Gagapnya Pendidikan Indonesia Menghadapi Pandemi

Artikel ini membahas carut marut pendidikan Indonesia menghadapi pandemi

Pandemi Covid-19 memang keadaan yang sama sekali baru dan belum pernah di hadapi sebelumnya oleh rata-rata pemerintah atau pejabat yang memerintah saat ini. Semua upaya yang kira-kira memungkinkan untuk dilakukan, diupayakan semaksimal mungkin. Untuk dunia pendidikan, apapun yang kira-kira bisa dilakukan dan sudah dilakukan secara besar-besaran dengan anggaran jumbo triliunan rupiah. Contoh kecil saja, menyediakan paket kuota dan sebagainya.

Advertisement

Namun apakah hasilnya cukup sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan?

Duh, pada kenyataannya sekolah anak saya yang katanya sudah diberikan kuota internet pun pembelajaran dilakukan sendiri-sendiri oleh orang tua. Guru, sekedar memberikan tugas dan PR yang dikumpul seminggu sekali, tanpa peduli apakah siswa itu belajar sungguhan atau tidak. Pengajaran diserahkan kepada orang tua, itupun dengan kewajiban membayar uang sekolah secara penuh setiap bulannya tanpa toleransi sedikitpun.

Hasilnya tentu saja, siswa yang stress dengan banyak tugas bahkan ada yang meninggal. Orang tua yang stress dengan tuntutan harus mengajar anak. Guru juga stress karena menerima hujatan makan gaji buta dan seterusnya.

Advertisement

Efektifkah belajar online?

Secara kasat mata, jelas tidak efektif. Pembelajaran amburadul – dengan standar pengajaran yang tidak jelas – apalagi standar ukur pendidikan yang sekarang entah ada dimana. Semua pihak berusaha membenarkan diri – semua pihak berusaha mencari pengertian dan pemakluman diri bahwa; pandemi ini adalah keadaan baru yang sama sekali belum pernah kita hadapi sebelumnya.

Tetapi, kalo pandemi adalah sesuatu yang baru memang diakui benar sebagai sesuatu yang baru. Tetapi setelah 8 bulan berlalu masih menjadi satu hal yang baru terus menerus tanpa ada perbaikan signifikan, apakah ini masih patut dimaklumi sebagai sesuatu hal yang baru? Apakah 8 bulan setiap hari berkutat dengan pandemi masih tetap belum bisa memberikann solusi yang lebih baik untuk pembelajaran yang lebih berarti?

Advertisement

Yup, kita dunia pendidikan kita memang gagap menghadapi pandemi. Bukan karena pandemi adalah hal baru tetapi karena fokus pendidikan kita yang memang tidak memiliki dasar yang benar. Pendidikan kita selama ini banyak berkutat pada penyelesaian materi dan tugas kurikulum, bukan kepada pembentukan pola berpikir yang baik dalam diri siswa. Pendidikan kita lebih banyak bertumpu kepada hafalan, transfer informasi dibanding transformasi perubahan total peserta didik. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untuk memperbaharui kehidupan tetapi sudah menjadi komoditas dagangan atau bisnis pendidikan yang menjualbelikan gelar dan ijazah, bukan kemampuan.

Duhh…kok segitu pesimisnya? dan apa hubungannya dengan pandemi?

Sederhana saja, silakan lihat materi pendidikan anak anda. Sederhana sekali. Semua materi bersifat hafalan. Latihan atau ujian bersifat mengulang materi yang sudah di berikan. Semua bertumpu pada hafalan. Padahal, banyak materi pembelajaran yang menjatuhkan mental siswa- sebenarnya akan tidak terpakai sama sekali dalam kehidupan nyata. Contohnya saja, dalam kehidupan nyata siapa yang peduli tanggal terjadinya perang Padri? Tidak ada yang pernah menanyakan hal ini tetapi materi-materi pendidikan yang minor seperti ini sering menjadi ukuran kelulusan siswa atau tidak. Duh! Sehingga, ketika menghadapi pandemi yang terbersit segera adalah bagaimana materi pembelajaran bisa ditransfer kepada siswa tanpa perlu bertatap muka? Yup…singkatnya, pembelajaran online.

Padahal, seandainya pendidikan tidak bertumpu kepada hafalan melainkan kepada pola berpikir dan kreativitas; maka pandemi global ini tidak akan membuat gagap para pendidik. Pembelajaran kreatif tidak melulu transfer materi tetapi kepada transformasi peserta didik. Pembelajaran bukan melulu kepada penyerahan tugas dan hafalan tetapi kepada aktivitas untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Ok, apa contohnya?


Sederhana; berikan pembelajaran bersifat eksplorasi.


Pemberian tugas hanya kepada gambaran dan garis besar tujuan dan bebaskan siswa menempuh caranya sendiri untuk merampungkannya. Misal untuk mata pelajaran IPS, siswa SD daripada diminta untuk melafalkan butir-butir Pancasila mengapa tidak mereka mengamalkan butir-butir tersebut dalam tindakan dan membebaskan mereka bagaimana cara mendokumentasikannya. Ini hanya contoh kecil, memberikan pengajaran yang tidak melulu berbau "online dan internet" tetapi tetap bisa dilakukan jarak jauh dan lebih meresap dalam kehidupan siswa. Abaikan materi-materi detil tetapi fokus kepada transformasi peserta didik melalui tindakan nyata yang membawa transformasi menjadi nyata.

Siswa, akan dilatih berpikir. Mungkin permulaannya terasa berat karena kita terbiasa untuk menerima tugas dan pasif karena memang seperti itulah pendidikan kita di buat selama ini ketimbang berpikir dan mencari jalan. Tetapi, pada waktunya pendidikan yang berfokus untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara mandiri akan lebih memberdayakan siswa ketimbang melafalkan hafalan yang mungkin terlihat cerdas saat melafalkan tetapi dilupakan 2-3 hari kemudian.

Semoga, Mas Nadiem yang sekarang menjadi menteri pendidikan bisa melihat hal ini karena beliau sudah sangat berhasil mengorkestrasi jutaan pengemudi ojek dalam sebuah aplikasi. Kecuali ternyata Go-jek hanya unsur lucky untuk seorang Nadiem yang entah kenapa sampai menjelang 2 tahun menjabat masih melempem saja tanpa greget apapun selain keputusan terburu-buru menghapus ujian nasional.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE