[CERPEN] Karena Menunggu Selucu Itu

Menunggu sering kali terasa seperti berjudi dengan waktu, berbuah manis kah atau justru terbuang sia-sia?

Jakarta, 03 Juni 2011

Advertisement

 

Drrt..Drrt..

Dengan sigap Nima meraih ponsel yang bergetar di kantong celananya. Jantungnya berdegup kencang berharap yang menghubunginya adalah nomor telepon perusahaan yang mewawancarainya 3 hari lalu.

Advertisement

Dilihat nama yang tertera di layar ponselnya

‘PAPS’

Advertisement

Nima mengerucutkan bibir. Ayahnya memang rutin meneleponnya karena Nima merantau ke ibukota untuk kuliah dan mencari kerja.

“Halo” terdengar suara ayah di seberang sana.

Nima mendeham sebelum mulai berbicara,”Iya, pap?”

“Gimana interviewnya kemarin ini? Lancar?”

Nima menjawab sekenanya,”kayaknya sih lancar pap”

Ayahnya tahu ada yang mengganjal jika Nima hanya menjawab malas-malasan seperti itu

“Kenapa Nima?”

Sebenarnya Nima sedih, sudah hampir dua bulan setelah lulus tapi masih menganggur juga padahal nilai akademisnya tidak jelek. Ia juga telah diinterview beberapa perusahaan namun tak pernah ada telepon lebih lanjut atau paling mentok cuma sampai psikotes. Apakah ia tidak sebegitu berkualitasnya sampai belum ada satu pun perusahaan yang mau mempekerjakan dirinya?

“Gapapa, pap” Nima menjawab setelah jeda yang cukup panjang.

“Wis. Yang penting tetep semangat. Apply-apply lagi aja, Nima”

“Nima udah apply banyak, pap! Dari perusahaan besar, perusahaan kecil bahkan perusahaan baru! Lama banget, Nima tungguin ngga dipanggil-panggil. Begitu dipanggil, ngga ada respon lanjut. Dari semangat sampai rasanya udah hambar banget” tersentil, Nima meluapkan emosinya. Sedih, marah, kesal, kecewa, malu, semua jadi satu.

Di seberang sana ayahnya tersenyum kecil,”Nima…”


“…semua orang punya waktunya masing-masing”


“Di umur Nima sekarang ini, ada yang sudah diterima kerja, ada yang masih nungguin dipanggil interview, ada yang lanjut S2, ada juga yang belum lulus S1. Menurut Nima, kalau yang sekarang sudah diterima kerja pasti akan sukses? Dan kalau yang belum diterima kerja tidak akan sukses? Atau yang belum lulus kuliah bakal madesu?” Nima terkekeh mendengar kalimat terakhir ayahnya. Perkataan ayahnya cukup menenangkan kegalauan hatinya yang tak kunjung diterima kerja.

“Pap, kalau Nima ngga kerja kantoran boleh ngga? Kerja sendiri gitu, tapi ngga sesuai jurusan Nima” Nima sudah menyiapkan rencana cadangan sejak lulus kuliah kalau-kalau dirinya tak kunjung diterima kerja—seperti sekarang.

Hening.

‘Eh ini kenapa bapak gue diem aja deh. Segitu marahnya kah kalo gue ngga kerja kantoran?!’ Nima sedikit panik.

 “Halo, pap?”

“Duh sinyal papa jelek nih, Nima bilang apa barusan?”

“Yee, Nima pikir papa diem karena papa marah kalau Nima ngga kerja kantoran” Nima memberanikan diri mengangkat kembali topik yang terputus sinyal.

“Lho, kenapa papa harus marah? Nima udah besar, udah bisa memilih mana yang baik dan benar buat Nima” nada bicara ayah Nima melunak.

“Tapi nggak sesuai jurusan lho, pap” Nima sadar untuk memulai sesuatu yang besar dirinya butuh dukungan dan restu dari ayahnya.

Ayahnya menghela nafas,“Banyak jalan menuju Roma, Nima. Siapa tau kesuksesan kamu justru bukan dari kerjaan yang sesuai sama jurusan kuliah yang kamu ambil”

Nima termangu mendengar jawaban bijak ayahnya yang jauh lebih baik daripada yang Nima bayangkan.

“Ya udah, tunggu apalagi? Lebih cepat memulai, lebih baik kan?”

“Siap pap!” seulas senyum kecil merekah di bibir Nima, keraguan yang meliputi dirinya segera ia tepis, benih-benih semangat muncul perlahan

‘masa bodo lah sama interview’ rutuknya dalam hati.

 

**

 

Bandung, 16 Juli 2013

 

Malam semakin larut, Nima memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya kusut, sekusut rambutnya yang sedari tadi ia acak-acak karena frustasi. Dirinya sedang lelah dan kehilangan arah. Nima menghela nafas panjang kemudian menjatuhkan diri ke ranjang. Tangannya meraih ponsel, mengetik sebuah pesan singkat dengan cepat. Walau ragu, semenit kemudian ia mengirimkan pesan singkat itu.

‘Paps, Nima capek’

Nima baru saja ingin memejamkan matanya namun ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.


‘Nima… kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil, kerja pintar membantu mempercepat dan mempermudah mencapai hasil, dan kerja benar menguatkan semua usaha yang dikerjakan’


Berulang kali ia baca pesan ayahnya tersebut.

‘Tapi kapan, pap?! Nima udah kerja setengah mati tapi masih begini-begini aja’ jeritnya dalam hati. Ia melempar ponselnya ke sisi ranjang hingga terjatuh. Semua beban yang menghimpitnya akhirnya meruntuhkan ketegarannya selama ini, air matanya pun luruh.

Nima masih sesenggukan ketika kalimat ayahnya tiba-tiba terngiang-ngiang di kepalanya,”semua orang punya waktunya masing-masing”

‘well…let’s try again, then’ ucapnya sambil menghapus air mata.

 

**

 

London, 08 September 2019

 

Tuuuut..tuuuuut..tuuuuut

“Halo, paps!” Nima menyapa dengan ceria.

“Heii, udah sampe nih di London?”

“Udah nih, Nima lagi di taksi. Bagus banget paps di sini” pekik Nima. Tak henti ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan tak ingin melewati setiap detil kota ini. Sejenak kemudian ia sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Nima?” suara ayah yang memanggil namanya seakan menariknya kembali dari dunianya.

“Nima baru sadar paps, Nima udah mencapai apa yang Nima mau. Well, mungkin nggak se-wow yang papa bayangin, ta-tapi buat Nima ini udah wow banget”

Di seberang sana, ayahnya tersenyum,”Memangnya ayah pernah bilang kalau apa yang kamu capai itu ngga wow?”

Nima terdiam.

“Papa udah 22 tahun membesarkan Nima. Papa yakin Nima bisa” Nima mengernyitkan dahinya, tak yakin kemana arah tujuan pembicaraan ayahnya.

“Nima sadar? Setelah lulus kuliah, papa membiarkan Nima berjalan sendiri, papa cuma melihat dari jauh. Beberapa kali Nima jatuh, papa pengen banget bantuin Nima. Tapi papa sadar, Nima harus bisa bangun sendiri, sesulit dan sesakit apapun itu. Papa cuma bisa membimbing dan mendukung Nima dari jauh” terdengar ayahnya menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya.

“Dan apa yang papa lihat sekarang? Nima yang mandiri, yang bisa menjadi apapun yang Nima inginkan. Nima sudah menjadi apa yang papa sangat banggakan”

Muka Nima memanas, setitik air mata meleleh di pipinya. ‘this is what I always wanted to hear, paps, that you’re proud of me’ bisiknya dalam hati.

“Yang paling papa ngga sangka adalah papa ngga perlu menunggu waktu lama untuk melihat Nima sudah sukses”

‘Eh?’

“Ka-kalau Nima sekarang belum sukses?”

“Papa akan tetap menunggu dan mendukung Nima dari jauh. Papa pernah bilang kan, semua orang punya waktunya sendiri?”

‘I definitely remember that, paps’ –senyum kecil terukir walau air mata penuh haru mengalir kian deras.

Sekelebat memori perjalanan sejak lulus kuliah terputar kembali.

‘Kalo aja gue masih nungguin telepon dari perusahaan manapun itu, mungkin sekarang gue lagi kerja di kantor. Dan kalo gue nggak bertahan lebih lama untuk terus berusaha memperjuangkan bisnis gue, gue mungkin nggak di sini sekarang…’

Tiba-tiba Nima terkekeh menyadari plot twist kehidupannya,“menunggu selucu itu ya, paps” gumamnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

crafter | illustrator | writer

CLOSE