Komitmen dan Proses

Terkadang, komitmen yang kuat disertai dengan proses yang berat

Hai! Namaku Fina. Usiaku hampir menginjak sembilan belas tahun. Aku adalah anak pertama di keluargaku. Saat ini, aku menjadi mahasiswa tahun pertama Prodi Kedokteran di salah salah satu perguruan tinggi di Solo, yaitu UNS. Seperti yang orang-orang katakan, perjuangan untuk masuk dan bertahan di jurusan ini hingga akhirnya menjadi sangatlah sulit. Namun, bagaimana akhirnya aku memutuskan untuk masuk kedokteran? Apakah ini benar-benar kemauanku? Di sini, aku akan membagikan ceritaku tentang bagaimana akhirnya aku memutuskan untuk menjadi dokter dan perjuanganku untuk berhasil masuk jurusan kedokteran.

Advertisement

Dahulu, saat masih preschool, aku dan teman-temanku diberi PR menggambar cita-cita dan keesokan harinya kami diminta untuk menjelaskannya di depan kelas. Tugas ini lalu aku kerjakan dengan orang tuaku. Kala itu, aku merasa bingung ingin jadi apa. Ibuku lalu menyarankanku untuk menjadi dokter. Ia bilang bahwa dokter adalah cita-cita yang mulia karena dokter suka menolong orang sakit. Aku langsung mengiyakan saran ibuku dan sejak saat itu, jika seseorang bertanya tentang cita-citaku, dokter selalu jadi jawabanku.

Seiring bertambahnya usia, aku mulai mencoba banyak hal baru. Orang tuaku mengikutkanku ke banyak les mulai dari les bahasa inggris, menggambar, piano, gitar, bernyanyi, berenang, gymnastic, hingga karate. Meskipun banyak kegiatan, aku masih bisa menjadi juara kelas. Orang tuaku sangat mendukung proses belajarku, terutama ibuku yang selalu menemaniku belajar tiap malam. Selama bertahun-tahun pula ibuku terus menumbuhkan obsesi padaku untuk menjadi dokter. Karena orang tuaku ingin aku menjadi dokter, maka aku pikir aku harus menjadi dokter. Ya, aku sangat menyayangi orang tuaku dan ingin menjadi anak yang membanggakan mereka. Kala itu, aku juga tidak tahu cara lain untuk membuat orang tua senang selain dengan menuruti kemauan mereka.

Saat SMA, aku masuk di kelas unggulan dan orang tuaku memintaku untuk fokus belajar dan meninggalkan kegiatan yang tidak mendukung proses belajarku karena mereka ingin aku punya kesempatan lolos kedokteran jalur SNMPTN. Namun, setelah tiga semester, ternyata semua tidak berjalan dengan baik. Aku selalu mendapat peringkat tengah di kelas. Aku pun mulai berpikir bahwa sepertinya aku sudah tidak bisa mengandalkan kemampuanku di bidang akademik. Hal ini membuatku terpikir untuk menyerah dan tidak mendaftar kedokteran lewat jalur SNMPTN karena teman-teman yang punya peringkat di atasku kebanyakan ingin mendaftar kedokteran. Aku juga khawatir karena di lingkup kelas saja aku sudah tertinggal, lalu bagaimana nanti saat seleksi SBMPTN. Banyak orang di luar sana yang juga ingin jadi dokter dan jauh lebih pintar serta usahanya lebih keras daripada aku. Namun, untungnya hal itu hanya terlintas di pikiran saja.

Advertisement

Di kelas XII, aku mulai memperjuangkan mimpiku menjadi dokter. Mulai dari belajar mandiri, bimbel, dan Try Out, aku lakukan dengan sungguh-sungguh. Bahkan, salah satu bimbel yang aku ikuti berada di luar kota sehingga aku harus naik kereta tiap kali berangkat les. Tuntutan tugas dari sekolah dan bimbel pun cukup banyak hingga aku kurang tidur dan sering sakit. Hingga akhirnya, ada fase dimana aku mulai lelah dan ragu terhadap apa yang aku lakukan selama ini. Meskipun sudah berusaha dan berdoa, nilai Try Out-ku masih saja jauh dari harapan. Selama ini, mimpiku untuk menjadi dokter hanya karena kemauan orang tua. Aku mulai terpikir untuk mencari alternatif karier selain dokter karena aku rasa aku cukup pandai dalam musik, seni, memasak, maupun olahraga.

Namun, aku khawatir bagaimana perasaan orang tuaku jika aku akhirnya menyerah untuk menjadi dokter. Setelah berdiskusi panjang dengan orang tua, mereka bisa memahamiku dan memberiku kebebasan untuk memilih. Akan tetapi, ternyata masih ada bagian dari diriku yang ingin menjadi dokter. Aku membayangkan di masa depan betapa senangnya jika aku bisa menolong banyak pasien. Sebagai anak pertama, aku juga ingin membanggakan kedua orang tuaku dengan mewujudkan kemauan mereka. Akhirnya, aku berhasil meyakinkan diri dan berkomitmen untuk masuk kedokteran.

Advertisement

Saat SNMPTN, aku mendaftar kedokteran di salah satu PTN. Pengumumannya dilaksanakan di hari ulang tahunku. Tentu saja aku berharap lolos SNMPTN akan menjadi kado terindah bagiku. Namun, ternyata aku dinyatakan tidak lolos. Meski begitu, aku tidak sempat berlarut-larut dalam kesedihan karena aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. Selain itu, aku juga masih harus berjuang di SBMPTN. Aku semakin giat berusaha dan berdoa demi mewujudkan cita-citaku. Saat hari-h SBMPTN, aku diantar oleh keluargaku ke sampai ke titik drop out. Sebelum masuk, aku memeluk kedua orang tuaku dan meminta doa restu pada mereka agar aku diberi kemudahan saat mengerjakan soal.

Saat hari pengumuman tiba, aku dinyatakan lolos SBMPTN di Kedokteran UNS. Aku sangat senang dan bersyukur karena semua perjuanganku akhirnya membuahkan hasil. Impianku untuk menjadi dokter juga jadi selangkah lebih dekat. Dengan hal ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah dan semua orang, terutama orang tuaku yang telah memberikan doa dan dukungan di setiap prosesku, juga kepada seseorang yang telah memberiku kekuatan dan semangat untuk selalu melakukan yang terbaik setiap harinya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE