Keterbatasan Bukan Batasan

"Ah kau ini, tinggi kali mimpi kau. Dimana matamu? bercermin saja kau tak bisa melihat bayangmu sendiri. Eh sok-sok an menulis ingin jadi dokter yang hafidzoh di kolom impian."

Advertisement

Yah, ungkapan itu pernah kudengar. Terlontar dari mulut seseorang asing yang sebelumnya tak pernah kukenali. Aku memang tak bisa melihatnya. Baik ekspresi wajah maupun tatapan matanya. Namun yang pasti ungkapannya sangat menusuk dan dari hatiku aku hanya berharap seseorang itu tak serius dengan ungkapannya. Karena yang kutahu semua orang baik selama ini.

Sedari kecil aku hidup di lingkungan yang alhamdulillah sekali karena aku jarang mengalami kesedihan. Aku hidup dengan kedua ortuku dan dua abangku. Keterbatasan ekonomi sangat menonjol dalam kehidupan keluargaku. Namun begitu alhamdulillah Allah masih memberi kami kekuatan untuk terus berada di jalan-Nya.

Ayahku menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang sangat kental dengan agama. Selama di madrasah juga di pondok, kehidupannya selalu dipadu dengan nilai-nilai agama. Bahkan hampir jarang sekali aku menemukan bentuk-bentuk penyimpangan. Mungkin keadaan itulah yang membuatku memiliki asumsi bahwa semua orang baik.

Advertisement

Namun asumsiku mulai kuragukan sendiri saat kudengar suatu ungkapan seseorang asing di lingkungan luar.
Memang apa salahnya memiliki impian yang tinggi?
Memangnya untuk sukses hanya berlaku bagi mereka yang sempurna? Toh aku sangat mempercayai Tuhanku.
Bukankah tiap insan diberikan modal yang sama olehNya? Okelah, dalam hal fisik terkadang ada sedikit perbedaan.

Tapi bukankah tidak jarang sukses besar juga dimiliki mereka yang berketerbatasan fisik? Ya Rabb… aku hampir tersungkur dariMu kala itu. Aku lemah dan hampir menyesali keterbatasanku yang sejatinya merupakan nikmatMu hanya karena ungkapan seseorang yang sama sekali tak pernah kukenal dan hampir berhasil meyakinkan kebodohanku daripada Engkau yang selama ini dan selamanya sangat kupercayai. Maafkan aku ya Rabb…

Advertisement

Sempat berhari-hari setelah ungkapan itu muncul, aku terus merenungkannya. Kata putus asa menempel di jiwaku yang selama ini hidup tanpa fungsi indera penglihatan. Namun putus asaku mulai pudar dan tersudut kala suatu peristiwa kecil mewarnai hidupku. Kala itu aku bersama sahabat karibku pergi ke sebuah sungai yang berada tidak jauh dari pondokku.

Memang lingkungan di sana masih sangat terjaga keasriannya. Aku duduk di sebuah batu besar di tepian sungai. Sementara sahabatku sibuk berkecimpung di air sungai dengan kesenangan yang terdengar sangat bahagia.

"Dak, ayo sini ikut nyebur. Seger banget lho."

Aku tak menjawab sepatah katapun. Hanya kusemai kata syukur dan juga senyuman saja melihat kesenangan sahabat baikku itu. Hingga akhirnya, sontak muncul keinginan untuk ikut turun bermain air padahal sebelumnya aku sama sekali tak tertarik untuk ikut turun. Kakiku berjalan begitu saja dengan perasaanku yang terus berusaha mengenali keadaan sekitar.

Kuayunkan tanganku ke dalam air. Entah, keduanya terus bergerak menyeruak aliran air. Tanpa kusadari, mataku meneteskan air mata dan deras lelehannya di pipiku. Aku tak bisa hentikan tangisku. Entah apa yang membuatnya keluar begitu deras. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi padaku saat itu, yang aku tahu hanya ada rasa sakit yang sangat menyesakkan.

"Dak, kenapa? udah ayo naik. Jangan dipaksain kalau nggak kuat. Nanti kamu bisa kambuh. Maafin aku, aku malah nggak merhatiin keadaanmu."

Namun tanganku masih saja terus bergerak semacam ingin sekali mendapat sesuatu dari dalam air. Dan grep… Tubuhku diam, senyumku… aaa aku dapat ikan! Kurangkul erat sahabatku.

"Nggak Dan, Keterbatasan bukan batasan. Aku juga hambaNya. Dia sangat melaknat putus asa dan orang yang kufur."

Dilepasnya rangkulanku. Diusapnya sisa lelehan tangis di pipiku.

"Dak…bagi sebagian orang kamu memang tidak bisa melihat dan dianggap cacat. Tapi nggak, itu sama sekali nggak bener. Kamu masih bisa melihat dan melakukan semuanya. Melalui hati dan keyakinanmu padaNya kamu masih bisa berusaha melangkah jauh bersamaku berjalan di jalanNya untuk menggapai ridhaNya."

Sejak saat itu keyakinan akan kemampuanku tumbuh kembali. Aku tak mempedulikan ungkapan itu lagi. Aku hanya peduli dengan keyakinanku padaNya. Ini aku, Dia bersamaku. Aku pasti bisa ^_^ Beberapa minggu setelahnya, Ortuku menyambangiku. Dan seperti biasa, selain sekedar untuk melepas rindu, ortuku pasti membawakan sesuatu untukku. Entah itu makanan atau barang.

Tapi saat itu ialah berupa kaset murottal al – Qur'an. Karena pemberian dari ortuku itu, kesenangan dan kebahagiaan tidak hanya melimuti diriku, tapi juga sahabatku, Dan. Terlihat sikapnya yang terus mendukungku untuk mencapai impianku untuk bisa khatam al-Qur'an. Kami sering nderes al-Qur'an bersama. Diapun sering melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an di dekatku dan semangat sekali menyemak hafalanku.

Tak jarang dia juga mau membenarkan bacaan hafalanku apabila ada kesalahan. Dan juga di waktu tertentu, waktu dimana pondokku memberi kebebasan santri-santriwatinya menggunakan barang elektronik, aku pasti memutar kaset murottal al-Qur'an pemberian ortuku. Hingga kurang lebih enam bulanan, alhamdulillah aku bisa mengkhatamkan hafalanku. Aku bersyukur sekali, nikmat Allah tak henti-hentinya mengalir untukku.

Meski impianku belum sepenuhnya terwujud, suatu saat nanti pasti juga akan terwujud semuanya.

Karena aku yakin, jalanNya akan selalu terbuka untuk siapapun hambaNya yang mau berikhtiar, tentunya dengan mematuhi segala perintah dan laranganNya.

Ikhtiar lahir batin disertai do'a dan juga tawakkal padaNya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE