Bagi sebagian besar perempuan di Indonesia pasti tidak asing dengan istilah catcalling. Catcalling bukan berarti memanggil kucing, pemanggilan kucing, atau apapun yang berkaitan dengan kucing. Catcalling adalah pelecehan seksual di ruang publik dengan memberikan kata-kata tidak senonoh kepada korban. Pelecehan seksual dalam hal ini tidak selalu berkaitan dengan hal-hal berbau seksual. Namun, memanggil korban dengan kata-kata cantik dengan cara tidak sopan sudah termasuk catcalling.
Saya adalah salah satu korban yang mengalami kejadian itu berulang kali bahkan sejak saya masih sekolah dasar. Ketika saya berusia sekitar 9-10 tahun, saya sering dipanggil dengan kalimat yang tidak jauh-jauh dengan Cewek, mau kemana? ketika berjalan di jalan yang di pinggirnya terdapat lebih dari tiga orang laki-laki baik seusia SMA atau bahkan dewasa sekalipun.
Awalnya saya tidak mengerti kenapa saya sering diperlakukan seperti itu dan tidak tahu cara memberikan respons kepada mereka. Bahkan, saya merasa bahwa ada yang salah dan terhakimi dengan diri saya sendiri. Akhirnya, saya bertanya kepada ibu. Beliau mengatakan bahwa anaknya cantik, sehingga sering digoda oleh laki-laki dewasa yang sebenarnya jika dipikir-pikir aneh. Alih-alih merasa senang karena dipuji cantik, saya merasa kesal dan takut setiap kali di-catcalling di kemudian hari.
Bahkan, ada masa dimana saya sangat membenci wajah dan berharap wajah saya bisa sama seperti teman-teman lain yang tidak mengalami kejadian itu di usia belia. Kejadian catcalling itu terus terjadi sepanjang hidup saya. Ketika melewati segerombolan anak muda di depan minimarket, tempat wisata, pusat perbelanjaan, dan bahkan di sekolah. Dan sepanjang itu pula, saya tetap membenci wajah saya dan takut setiap kali lewati lorong sekolah yang berisi siswa putra yang sedang berbincang. Bahkan, selama satu tahun penuh, saya rela melewati jalan yang lebih jauh demi menghindari gerombolan itu di sekolah.
Meskipun tak terhitung jumlahnya mereka memanggil dengan nada aneh melalui kata "cewek!" Ada beberapa kejadian yang masih membekas di kepala saya. Salah satunya, ketika sedang berlibur di Lombok, saya melewati segerombolan pria berusia 20-an dengan menggunakan sepeda. Pakaian saya saat itu layaknya berpakaian sehari-hari. Baju saya sama sekali tidak ketat dan menggenakan jilbab yang menutupi dada. Perasaan saya tidak enak saat itu sehingga pandangan saya lurus ke depan. Ketika melewati mereka, 2-3 orang di sana bersiul lalu mengatakan Lemes banget, cantik!.
Ketika memasuki SMP, kejadian itu terus terjadi bahkan di sekolah berbasis agama. Meskipun mereka sekadar memanggil saya dengan "Dek, dicari…" Berulang kali, itu tetap mengganggu. Puji syukur, di SMP itu, saya mengenal teman-teman baru. Mereka juga mengalami kejadian serupa dan menanggapi dengan cara yang berani. Setiap kali berjalan bersama mereka, kami sering dipanggil-panggil oleh kakak kelas.
Ketika salah satu teman saya dipanggil namanya dengan cara yang nakal, teman saya langsung menghampiri dengan berani dan bertanya dengan santai namun sedikit lantang, "Kenapa, Kak?"Â Gerombolan kakak kelas itu kemudian terdiam dan mengatakan bahwa tidak ada masalah dan mengizinkan teman saya pergi. Sejak saat itu pula, saya melihat jumlah kakak kelas yang mengganggu teman saya itu berkurang.
Melihat ada perubahan yang terjadi, saya mencoba melakukan tindakan yang serupa. Hasilnya benar-benar mengejutkan. Saya mendadak mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dimanapun berada setelah melihat kakak kelas yang terkejut ketika saya menghampiri mereka. Hal itu menunjukkan bahwa saya benar-benar tidak melakukan kesalahan apapun. Sejak itu pula, saya merasa lebih percaya diri dan lebih berani ketika melewati segerombolan laki-laki. Meskipun tidak sepenuhnya berani, setidaknya saya sama sekali tidak membenci wajah dan diri sendiri.
Anggapan bahwa korban yang memancing catcalling kepada korban itu sendiri adalah kesalahan. Sepanjang saya mengalami kejadian itu, pakaian saya tertutup, tidak ketat, dan menggenakan hijab yang sopan. Saya juga tidak menunjukkan gerakan menggoda atau mengajak mereka berbicara. Di sosial media juga saya tidak melakukan hal yang melanggar norma, memancing sesuatu yang bersifat seksual, dan cenderung tidak aktif. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang memulai pelecehan seksual secara verbal itu adalah pelaku itu sendiri.
Edukasi agama dan norma masyarakat harus digalakkan dan ditanamkan baik-baik kepada siapapun agar kejadian seperti ini tidak terus terjadi dan membudaya. Karena kejadian seperti itu cukup mengganggu mental saya hingga saat ini dan mungkin, ada korban lain di luar sana yang mendapatkan efek yang lebih buruk daripada saya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”