska percaya diri.

“Uuuhhhhhh..” seru teman-temannya bersamaan.

Priska pun berjalan menuju tempat Reno duduk. Reno yang sedang makan, tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran gadis cantik di hadapannya.

“Hai Reno!” Sapa Priska lalu duduk di kursi di hadapan Reno.

“Hai!” jawab Reno singkat.

“Kenalin, gue Priska.” Priska menyodorkan tangannya. Reno pun menyambutnya.

“Oh ya, by the way kalau mau tanya apa-apa dan butuh apa-apa lo bisa tanya sama gue. Nggak usah malu-malu.”

“Oh, oke, thanks ya.”

“Hmm yaudah, gue ke sana dulu ya.”

“Oke silahkan.”

Priska pun beranjak dari tempat ia duduk tadi. Lalu timbul rasa jengkel karena setiap ucapannya hanya di jawab dengan kalimat yang singkat. Karena hal itu juga, rasa penasaran Priska pada laki-laki itu semakin besar. Ia kembali ke tempat duduknya bersama dengan teman-teman satu gengnya. Ia mendengus kesal. Teman-temannya yang hanya memandangi Priska, keheranan melihat tingkahnya itu.

***

Kelas hari ini selesai. Semua murid merapikan perlengkapan sekolahnya ke dalam tas masing-masing, termasuk Mila. Tak lama terdengar bel berbunyi, tanda bahwa waktu pulang sudah tiba.

“Rumah kamu dimana?” Tanya Reno tiba-tiba pada Mila yang masih duduk di kursinya.

“Nggak jauh kok dari sekolah, cuma naik angkutan umum satu kali.” Jawab Mila, sambil mengenakan tas punggungnya. “Memangnya kenapa?” Tanya Mila penasaran.

“Nggak apa-apa, kali aja kita bisa belajar bareng kan?” Kata Reno tertawa kecil.

Lalu mereka berdua berjalan keluar kelas bersama-sama. Priska dan teman satu gengnya itu masih berada di kelas, dan memerhatikan kedua orang yang baru saja keluar dari kelas. Rasa penasarannya kian memuncak. Kenapa Reno justru lebih menanggapi Mila si anak cupu itu. Sedangkan dirinya yang memiliki popularitas di sekolah jauh melebihi Mila diacuhkannya begitu saja.

Apa ada yang salah sama gue? Apa mungkin selera Reno itu emang rendah? Atau si Mila yang kegenitan dan bikin Reno jadi suka sama dia? Hhhfftt! Gumamnya kesal dalam hati.

“Pris! Ayo pulang! Malah ngelamun!” Teriak Mona, lalu membuyarkan lamunan Priska yang sedang melihat kepergian Reno dan Mila.

“Ih, bisa nggak sih suara lo tuh nggak cempreng.” Kata Priska ketus.

“Ngelamunin apa sih Pris?” Tanya Adel penasaran kemudian memegang bahu Priska yang masih duduk.

“Yah, paling juga ngelamunin anak baru itu!” Celetuk Lisa sambil memainkan rambut panjangnya yang terurai.

“Kayaknya si anak baru udah mulai akrab tuh sama si Mila anak kampung itu.” Mona menimpali.

“Emang si Mila anak kampung mana Mon?” Tanya Adel lugu, lalu menggaruk-garuk kepalanya sendiri.

“Duh Del, plis deh, jangan mulai lagi deh bloonnya. Maksudnya si Mona si Mila kan gayanya kampungan, culun, nggak modis kayak kita-kita.” Sahut Lisa membenarkan.

“Tuh dengerin, makanya bloon tuh jangan dipiara!” Kata Mona geram.

“Oh gitu, sorry deh, gue kan kadang nggak fokus.” Adel membela dirinya.

“Terus kapan fokusnya? Tunggu sampe lulus sekolah? Atau nunggu dulu sampe masuk kuliah?” Kata Mona meledek.

Priska memutar bola matanya dan menghembuskan napas kesal. Kemudian melengos keluar dan meninggalkan teman-temannya yang masih membahas soal Mila.

“Eh, Pris! Kok malah ninggalin kita??? Woy tungguin!” Kata Mona, lalu menyusul Priska.

“Lo sih Del! Gara-gara bloon lo kambuh sih. Jadi marah tuh kayaknya si Priska.” Kata Lisa lalu meninggalkan Adel.

“Kok jadi gue sih?” Adel kebingungan menunjuk dirinya sendiri. “Eh.. tungguin gue!!”

***

Beberapa minggu berlalu. Reno dan Mila berjalan beriringan di lorong kelas, menuju gerbang sekolah. Reno terlihat santai, begitupun Mila di sampingnya, sedangkan murid-murid lain melihatnya yang tidak biasa, termasuk Priska yang sepertinya sudah mulai menaruh rasa pada Reno.

“Mil, sabtu ini kamu ada waktu nggak? Kalau nemenin aku cari buku mau nggak?”

“Hmm, aku nggak pernah kemana-mana sih, nanti aku izin sama ibuku dulu ya.”

“Gimana kalau sekarang aku anter kamu pulang? Biar aku bisa tahu rumah kamu, jadi kalau sabtu nanti kamu bisa, aku langsung bisa jemput kamu.”

“Boleh aja, tapi kamu nggak apa-apa? Nanti ngerepotin lagi.”

“Enggak lah, santai aja Mil..”

“Oke deh..”

Mereka tiba di depan rumah Mila yang terlihat sederhana. Reno memarkirkan motornya di halaman rumah Mila yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman hijau, terdapat teras kecil dan kursi kayu yang tertata dengan rapi. Terasa sangat sejuk dan asri.

“Masuk dulu Ren..” Kata Mila, kemudian Reno mengangguk pelan dan tersenyum. Sambil berjalan ke dalam, Reno memerhatikan seisi ruang tamu. Ia duduk di sofa hijau yang di dekatnya terdapat jendela yang terbuka lebar.

Mila datang membawa nampan yang berisi setoples kue kering dan secangkir teh manis hangat. Lalu meletakannya di atas meja. Tak lama datang seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya.

“Sok mangga diminum! Maaf Mila nya cuma bisa sediain teh manis aja ya..” Ucap Ibunya dengan logat sunda yang kental.

“Iya, makasih tante, jadi ngerepotin.” Jawab Reno, kemudian beranjak dari tempat duduknya, lalu menyalami Asih. “Tante kok sudah tahu nama saya?” Kata Reno mengernyitkan dahi.

“Mila cerita ada anak baru di kelasnya, yah Reno ini kan?” Lalu mereka duduk bersama di ruang tamu. “Teh, ganti bajumu dulu sana..”

“Iya bu.” Mila meninggalkan ruang tamu, menyisakan Reno dan Ibunya di sana.

“Terimakasih Reno, sudah mau jadi temannya Mila.” Ujar Ibunya sendu, seakan air mata tertahan di matanya. Itu yang Reno lihat. “Di sekolahnya, Mila tidak punya teman, dia sering cerita kalau dia dijauhi oleh teman-temannya. Karena Mila bukan orang kaya seperti yang lainnya. Mungkin karena Mila murid beasiswa, jadi terlalu menutup diri. Kasian anak itu.”

“Mila memang pendiam tante, tapi saya rasa dia sangat layak dijadikan teman, Mila pintar, rajin, saya saja banyak dibantu Mila untuk mengejar pelajaran di kelas. Soal dia nggak punya teman, itu karena mereka belum kenal Mila tante.”

“Mungkin saja, atau mungkin juga karena soal Ayahnya. Ah, itu sudah masa lalu.”

“Mohon maaf tante, kalau Ayahnya Mila masih ada?”

“Masih, ayo tante kenalkan.”

Ibunya Mila dan Reno memasuki sebuah kamar yang di dalamnya terdapat seorang Pria yang usianya tak jauh dari Ibunya, terbaring lemah di tempat tidur.

“Ayah, ada tamu, ini temannya Mila di sekolah.”

Mata Reno tak berkedip melihat keadaan Ayahnya Mila. Kemudian Reno menghampirinya dan menyalami tangan Ayahnya itu. Mila melihatnya, dan hanya berdiri di dekat pintu kamar. Akhirnya ada yang mengetahui keadaan Ayahnya selain ia dan Ibunya.

Reno kembali ke ruang tamu, lalu melihat Mila sudah duduk di sana. Sedangkan Ibunya masih di dalam kamar menemani Ayahnya.

“Ayah kena stroke!”

“Sejak kapan Mil?”

“Udah lama. Harusnya Ayah terapi sampai sembuh total, tapi keadaanya nggak memungkinkan.”

“Itu sebabnya kamu jarang keluar?”

“Iya, aku lebih pilih di rumah bantu Ibu urus Ayah.”

“Aku turut prihatin ya Mil.”

“Makasih yah Ren.”

***

Priska dan teman-temanya sedang berjalan sambil mengobrol di tepi lapangan sekolah, lalu ia melihat Reno dan Mila duduk di pinggiran lapangan. Mereka berdua terlihat asyik mengobrol. Priska merasa semakin iri melihat kedekatan mereka berdua akhir-akhir ini. Karena terlalu fokus melihat mereka berdua, Priska sampai tidak sadar kalau teman-temannya sudah berjalan lebih dulu darinya. Mona menoleh ke belakang, lalu melihat temannya mematung di sana.

“Sssst! Gengs!” Mona memanggil Lisa dan Adel, dan mereka pun menghentikan langkahnya, kemudian mendekati Mona. “Lihat tuh, temen kita yang satu ini kayaknya beneran naksir sama si anak baru deh!” Ujar Mona.

Adel dan Lisa menoleh ke arah Reno dan Mila yang sedang duduk dari kejauhan. Lalu mengembalikan pandangannya pada Priska lagi.

“Kayaknya iya Mon. Kali ini kelihatan jelas. Priska sampai lupa kalau lagi jalan bareng kita.” Kata Lisa sambil mengipas-ngipas dengan kipas plastik ditangannya.

“Priska awas!!!” tiba-tiba teriak Adel. Mona dan Lisa yang juga menyadari ikut teriak. Namun Priska belum juga menyadarinya. Akhirnya, Bugghh! Bola basket yang sedang dimainkan sekumpulan murid laki-laki di lapangan melayang dan tepat mengenai kepala Priska, hingga membuat Priska jatuh pingsan. Semua mata melihat Priska, termasuk Reno dan Mila, apalagi teman-temannya yang sangat panik langsung berlari ke arah Priska.

***

Tubuh priska terbaring lemah di Unit Kesehatan Sekolah, ia dikelilingi teman satu gengnya, Reno dan juga Mila. Wali kelas mereka datang, dan masuk ke ruangan.

“Anak-anak, ini sudah jam nya masuk kelas. Ayo semua masuk kelas, biar petugas UKS yang jaga Priska.” Mereka semua saling memandang, lalu mengangguk mematuhi kata Gurunya yang sebentar lagi akan memulai pelajarannya di kelas.

“Bu, kalau boleh biar saya aja yang jaga, biarkan yang lainnya masuk. Boleh ya bu?” Mona memohon untuk tetap di sana sampai Priska sadar. Wali kelasnya memperbolehkan Mona di sana, tetapi yang lainnya tetap masuk.

Tak lama dari itu, Priska pun sadar. Mona masih menggenggam tangan Priska. Perlahan Priska membuka matanya, dan melihat Mona ada di sampingnya, kemudian mencoba mengangkat tubuhnya dan merubah menjadi posisi duduk.

“Pris.. Priska??” Panggil Mona pelan.

Sambil memegang kepalanya yang masih sakit, Priska bertanya. “Gue kenapa Mon? Ini di UKS?” tanya Priska Lemah.

“Akhirnya lo sadar juga.. hhh.. lo tahu nggak kita semua tuh panik! Lo kenapa sih?! Sampe ada bola basket yang meluncur ke kepala aja lo nggak tahu?! Teriakan kita bertiga aja lo nggak denger! Lo kenapa sih pris? Cerita sama gue!”

“Gue nggak apa-apa kok, mungkin lagi nggak fokus aja, tiba-tiba suka ngelamun gitu.” Jawab Priska gugup

“Karena Reno? Lo suka kan sama dia?”

“Apaan sih lo Mon, kok jadi Reno? Jalan bareng aja gue nggak pernah, masa gue suka?” Priska membuang muka, karena rona merah di wajahnya mulai terlihat.

“Mungkin aja.” Jawab Mona singkat.

***

Sudah setengah jam Mila dan Reno berada di toko buku. Setelah menemukan buku yang Reno cari. Mereka berdua memutuskan untuk makan malam di salah satu restoran masakan sunda yang tak jauh dari toko buku. Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka mengobrol banyak, dan jauh terasa semakin akrab. Mila juga semakin santai ketika berada bersama Reno.

“Oh iya ren, hmm.. kayaknya Priska suka sama kamu deh.”

“Priska? Ah, mana mungkin cewek borju kayak dia suka sama aku.”

“Aku yakin kok, aku lebih tahu Priska dari pada kamu.” Mila tersenyum simpul.

“Kok bisa?” Tanya Reno penasaran.

“Kamu tahu kenapa Priska sama gengnya itu kayaknya benci banget sama aku?”

“Kelihatannya sih gitu, kenapa memangnya?” Kata Reno balik bertanya.

Mila tersenyum lagi, lalu memandangi Reno penuh dengan suatu cerita di dalamnya.

“Hai, aku Priska, nama kamu siapa?”

“Namaku Mila. Salam kenal ya.”

Semenjak perkenalan di sekolah menengah pertama itu, mereka berdua menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Kemanapun dan dimanapun Priska, pasti ada Mila. Begitupun sebaliknya. Satu ketika, saat penerimaan rapor kelulusan. Mila datang bersama Ayah dan Ibunya. Sedangkan Priska datang bersama Ibunya saja.

Mila dan orang tuanya sedang berjalan menuju kelas, mereka datang terlambat, sedangkan Ibunya Priska sudah selesai menerima rapor dan keluar kelas bersama Priska.

“Mami jangan pulang dulu dong, aku mau kenalin Mami sama Mila dan orangtuanya, kami kan sahabatan Mi, jangan buru-buru ya.”

“Mami masih ada urusan sayang, Mami harus kembali ke kantor karena sudah ada janji dengan rekan kerja Mami. Lain kali ya Mami janji deh.” Ujar Siska membujuk anak semata wayangnya. Wajah Priska lesu, namun tiba-tiba berubah menjadi ceria lagi, saat ia melihat Mila datang.

“Nah, itu mereka itu Mi! Milaaa!!” Panggil Priska dari kejauhan. Mila pun melambaikan tangan.

Mereka bertemu, begitupun orang tua mereka. Bayu menatap Siska, Ibunya Priska sekaligus mantan istrinya itu di hadapannya. Asih hanya terdiam melihat Siska yang sudah lama sekali tidak ia lihat. Terakhir kali mereka bertemu, sungguh meninggalkan luka yang sangat mendalam, terutama untuk Bayu.

Siska menarik lengan Priska, dan menjauhkannya dari sisi Mila. Melihat kejadian itu, Mila hanya terdiam, dan Priska pun kebingungan.

“Ternyata kalian hidup bahagia.”kata Siska memulai.

“Bahagiaku saat ini tidak ada hubungannya lagi dengan masa lalu.” Bayu menjawab dengan suara bergetar. Asih memegang lengan sang suami, untuk menahan amarah suaminya.

“Itu hanya alasanmu!” Jawab Siska ketus.

“Jadi ini anakku yang kamu sembunyikan dari aku selama ini?” Bayu menahan amarah.

“Mi, ada apa ini?” tanya Priska yang semakin bingung melihat sikap Ibunya.

“Iya, ini Priska, anakmu! darah dagingmu yang kamu tinggalkan waktu itu demi perempuan di sampingmu itu!”

“Cukup Siska, ini tempat umum.” Nada bicara Bayu menekan.

“Saya memang akan menyudahi ini, dan saya harap ini pertemuan terakhir kita, di sini. Ayo Priska kita pulang, dan jangan pernah bergaul dengan anak di hadapanmu itu lagi.”

Siska menarik tangan putrinya menjauh dari mereka bertiga. Priska membendung air matanya, sama halnya dengan Mila, ia menatap Priska yang kini menjauh, dan akan menjauh seterusnya. Asih memeluk anaknya, sedangkan Bayu terdiam sejenak, lalu tak lama ia berlari menuju putrinya yang sedang bersama Siska mantan istrinya itu.

Melihat Ayahnya berlari, Mila pun mengikutinya, sedangkan Asih, teringat harus tetap mengambil rapor kelulusan Mila, dan memasuki kelas sendirian. Bayu berhenti dan memanggil Siska yang sudah menuju mobilnya.

“Siska tunggu!” teriak Bayu, dan Siska pun menghentikan langkahnya.

“Izinkan saya berbicara dengan Priska sebentar.”kata Bayu memohon, lalu Priska meminta waktu sebentar pada Siska untuk memenuhi permintaan Ayahnya. Siska hanya mengangguk dengan raut wajah datar, kemudian memasuki mobilnya lebih dulu.

Bayu berlutut di hadapan Priska, putrinya yang tidak pernah ia lihat semenjak lahir, 15 tahun lalu.

“Aku adalah Ayahmu, Ayah kandungmu. Apa kamu mau bertemu lagi dengan Ayah?”Ucap Ayahnya lembut. Mila melihat Ayahnya yang sedang berbicara pada Priska, kemudian menghampiri mereka berdua.

“Mami bilang Ayah udah meninggal. Tapi ternyata Ayah masih ada dan hidup bahagia. Apa benar Ayah meninggalkan kami dulu demi mereka?” Ucap Priska lirih.

“Kamu akan mengerti nanti nak, perlahan akan Ayah ceritakan semuanya.”Bayu memegang bahu Priska lembut.

“Walaupun awalnya Mami bohong, Tapi aku tetap percaya sama Mami. Mungkin Mami bohong demi kebaikan aku supaya nggak tahu Ayah aku seperti apa.”

Ayahnya terdiam, kemudian menatap kedua mata putrinya yang berkaca-kaca menahan tangisannya.

“Priska.” Panggil Mila lalu berhenti di sebelah Ayahnya. Priska menatap Mila penuh dengan kebencian.

“Jangan pernah panggil nama aku lagi! Dan persahabatan kita cukup sampai di sini!” Suara Priska bergetar, kemudian pandangannya kembali kepada Bayu yang cukup tercengang mendengar putrinya berbicara seperti itu. Sedangkan Mila terkejut dan menangis.

“Dan Ayah, kalau Ayah mau ketemu lagi sama aku. Tinggalkan mereka, pilih salah satu dari kami. Aku atau mereka.”

Priska pergi meninggalkan mereka berdua dan menyisakan kehampaan. Bayu dan Mila mematung. Ayah yang ditinggal anaknya, dan seorang anak yang dibenci sahabatnya.

***

“Aku bisa satu sekolah lagi karena dulu kami memang daftarnya sama-sama sebelum kejadian itu. Cuma bedanya aku di jalur prestasi, jadi sampai selesai alhamdulillah aku pakai beasiswa. Kalau Priska dari dulu memang orang yang mampu. Entah kenapa kita bisa satu kelas lagi, ya walaupun suasananya beda.”

“Aku nggak tahu banyak tentang kalian. Tapi aku rasa, kalau emang kalian ditakdirkan seperti dulu lagi, pasti ada jalannya.” Ucap Reno menyemangati.

***

Semenjak Mila mengatakan bahwa sepertinya Priska menyukainya, hati Reno tergetar. Dari pertama melihat Priska, Reno memang selalu salah tingkah hingga ia tidak bisa mengatakan banyak hal. Apalagi ketika kejadian di kantin pertama kali.

***

Priska beranjak lalu pergi meninggalkan Reno. Ia mencoba menenangkan diri karena bibirnya terasa kelu saat gadis cantik itu mengajaknya bicara. Reno melihat Priska menjauh lalu saat wajah Priska terlihat, Reno memalingkan wajahnya lagi.

“Huuuhhh.. cantik banget!” Reno menghembuskan napasnya yang tertahan.

***

Pagi itu Priska turun dari mobil, kemudian berjalan menuju kelas sendirian. Reno berada beberapa meter tak jauh dari Priska, ternyata ia memperhatikan Priska sejak turun dari mobil tadi. Reno melihat seorang Laki-laki yang tak ia kenal mendekati Priska, namun gadis itu mengacuhkannya. Tetapi laki-laki itu menarik lengan Priska dan membawanya ke arah kantin. Entah apa yang Reno rasakan, rasanya tidak dapat digambarkan. Namun baginya Priska sudah menarik hatinya.

***

Reno memerhatikan Priska yang sedang memainkan keyboard untuk mengiringi lagu-lagu kebangsaan saat upacara bendera berlangsung. Bagi Reno, perempuan bisa bermain alat musik itu cantik. Tanpa ia sadari, Mila selalu memergoki sikap Reno saat sedang memandangi Priska.

***

Reno sedang berkumpul dengan teman-temannya dari ekskul Sepak Bola. Sekarang ia sudah mulai bergaul dengan lebih banyak lagi teman. Kemudian ia melihat Priska sedang berjalan dan diikuti laki-laki yang waktu itu ia lihat. Ia masih ingat, laki-laki itu berkulit putih dan bermata sipit. Priska duduk, begitupun laki-laki itu duduk disebelahnya. Di sudut lainnya, ia melihat Mila yang baru saja datang.

“Eh, gue ke sana dulu ya.” Kata Reno kepada teman-temannya, kemudian menghampiri Mila dan menariknya untuk duduk di salah satu meja kantin lainnya.

Priska melihat Reno menarik tangan Mila. Tiba-tiba saja ia merasa kesal. Lalu yang tadinya ia acuh dengan laki-laki di sebelahnya, sekarang justru ia memulai mengajaknya bicara.

“Mau kamu apa sih sebenernya?” Tanya Priska dengan senyum palsu di wajahnya.

Mila kebingungan, dengan sikap Reno yang tiba-tiba menarik tangannya. Kedua mata Reno pun memandangi sesuatu yang membuatnya penasaran.

“Tuh Mil, itu tuh lihat!” Reno menunjuk ke arah Priska. Mila menoleh dan memerhatikan Priska yang sedang duduk bersama dengan seseorang.

“Itu siapanya Priska? Kamu tahu nggak Mil?” tanya Reno yang masih memerhatikan Priska.

“Tahu, dia kan Vino, mantannya Priska. Semua anak di sekolah tahu kok.”

“Mantan? Kok masih suka berduaan gitu sih?”

“Setahu aku sih, ya denger-denger dari gosipnya, Vino minta balikan, tapi Priska nya kayak nggak mau dan cuek gitu. Emang kenapa sih?….. hmm, kamu cemburu ya?” Mila menebak.

“Hah? Cemburu? Hmm, gimana ya?” Reno juga bingung dengan apa yang ia rasakan.

“Ceritalah, kalau emang suka ya bilang aja suka.”

“Aku belum yakin Mil.” Reno berubah lesu.

“Hmm, aku ada ide!” Kata Mila semangat.

***

Malam itu Mona menginap di rumah Priska. Mereka berdua sedang berbaring sambil mengobrol di tempat tidur Priska. Lalu tiba-tiba saja Priska mengucapkan sesuatu yang membuat Mona terkejut.

“APA?? SERIUS PRISS??!! LO SUKA SAMA RENO?!” Mona bangkit, Suaranya menggelegar di seisi ruangan kamar.

“Ssstttt!!!! Jangan keras-keras!! Ih lo mah, sebelah kamar nyokap, nanti nyokap gue denger. Dia tuh suka kepo!” Priska menutup mulut Mona dengan tangannya.

“Ta.. tapi, lo serius? Kok bisa? Lo kan ngobrol sama dia aja nggak pernah?” Mona mengecilkan suaranya.

“Gue juga nggak tahu Mon! lama-lama gue suka tiba-tiba inget dia, mikirin dia. Buat gue dia tuh beda aja, apalagi gue udah mulai cemburu kalau dia deket sama cewek lain. Baru kali ini gue begini suka sama cowok.”

“Emang siapa cewek yang deket sama si anak baru?”

“Siapa lagi yang duduk sebangku sama dia?”

“Mila maksud lo?” Tanya Mona menegaskan. Priska hanya mengangguk sebagai jawaban iya. “Menurut gue mereka nggak pacaran. Temen deket ya mungkin aja. Kelihatannya Reno emang supel anaknya. Hmm.. Tapi kenapa ke lo nggak ya?” Mona menggaruk-garuk pelipisnya.

“Duh nggak tahu deh, kayaknya kali ini perasaan gue bakalan ditolak deh.” Ujar Priska lesu.

“Terus perkara Vino ngajak balikan gimana Pris?”

“Ahh basiii tuh orang!” Jawab Priska ketus.

“Tapi Pris.. ada yang aneh sih sama si Reno..”

“Aneh kenapa?”

“Waktu kepala lo kena bola basket, yang larinya paling cepet tolongin dan bawa lo ke UKS itu si Reno. Mungkin karena kita panik waktu itu jadi nggak terlalu nyadar. Tapi kalau diinget-inget, kayaknya dia khawatir banget deh.”

“Serius lo Mon? Dia gendong gue?” Mona mengangguk. “Kenapa lo nggak bilang dari kemarin??!” Kata Priska histeris tidak menyangka.

***

Mila berlari mengejar Priska dan teman satu gengnya yang sedang menuju parkiran mobil sekolah. “Priskaaaa!!!” Panggil Mila, setelah sekian lama ia tidak memanggil nama itu.

Priska menoleh, lalu melihat Mila berlari ke arahnya. Mona, Lisa dan Adel juga berdiri di sana bersama Priska. Mereka semua tak ada yang tersenyum.

“Ngapain tuh si cupu?” Tanya Lisa sambil mengipas-ngipas dengan kipas plastik di tangannya.

“Mana gue tahu..” Jawab Priska singkat.

Kini Mila berdiri di hadapan mereka semua. Napas Mila terengah-engah. Mila menelan ludah, ia gugup di hadapan mantan sahabatnya itu.

“Ada apa?” Tanya Priska datar.

“Ini, Pris, buat kamu.” Mila menyodorkan sebuah amplop biru muda pada Priska.

“Dari siapa?”

“Kalau kamu baca, kamu pasti tahu.”

***

Di lorong rumah sakit, Mila dan Ibunya serta beberapa petugas rumah sakit membawa Bayu yang terbaring lemah di tandu ambulans. Kemudian, Mila dan Ibunya hanya bisa mengantar hingga di depan pintu ruang UGD, sedangkan Bayu dibawa masuk ke dalam.

Mila mencoba memeluk dan menenangkan Ibunya yang tak henti-hentinya menangis. Mila dan Asih duduk di kursi tunggu rumah sakit yang tak jauh dari ruangan. Perasaan Mila kini sulit digambarkan, suasana yang ia takutkan beberapa tahun lalu kini terulang kembali.

***

Priska duduk di meja belajarnya, kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan surat yang tadi Mila berikan padanya. Dibukanya amplop biru itu, lalu ia mengambil sebuah surat di dalamnya. Jemarinya membuka lipatan surat itu perlahan. Di selembar kertas tertulis sebuah pesan.

Jika berkenan, dengarkan radio frekwensi 109,3 Fm tepat jam 9 malam ini. Aku akan memutarkan sebuah lagu untukmu.

Dari Penyiar HOS Radio,

Renoz

Mata Priska membelalak lebar, pandangannya kemudian terpaku pada tulisan tangan di dalamnya. Tak lama ia melihat ke arah jam dinding di kamarnya, waktu menunjukkan pukul 20.55 WIB. Dengan tergesa-gesa ia menyalakan radio yang ada di atas meja di samping tempat tidurnya. Frekwensi itu memang yang biasa ia dengarkan setiap menjelang tidur, namun kali ini nama penyiar itu baru saja ia ketahui. Dan namanya, mirip sekali. Apa dia Reno? Tanyanya dalam hati.

Tiba-tiba saja jantungnya berdegub sangat kencang. Priska mengatur napasnya perlahan. Ia bertanya-tanya lagu apa yang akan dia dengar beberapa menit lagi. Lalu satu menit sebelum tepat jam 9 malam, suara penyiar laki-laki terdengar dan menyapa pendengar. Diujung kalimat penyiar itu, membuat Priska yakin kalau dia benar-benar Reno.

“Cinta memang kadang sulit diungkapkan, tapi jika itu bisa disampaikan lewat lagu, sepertinya itu akan jauh lebih menarik. Mungkin itu cocok juga untuk kamu yang nggak terlalu percaya diri ngomong langsung sama orangnya. Ya seperti aku ini.” Kemudian tertawa. “Oke Sobat HOS, Renoz putarkan sebuah lagu yang di-request oleh Mr.RH yang katanya lagi naksir cewek cantik berinisial P. Waw, Penasaran? Yuk kita dengerin Ini dia lagunya.” Mendengar itu, Priska tersenyum, lalu bersandar di bantal tidurnya dan siap untuk mendengarkan lagu itu. Intro lagunya membuat ia tenang.

Sunyi malam tanpa suara Hanya hati yang bicara Kau disampingku diam membisu Meski riuh dera jiwaku Mungkinkah ada satu kesempatan Merangkum rasa yang kini ada Terbang bersamaku bila kau mau Genggamlah hatiku Meski tak sempurna separuh sayapku Langit berbintang memelukku erat Andai ku bisa inginku mengerti Betapa kini ku merindumu Hanya namamu yang kini terus mengisi Gema ruang-ruang jiwaku Semoga ada satu kesempatan Merangkum rasa yang kini ada

Terbang bersamaku bila kau mau Genggamlah hatiku Meski tak sempurna separuh sayapku Langit berbintang memelukku erat

Rendy Pandugo – Hampir Sempurna

Priska hampir tak bergeming, hatinya bergejolak, ia mendengarkan setiap lirik yang terungkap di lagu itu. Apa maksud dari semua ini adalah Reno menyukainya? Kenapa rasanya senang sekali, sampai di bait terakhir lagunya, ia hampir meneteskan air mata, karena sebelumnya tidak ada yang membuatnya tersentuh sampai seperti ini. Priska membayangkan wajah Reno yang kini memenuhi ruang di hatinya. Ia juga membayangkan bagaimana hari esok ketika bertemu dengannya? Ini semua terjadi tiba-tiba diluar dugaannya.

***

Hari itu, Kursi Mila kosong. Reno mencoba menghubungi Mila tapi tidak ada jawaban. Dari kursi tempat ia duduk, Priska melihat kursi Mila, tiba-tiba saja ia mengingat anak itu. Dalam hati kecilnya, sebenarnya Mila masih sahabatnya. Hanya ego nya saja yang melawan itu akibat masalah beberapa tahun lalu.

Priska menghampiri Reno dan duduk di kursi Mila, Reno yang sedang fokus dengan handphonenya itu lalu terkejut.

“Pagi Ren..” Sapa Priska, lalu tersenyum.

“Haa…ai.. Pris..” jawab Reno canggung.

“Surat yang Mila kasih buat aku, itu dari kamu kan? Penyiar yang namanya Renoz itu Reno. Bener?” Priska dan Reno saling pandang.

“Iya bener. Kamu dengerin lagunya?”

“Kalau aku nggak dengerin, aku nggak akan tahu penyiar yang namanya Renoz.” Priska tersenyum lagi. Senyumnya itu yang membuat Reno jatuh ke dalamnya.

Tak lama bel masuk sekolah berbunyi, Priska beranjak dari kursi Mila, namun Reno menahan dan memegang tangan Priska. Gadis itu menoleh.

“Kalau aku antar kamu pulang nanti, boleh?” Kata Reno memberanikan dirinya. Priska mengangguk dan tersenyum.

***

“Cieee, akhirnya.. Tapi kok lo bisa tiba-tiba deket sama si anak baru Pris?” Ucap Adel menggoda.

“Ya namanya juga jatuh cinta del, lo nggak akan ngerti, masih anak bawang!” Timpal Lisa di sebelahnya.

Priska hanya tersenyum. Dari kejauhan, Reno mengendarai motornya menghampiri Priska di parkiran mobil.

“Jadi lo pulang bareng Reno Pris?” Tanya Mona.

“Iya, sorry ya gue nggak bisa bareng kalian. Oh iya, gue udah minta supir gue buat anterin kalian pulang. Oke?”

“Okedeh, lo hati-hati yah.” Ujar Mona lembut. Priska hanya mengangguk.

Have fun ya Pris!” Kata Adel girang.

Priska menaiki motor sport Reno, kemudian Reno memberikan helm pada Priska. Reno membuka kaca helm miliknya, ia tersenyum pada teman-teman Priska, lalu pergi meninggalkan sekolah.

“Kece juga yah si Reno, ah kenapa gue dulu nggak naksir yah?” Kata Lisa sambil memainkan rambutnya. Mona dan Adel menoleh pada Lisa sinis.

***

Bayu sudah berada di ruang perawatan, Asih duduk di samping ranjang rumah sakit menunggu suaminya yang masih belum sadar. Sedangkan Mila harus pulang untuk mengambil beberapa helai pakaian untuk Ayah dan Ibunya, karena hanya Mila yang bisa diandalkan.

Saat sedang merapikan pakaian ke dalam tas, ia tak sengaja melihat sebuah kotak kecil. Sebuah kado lengkap dengan pita merah. Mila mengambilnya, dan di sana tertulis jelas nama “Untuk Putriku Priska.”

Ternyata sampai saat ini, Ayahnya masih mengharapkan kehadiran Priska. Mila meneteskan air matanya. Ia ingin sekali membawa Priska untuk bertemu Ayahnya. Namun ia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Priska menoleh padanya saja enggan.

***

“Aku nggak nyangka kamu penyiar radio?” Ujar Priska sambil mengaduk-aduk cappucino ice -nya di atas meja.

“Baru sebulan kok, kebetulan itu radio punya papaku. Waktu di jakarta aku pernah siaran radio. Terus waktu di kantor papa kekurangan penyiar, terpaksa aku di suruh magang deh.” Reno tertawa.

“Oh gitu, seru dong, kayaknya asik bisa siaran ya.”

“Kapan-kapan aku ajak kamu ke radio ya. Mau?”

“Mau banget!!” Jawab Priska girang.

“Oh ya Pris, cowok yang suka nemuin lo di sekolah itu??”

“Vino maksudnya?”

“Iya, katanya dia mantan kamu?”

“Iya, dia ngajak balikan terus.”

“Perasaan kamu ke dia gimana?”

“Udah lenyap dari dulu. Aku udah move on dari dia. Kenapa?”

“Nggak apa-apa cuma mau tanya aja.” Reno tersenyum.

Kini Reno tidak canggung lagi, ia memang benar-benar menyukai Priska. Priska yang tadinya angkuh, bagi Reno itu hanya sebagian kecil yang terlihat. Sebenarnya Priska itu hanya kesepian. Reno yakin, Priska masih banyak menyimpan sisi baik di dalam dirinya, seperti kata Mila padanya waktu itu.

***

Mila kembali ke rumah sakit. Saat masuk ke ruangan Ayahnya, ternyata sang Ayah sudah siuman. Ibunya menoleh ke arah Mila yang baru saja masuk ke dalam. Lalu Mila menghampiri Ayahnya yang masih lemah, Mila berdiri di dekatnya. Sang Ayah mencoba meraih tangan sang anak, lalu berusaha menggenggamnya.

Tak lama kemudian seorang dokter laki-laki dan perawat masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa keadaan Bayu. Setelah itu, dokter dan perawat bersama Asih keluar dari ruangan. Sedangkan Mila, hanya mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna.

“Kondisi pak Bayu belum stabil, jantungnya lemah dan tensi darahnya sangat tinggi. Jadi seringkali tiba-tiba tidak sadarkan diri. Untuk kedepannya saya tidak bisa mengambil kesimpulan apapun, kita berdoa saja agar keadaannya cepat pulih. Saya sudah beri obat penenang, jadi biarkan suami anda istirahat. Saran saya, jangan berikan beban pikiran pada beliau, karena itu mempengaruhi kondisinya.”

“Terimakasih dokter, mohon bantuannya.”

“Sama-sama. Baiklah Ibu Asih, saya permisi dulu.” Kata dokter lalu pergi. Sedangkan Asih masih berdiri di sana dan meratapi apa yang dikatakan dokter tadi, menurunkan harapannya.

Mendengar hal itu Mila meneteskan air matanya lagi. Lalu ia mengeluarkan kotak kecil yang tadi ia temukan di lemari Ayahnya. Ia memandangi kotak itu, lalu memandangi Ayahnya. Tiba-tiba saja ada keinginan kuat agar Ayahnya bisa bertemu Priska kembali. Mila yakin, ini satu-satunya jalan agar Ayahnya punya semangat hidup. Tiba-tiba ia teringat Reno, ya pasti Reno bisa membantunya.

***

Sepulang sekolah, Reno mengantar Priska pulang ke rumah. Sesampainya di depan rumah Priska, Reno merogoh tasnya lalu memberikan sebuah kotak kecil berpita merah kepada Priska.

“Reno.. apa ini? aku kan belum ulang tahun.” Kemudian ia melihat kado itu tertulis di atasnya Untuk Putriku Priska. “Ini dari siapa?”

“Itu dari Mila.” Ujar Reno singkat. Wajah Priska langsung berubah. Ia terlihat tidak senang mendengar nama itu. “Aku mohon, kamu terima apapun yang ada di dalamnya ya. Aku nggak tahu apa isi dari kotak itu. Tapi yang jelas, kamu bakalan tahu sebab dari masalah kamu sama Mila.”

“Kenapa kamu bisa tahu?” Priska mengerutkan keningnya.

“Mila yang cerita.” Jawab Reno. “Yaudah aku pulang dulu ya.”

“Iya..”

***

Di ruang makan, Priska duduk sendirian. Ia menatap kado itu penuh tanya besar. Namun tanda tanya itu tidak akan terjawab jika ia tidak membukanya. Kemudian ia pun memutuskan untuk membukanya.

Di dalamnya terdapat sebuah recorder mungil berwarna merah. Ia menyalakan recorder itu, lalu mendekatkan pada telingannya. Ia mendengar suara Ayahnya lembut. Ia lalu mematikannya. Tiba-tiba egonya muncul lagi. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Kemudian ia menekan lagi tombol play, dan mulai mendengarkannya sampai selesai.

Priska Putriku, sebelumnya Ayah ingin meminta maaf. Ayah tahu kamu tidak bisa memaafkan Ayahmu ini. Tapi Ayah berusaha menjelaskannya di sini. Pertama Ayah tidak pernah meninggalkan Ibumu. Tapi Ibumu yang bersikeras untuk bercerai saat kamu baru dilahirkan, Ayahpun tidak diperbolehkan melihatmu. Ayah hanya menerima surat cerai dari Ibumu. Ayah tidak bisa apa-apa. Ibumu menuduh Ayah selingkuh dengan wanita lain. Itu tidak benar! Sama sekali tidak benar! Kedua, Mila itu bukan anak kandung Ayah. Dia adalah anak dari sahabat Ayah yang meninggal belasan tahun lalu. Dia menitipkan istrinya yang sedang hamil pada Ayah, karena mereka tidak punya keluarga lagi. Ayah tidak tega, karena itu amanat dari sahabat Ayah yang sangat berjasa pada Ayah. Dia menolong Ayah dan keluarga Ayah dari kemiskinan, sampai akhirnya Ayah memiliki pekerjaan, dan bertemu dengan Ibumu di Jakarta. Setelah sekian lama Ayah mendapat kabar kalau dia sakit keras dan meminta Ayah ke Bandung. Ayah tidak mengatakannya pada Ibumu karena Ayah tidak ingin ada pertengkaran yang terjadi. Tapi ternyata itu salah, dan membuat Ibumu mencurigai Ayah. Ayah sudah coba jelaskan namun Ibumu tidak percaya. Waktu itu Ibumu bilang Ayah selingkuh karena ada rekan kerjanya yang melihat Ayah bersama wanita hamil tapi bukan Ibumu. Dari situlah Ibumu salah paham. Jadi, kenapa kamu dan Mila seumuran, karena Ibu kalian sama-sama sedang mengandung waktu itu. Setelah Ibumu memutuskan tetap berpisah, setelah itu Ayah tidak tahu keberadaan kalian dimana. Ayah mencari kesana kemari sampai Ayah stress dan jatuh sakit. Selama Ayah sakit, Ibunya Mila yang menolong dan merawat Ayah. Dia mengizinkan Ayah untuk tinggal di sana, karena Ayah tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah setahun Ayah tinggal di sana, banyak mata yang melihat kami tinggal satu rumah, Ayah takut terjadi fitnah. Ayah tidak mungkin berharap lagi pada Ibumu, Ayah harus tetap menjalankan hidup. Akhirnya setelah Ayah sembuh Ayah menikahinya. Namun memang kami tidak memiliki anak dari hasil pernikahan kami. Kehadiran Mila sudah cukup bagi Ayah, walaupun dia bukan anak kandung Ayah. Dia Ayah anggap seperti kamu. Tapi bukan berarti Ayah melupakan kamu nak. Ayah harap kamu mengerti dengan semua penjelasan Ayah. Waktu itu Ayah tidak bisa memilih, karena keduanya penting buat Ayah, dan karena Ibunya Mila adalah istri Ayah, Ayah tidak bisa pergi begitu saja. Ayah minta maaf. Jangan salahkan Mila dan Ibunya. Kembalilah bersahabat dengan Mila. Dia anak yang baik. Ayah sudah menjelaskan juga pada Mila malam setelah kita bertemu pertama kali tiga tahun yang lalu. Ayah tidak memaksa kamu memaafkan Ayah. Tapi Ayah harap kamu bisa memahami ini.

Selamat ulang tahun yang ke 17 ya nak, Ayah tahu dari Mila tanggal ulang tahunmu. Semoga kamu sehat selalu. Ayah menyayangimu.

Air mata Priska tumpah. Itu adalah rekaman setahun lalu yang Bayu persiapkan untuk kado ulang tahun putrinya ke 17 tahun ini, yang tadinya akan ia kirim. Priska menangis dengan keras. Kenapa ia baru mengetahui hal ini setelah sekian lama. Ia menyesal karena mengacuhkan Ayahnya sendiri. Priska menangis sesegukan. Lalu masih dalam keadaan menangis, Priska menelepon Reno, untuk mengantarkannya ke tempat Mila.

Tak lama Priska pergi, Ibunya sampai di rumah. Ia melihat kamar Priska kosong. Lalu Siska menuju meja makan dan melihat sebuah kotak kecil dan recorder di dekatnya.

“Milik siapa ini?” Siska bertanya-tanya. Lalu mengambil recorder itu, dan mencoba memencet tombol di benda tersebut, lalu terdengarlah suara yang tidak asing baginya.

***

Reno membawa Priska ke rumah sakit. Priska masih kebingungan, kenapa Reno membawanya kesana.

“Kenapa kita ke sini Ren? Kan aku minta antar ke rumah Mila.”

“Mila ada di sini, sama Ibunya, dan juga Ayah kamu.”

Mendengar itu, rasanya Priska ingin pingsan, dadanya sesak. Tubuh Priska melemah, Reno memeganginya agar Priska tidak terjatuh.

“Apa yang dirawat itu Ayahku?” tanya Priska lemah. Reno mengangguk. Lalu mengantar Priska ke kamar rawat Ayahnya.

Priska melihat Mila duduk di kursi tunggu di depan kamar rawat ayahnya. Lalu Mila menoleh menyadari kedatangan Priska di sana. Priska berlari ke arah Mila, dan memeluknya erat, kemudian mereka berdua menangis.

“Maafin aku Mil.. aku egois, aku salah besar selama ini.”

“Sudah Pris, nggak ada yang perlu dimaafin, aku nggak pernah anggap kamu salah. Dari dulu kamu sahabatku, bahkan saudaraku, sampai sekarang dan seterusnya.”

“Makasih yah Mil.” Mereka melepaskan pelukannya. Priska menghapus air matanya, dan mengatur napasnya untuk membuat dirinya lebih tenang.

“Iya, sama-sama. Sekarang yang terpenting itu Ayah, temui dia, kondisinya semakin lemah. Semoga karena kamu Ayah bisa punya semangat untuk sembuh.”

Mila, Priska, dan juga Reno masuk ke ruangan Ayahnya. Priska melihat Asih di sebelah Ayahnya, tersenyum lalu menganggukan kepala. Priska mendekati Ayahnya yang kondisinya semakin lemah. Priska memanggil Ayahnya pelan.

“Ayah, ini Priska, Putrimu. Maafin aku ya yah. Ayah harus sembuh. Priska sayang Ayah.” Priska menangis pelan, membuat seisi ruangan pun ikut terenyuh. Mila memeluk Ibunya, sedangkan Reno menahan kesedihan melihat keadaan di sana, matanya berkaca-kaca.

Beberapa saat kemudian, Ayahnya tersadar. Bayu membuka matanya perlahan. Dalam keadaan lemah, Ayahnya memanggil nama anak kandungnya itu.

“Priss…ka.. anakku..”

“Iya Ayah ini aku. Maafin aku Ayah, maafin aku. Aku sayang Ayah. Ayah harus sembuh.” Kata Priska menyemangati Ayahnya. Lalu memeluk Ayahnya yang masih terbaring.

“Mii..laaa..” Ucap Ayahnya terbata-bata. Lalu Mila menghampiri Ayahnya. Kini disamping kanan dan kiri Ayahnya ada dua gadis cantik. Kedua anaknya itu memegangi lengan Ayahnya.

“Ass…iihh.” Bayu juga berusaha memanggil istrinya. Kemudian Asih menghampirinya.

“Ja…ga anak.. anak.. ki..ta..” Semuanya terisak, namun Asih berusaha tersenyum dengan berderai air mata. Detak jantung Bayu di layar monitor menurun. Melihat itu, Reno keluar berusaha memanggil dokter.

“Ay..ah, sa..yang, kalian. Sela..manya..” dengan suara pelan, Bayu mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian…..

Suara tanda detak jantung hilang, Priska menangis keras. Mila memeluk Ayahnya. Asih terdiam, air matanya deras, ia hanya bisa memandangi senyum di wajah suaminya yang kini menutup matanya. Reno masuk ke dalam ruangan bersama dokter dan perawat. Dengan cepat dokter mencoba mengembalikan detak jantung, menggunakan alat pacu jantung. Perawat membuka baju Bayu, dan menempelkannya alat itu di dada Bayu berulang kali. Namun hasilnya tetap tidak ada respon.

Priska masih menangis sambil memanggil Ayahnya. Reno mencoba menenangkan Priska dengan memeluknya. Mila dan Asih sudah sedikit meredakan tangisnya. Dokter menggelengkan kepala, lalu mencopot semua alat bantu pernafasan yang tadinya terpasang pada Bayu. Kemudian perawat menarik selimut sampai menutup kepala Bayu.

***

Air mata Siska tumpah begitu saja, setelah mendengar penjelasan Bayu di recorder itu. Penyesalan yang ia rasakan kini sudah tidak ada artinya lagi. Ia meletakkan recorder itu di atas meja seperti semula. Kemudian ia melihat layar handphone-nya menyala. Anaknya menelepon. Siska menarik napas dan menghembuskannya perlahan, lalu menghapus air matanya.

“Halo.. sayang kamu dimana?”

Siska menjatuhkan handphone-nya. Kini air matanya kembali tumpah, namun lebih deras dari sebelumnya. Napasnya seolah sulit. Jauh dilubuk hatinya, Bayu tetap sosok Pria yang ia cintai.

***

Pemakaman sudah terlihat sepi, hanya menyisakan dua anak gadis, dua wanita paruh baya, dan seorang laki-laki muda. Mereka masih dalam suasana sedih, karena baru ditinggalkan seseorang yang mereka cintai. Kemudian Siska menghampiri Asih. Priska dan Mila menoleh.

“Bayu memang sudah tidak ada, tapi semoga kamu dan Bayu memaafkan saya.” Ucap Siska pada Asih di hadapannya.

“Tidak ada yang salah. Bayu tidak pernah menyalahkanmu. Dia berharap kita semua bisa menjadi keluarga.” Asih menjawab lembut.

Siska memeluk Asih. Kedua anak gadis Bayu tersenyum melihat orang tuanya kini berdamai. Sedangkan Reno, mendapat pelajaran berharga dari apa yang ia lihat, semenjak mengenal Mila dan Priska.

***

3 Bulan kemudian.

Malam tahun baru, di atap rumah Mila. Priska dan Reno duduk berdua memandangi langit yang indah. Mereka sedang menunggu pelepasan kembang api, di malam pergantian tahun 2016.

“Ren, aku mau tanya deh, kenapa kamu waktu itu ngirim surat yang isinya, minta aku buat dengerin lagu di radio. Kamu kuno banget sih.” Priska tertawa pelan.

“Tapi suka kan?”

“Hmm suka banget. Itu yang bikin aku jadi yakin sama kamu.. tapi kok kamu bisa tahu aku suka dengerin radio?”

“Siapa lagi yang kasih tahu aku?” mereka berdua saling pandang dan terdiam. Lalu tertawa..

“Heyyyy!!! Ayo turun atuh ih Ibu sama Mami udah selesai masaknya nih!” teriak Mila dari bawah.

“Nah itu dia orangnya..” Kata Reno memastikan. Lalu Priska tertawa lagi. “Iya Mil, sebentar.”

Priska mengeluarkan sebuah amplop merah dari kantong sweaternya. Amplop itu berisikan surat di dalamnya. Ia memberikannya pada Reno.

“Buat aku?” Tanya Reno. Priska mengangguk tersenyum. Kemudian Reno membukanya, dan melihat tulisan singkat di dalamnya.

Aku mau terbang bersamamu. :)

Yang menyayangimu,

Priska

Keduanya saling pandang dan tersenyum sumringah. Reno memegang tangan Priska dan menggenggamnya erat. Tak lama, suara keras kembang api terdengar, dan percikannya menghiasi langit malam kota Bandung. Indah, bersinar, seperti cinta mereka berdua yang baru akan dimulai.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Always with love in every moments, and I love writing so much! | Star Clozetter of Clozette Indonesia | Blogger • Personal Writer • Vintage Lovers! | Contact : rhialita09@gmail.com

CLOSE