Kita Seperti Matahari, Bulan dan Bumi. Saling Mengitari Namun Kamu Tak Pernah Mengerti

Bertepuk sebelah tangan

Kau tahu mengapa langit tak selamanya biru terkadang ia berkelabu lalu detik berikutnya ia mulai menghitam. Kau tahu mengapa tidak ada satu hal pun yang bersifat tetap. Mengapa semua hal berubah seiring waktu yang terus berlalu. Sama halnya denganku, aku dihari ini tentu saja berbeda dengan aku esok hari begitu juga dengan rasaku. 

Advertisement

Kau tahu mengapa senja hanya sebentar singgah pada langit. Mengapa ia pergi dengan tergesa bahkan pamit pun tidak. Kupikir ia sama denganmu saat kau hanya sesaat singgah lalu memudar seperti kabut. Aku bahkan tidak memiliki ingatan tentangmu bagaimana rupamu sungguh aku tak dapat mengingatnya. Bisa jadi aku terkena Alzheimer atau justru kenangan dan ingatan tentangmu yang tidak pernah ada.

Kau tahu berapa lama aku menunggumu diujung hari. Menantimu tanpa tahu kapan kau datang atau kau memang tak berencana untuk kembali. Kau tahu berapa lama aku harus menunggu hingga hujan benar-benar reda agar aku bisa melihatmu dengan jelas. Aku ragu apa kau pernah berpikir jika aku pernah ada dalam dirimu. Atau kau hanya bagian dari mimpiku.

Aku sangat bersyukur jika kau adalah imajiku karena aku tak perlu merasa sakit atau aku tak perlu lagi berjalan diujung hari hanya untuk menunggumu kembali. Namun, jika kau benar-benar nyata dalam duniaku bukankah apa yang kau lakukan padaku sungguh kejam.

Advertisement

Kupikir denganku terus menunggumu hingga langit menggelap kau akan kembali pada rumahmu. Ternyata aku salah jika aku tidak akan pernah menjadi rumah bagimu. Aku hanya saung dan gazebo untukmu. Tempatmu melepas lelah lalu kau bisa bebas pergi saat letih itu hilang.

Kau tahu kita seolah seperti bumi, bulan dan matahari. Sang bulan sibuk mengitari bumi dan menjadikannya pusat gravitasi. Namun, bumi justru sibuk mengitari matahari. Kau tahu aku hampir saja mengumpat pada Nicolas Corpenicus karena teori heliosentris sialan itu matahari menjadi pusat bumi. Lalu apa artinya bulan untuk bumi apakah ia hanya sebagai budak yang selalu mengekori tuannya. Ataukah ia sebagai subjek yang memiliki eksistensi.

Advertisement

Aku selalu bertanya pada diriku mengapa aku sebodoh bulan yang mengitari bumi dan menjadikannya pusat gravitasi. Mengapa aku selalu mengikutimu padahal kau tak pernah melihatku. Mengapa aku selalu menantimu padahal aku tahu kau tak akan pernah datang padaku. Karena kau telah punya tempat lain untuk kembali.

Kau tahu saat langit mulai menghitam aku hanya mampu termanggu dalam diam tak bergeming tanpa suara. Menatap lurus pada bulan yang merona. Jujur aku sangat ingin berteriak padanya untuk berhenti mengekori bumi. Kau tahu aku bahkan dianggap tak waras oleh tetanggaku. Hanya karena mengasihani si bulan yang merona. Tapi, ternyata aku salah aku hanya mengasihani diriku sendiri.

Kau tahu berapa jarak bumi ke matahari. Seratus lima puluh juta kilometer jauhnya sedangkan bumi ke bulan hanya sejengkal mata memandang. Namun, tetap saja kau masih tak bisa melihatku. Ujung lensa matamu hanya mampu menangkap amoeba dalam dasar gelas capuccino milikmu. Sementara seonggok daging segar yang ada dihadapanmu justru terlihat mengabur padahal kau tak perlu memperbesarnya hingga ratusan mikron.

Aku ingin membencimu dan juga aku ingin mengumpat tepat didepan wajahmu. Namun, hal bodoh yang justru kulakukan hanya menunggumu menyadari kehadiranku. Kebodohan hakiki yang pernah aku lakukan hanyalah menjadi gadis yang mencintai sahabatnya.

Kau tahu berapa lama aku telah menyukaimu. Berapa lama aku harus menyembunyikan rasa indah yang terus merona ini saat aku disampingmu. Sementara kau sibuk mengekori mataharimu. Seberapa hebatkah ia hingga kau terus menunggunya dan menunggunya. Sampai-sampai kau bahkan tidak menyadari ada seorang gadis menangis tepat disampingmu.

Aku selalu menunggumu membuka hati tapi kau justru menunggunya datang menghampirimu. Aku ingin mengutuk diriku mencaci maki dan mengumpat pada diriku. Mengapa begitu bodoh dan polosnya aku mengharapkanmu. Menantikanmu diujung hari saat langit merah merona hingga ia menghitam dan malam telah turun.

Aku selalu berharap malam gelap segera hadir agar bulan mampu menggantikan terangnya matahari. Atau aku juga selalu menantikan hujan lebat dan mendung sepanjang hari agar sekumpulan cumulonimbus mengaburkan sinar panasnya matahari.

Terkadang aku bertanya apa yang membuatmu selalu mengekorinya. Kupikir itu pertanyaan bodoh yang kulontarkan selama aku hidup. Pertanyaan yang seharusnya kutanyakan untuk diriku. Apa yang membuatku selalu mengekorimu. Menyukai dan jatuh cinta padamu membuatku menjadi manusia paling bodoh di muka bumi bahkan jagad raya.

Kau tahu apa pertanyaan paling retoris yang selalu kutanyakan. Sampai kapan aku harus menunggumu datang padaku. Sampai kapan lensa matamu mampu menangkapku yang berdiri tepat didepan hidungmu. Entahlah, aku juga tidak tahu itu.

Keberadaanku mungkin seperti segitiga bermuda ia hanya mitos. Tak butuh waktu lama untukku jatuh cinta padamu. Aku bahkan tak peduli meski harus menunggumu hingga seribu tahun penantian. Namun, butuh waktu seumur hidup untukku melupakan dan membencimu.

Kau tahu bagaimanapun aku harus tahu diri. Dan hei, mengapa hanya aku yang harus tahu diri dan bagaimana denganmu. Kau terus saja muncul didepanku tanpa rasa dosa dan bersalah. Dan kau dengan enteng menceritakan semua dongeng indahmu dengannya. Lalu bagaimana denganku yang terus menunggu dalam kegamangan. Tak pedulikah kau dengan tangis tersembunyiku. Tolonglah kasihani aku sedikit saja.

Aku ingin bertemu dengan Aladdin dan meminjam lampu ajaibnya. Kalau pun tak boleh aku akan menangis berguling-guling di padang Sahara. Aku hanya punya satu permintaan ku mohon kau pergi mengabur lalu lenyap di Segitiga Bermuda hingga akan mudah bagiku untuk mengubur semua ingatan tentangmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang penikmat hujan sekaligus pecinta dunia literasi. Bagiku hidup adalah sebuah buku...

CLOSE