Perihal rindu, entah siapa yang aku rindukan?
Padahal aku tidak memintamu untuk mengajakku melihat awan di bawah gunung, tapi aku hanya memintamu untuk melihat taburan bintang di antara dua pasir.
Setelah gelasku dan gelasmu yang berbeda meja, maka sekarang kopiku yang lebih pekat dari kopimu.
Kopiku berwarna hitam dan kopimu berwarna putih, bisakah gelas kita kembali berdiam dalam meja yang sama?
Bisakah kopi kita, kopi yang murni dengan kafein?
Bukan kopi yang bercampur sianida dan arsenik?
Kamu yang di sana, kapan mengajakku kembali menikmati kopi dan menenggelamkan diri dalam senja?
Memang, haram hukumnya memang merindukanmu. Tapi, sejak aku sadari bahwa kau adalah kesemuan yang tak nampak dalam mataku, sejak itu pula ada percikan kerinduan untukmu. Jika kulanggar ketaatanku pada Tuhan, mungkin aku akan menikmati kemesraan yang kau sajikan dalam kopi yang bercampur sianida.
Kemewahan ibukota memang menjadi saksi bisu atas perlakuanmu padaku.
Kearifan lokal sudah tidak asing lagi memisahkan jarak antara kita yang terlalu dekat
Kopiku dan kopimu menyatu kembali saat siraman hujan meyakini kita bahwa kita adalah kemunafikan yang dipermainkan oleh waktu.
Masalahnya, kita terlalu munafik untuk mengakui bahwa kita saling peduli
Memang, tak ada kata peduli dalam bahasa yang kita gunakan,
Tapi matamu mengisyaratkan berbeda
Aku meraih tawamu di penghujung manisnya sapaanmu
Kali ini, bukan kopi hitam pekat yang kau sediakan, tapi kopi putih manis yang berhias kudapan mesra penuh cinta
Entah bagaimana rasanya malam ini
Ada hari-hari panjang yang kuhabiskan denganmu
Menikmati kopi hangatku tanpamu
Sama seperti menikmati butir-butir embun tanpa kesejukan
Semuanya mengalir tapi tetap kemesraanmu yang tak pernah tergantikan
Sungguh, aku ingin pulang
Aku ingin pulang kembali ke matamu yang teduh itu
Yang dimana orang tak bisa melihat air mataku
Yang dimana orang hanya bisa melihat senyumku
Kopiku malam ini berjarak beberapa meja dengan kopimu
Seperti katamu, kopi dan rindu adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari jemari dan matamu sekarang
Kopiku dimana malam ini?
Harumnya tak tercium
Rasanya tak sampai ke lidah
Apalagi warnanya, belum pekat dengan kekentalan senyumnya
Kopiku yang selalu mendorongku dan membebaskanku menyamankanku dan menentramkan jiwaku
Kau memang tidak pernah menunjukkan empatimu padaku
Tapi, saat aku lelah dan menyerah, suaramu memanggilku, tanganmu menggapaiku.
Aku yang berjalan seolah sendiri, ternyata kau selalu mengawalku dari belakang
Terima kasih, kau selalu hadir pada saat yang tepat.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”