Etika Komunikasi dalam Konteks Media

Dengan pesatnya perkembangan media teknologi saat ini, media menjadi salah satu alat bagi banyak orang  untuk menyebarkan informasi, berkomunikasi, tempat hiburan, hingga berkampanye. Dengan masifnya penggunaan sosial media, maka terbentuk etika berkomunikasi baru di media sosial yang berbeda dengan etika berkomunikasi di dunia nyata.

Advertisement

Terdapat beberapa etika berkomunikasi dalam media yaitu, tidak menggunakan kata-kata kasar, provokatif, ataupun SARA; tidak memposting sebuah artikel yang mengandung kebohongan atau belum jelas asal-usulnya; tidak mencopy paste artikel atau gambar yang mempunyai hak cipta; dan memberikan komentar yang relevan (Mutiah, Albar, Fitriyanto, & Rafiq, 2019). 

Dewasa ini media banyak digunakan sebagai tempat untuk mempublikasikan informasi terutama dengan orientasi untuk memasarkan suatu produk tertentu. Namun, tak jarang ditemukan beberapa oknum yang mengambil unsur konten (contoh: audio, video, animasi, dan gambar) dari lembaga lain dengan tidak memiliki izin dan memperhatikan kredit atau hak cipta dari unsur tersebut. Secara tidak sadar, tindakan tersebut sering dilakukan karena internet pada saat ini memang menampung segala informasi yang dibutuhkan manusia hingga ketika suatu karya ataupun informasi diunggah ke Internet, seringkali karya tersebut menjadi hak bersama tanpa tahu siapa penciptanya atau yang membuatnya.

Di Indonesia sendiri pernah terjadi kejadian dimana salah satu penyanyi ternama tanah air, Pamungkas, diduga melakukan pelanggaran hak cipta berupa penggunaan artwork karya seniman luar negeri tanpa izin. 

Advertisement

Berdasarkan berita yang dilansir oleh Kumparan.com, seorang musisi asal Jakarta bernama Pamungkas ini terkena masalah mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) karena dianggap melakukan plagiasi terhadap artwork milik seniman internasional bernama Baptites Virot.

Ilustrasi tersebut digunakan Pamungkas pada sampul albumnya yang bernama Solipsm 0.2, di mana pada sampul tersebut berisi foto Pamungkas dengan kacamata yang motifnya merupakan beberapa gambar milik Baptites yang dikolase menjadi satu. Menurut Undang-Undang Hak Cipta, jika Pamungkas ingin menggunakan ilustrasi atau karya tersebut, ia harus membeli karya tersebut melalui pengalihan hak cipta dengan perjanjian jual beli yang sesuai dengan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Advertisement

Definisi hak cipta dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang  menyebutkan bahwa:

“Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan definisi tersebut, bahwa suatu ciptaan atau karya akan dinyatakan haknya kepada si penciptanya saja dan tidak bisa digunakan secara sembarangan, melainkan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seringkali, masyarakat digital saat ini tidak tahu tentang aturan yang benar mengenai hak cipta akan sebuah karya, yang seharusnya ketika ingin menggunakan atau mencontoh karya tersebut, harus memiliki izin kepada si penciptanya atau memberikan credit. 

Jenis-Jenis Ciptaan yang Dilindungi di Indonesia serta Masa Berlaku Perlindungan

Seluruh hasil karya baik dalam bidang pengetahuan ataupun seni dan sastra tetap bisa dilindungi oleh negara melalui undang-undangnya. Akan tetapi perlindungan tersebut memiliki masa berlaku yang berbeda-beda, disesuaikan dengan jenis ciptaan dan jenis hak eksklusif serta hak ekonomi. Semua perihal hak cipta tersebut diatur pada pasal 58-60 Undang-Undang Hak Cipta yang meliputi:

a. Ciptaan dengan hak cipta seumur hidup

Perlindungan terhadap sebuah hasil karya seseorang selama orang tersebut masih hidup, dan akan terus berlaku hingga 70 tahun setelah pencipta karya tersebut meninggal. Perlindungan ini tercantum dalam Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta. Adapun karya yang dilindungi dalam jenis ini meliputi karya tulis, alat peraga untuk ilmu pengetahuan, retorika atau ucapan, karya seni rupa, lagu atau musik tanpa teks, hingga karya arsitektur dan peta.



b. Ciptaan dengan hak cipta selama 50 tahun 

Perlindungan terhadap sebuah hasil karya selama 50 tahun terhitung sejak hasil karya tersebut diumumkan. Perlindungan ini tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) UU Hak Cipta. Jenis karyanya meliputi program komputer, karya fotografi, terjemahan dan aransemen, karya sinematografi, hingga video game online.

c. Ciptaan dengan hak cipta selama 25 tahun 

Pada umumnya, hak cipta yang dilindungi dalam jenis ini adalah hasil karya seni terapan. Jenis hak cipta ini diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UU Hak Cipta, dan memiliki masa berlaku 25 tahun sejak hasil karya seni terapan tersebut diumumkan.

d. Ciptaan dengan hak cipta tanpa batasan waktu

Perlindungan terhadap hak cipta yang biasanya dipegang oleh negara, seperti yang berkaitan dengan ekspresivitas budaya tradisional yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah. 

Hak Moral dan Hak Ekonomi

Berdasarkan Pasal 4 UU Hak Cipta, hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak moral merupakan sebuah hak yang melekat secara abadi pada diri si pencipta karya tersebut. Sedangkan dengan Hak Ekonomi, hak cipta tidak hanya dapat dilindungi, tetapi juga bisa dialihkan kepada pihak lain sebagai hak ekonomi atas ciptaan tersebut tetapi hak moral dari ciptaan tersebut tidak dapat dialihkan, artinya sebuah karya dapat dibeli dan haknya secara ekonomi dialihkan kepada si pembeli.

Dengan hak ekonomi tersebut, pemegang haknya dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menerbitkan ciptaan, mendistribusikan ciptaan dan membuat sebuah pameran atas karya tersebut. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2), pengalihan hak ekonomi tersebut bisa terjadi karena pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, dan penyebab lain yang tentunya disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan. 

Perbedaan antara Pengalihan Hak Cipta dan Pemberian Lisensi

Pada permasalahan ini, tidak hanya pengalihan hak ekonomi atas suatu ciptaan, tetapi juga terdapat pemberian lisensi yang memberikan cara lain untuk pihak ketika bisa menjalankan hak ekonomi ciptaan tersebut tanpa harus mengalihkan haknya. Pemberian lisensi ini dijadikan sebagai bentuk izin langsung dari pencipta atau pemegang hak cipta dan juga pemilik hak kepada pihak lain untuk bisa menggunakan hak ekonominya. Pada umumnya, pemberian lisensi ini dilakukan sesuai dengan perjanjian dimana biasanya penciptanya mendapatkan imbalan atau biasa disebut sebagai royalti.

Melalui penjelasan tersebut, pemberian lisensi dengan pengalihan hak tentu saja memiliki perbedaan yang signifikan yaitu pada kepemilikan atas hak tersebut, dimana pada pengalihan hak, hak ekonomi atas karya tersebut dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan, pemberian lisensi tidak memberikan atau mengalihkan hak ekonomi atas karya tersebut kepada pihak lain sehingga hak ekonominya tetap dipegang oleh pencipta atau pemegang hak tersebut.

Dalam tanda tangan perjanjian pemberian lisensi, si pencipta atau pemegang hak ekonomi karya tersebut harus mampu memperhatikan secara teliti, bahwa ia akan mendapatkan royalti atau imbalan atas penggunaan karyanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE