Terima Kasih untukmu yang Bersedia Mendengarkan, di Kala Orang Lain Sibuk Berikan Komentar

Mendengar tanpa menghakimi

Pernah nggak sih, kamu menemukan seseorang atau beberapa orang bisa jadi temanmu, saudaramu, atau sahabatmu, yang merasa lebih aman dan nyaman menuangkan segala isi curhatan dan segala kesesakan yang ada di dadanya secara berani padamu? Hal-hal yang ia ceritakan padamu adalah masalah-masalah berat yang sampai berujung menganggu pikiran, fisik bahkan kesehatan mentalnya hingga berujung pada keinginan ingin mengakhiri hidup. 

Advertisement

Padahal, ia bisa saja bercerita kepada sahabatnya atau seseorang terdekat yang bisa saja ia hubungi atau yang bisa diminta tolong pendapat atau tindakannya. Tetapi, ia malah memilihmu sebagai orang yang jauh di sana atau orang yang baru ia kenali dan dekat beberapa bulan belakangan ini menjadi saksi kisah pilunya. Kisah-kisah yang tak mampu ia bagikan kepada teman dekatnya bahkan orang tuanya sendiri. Jika kamu pernah menemukannya atau saat ini sedang mengalaminya bersama orang tersebut,” Selamat! Kamu adalah pendengar yang cerdas”.

Tahukah kamu bahwa seseorang yang sedang dilanda cemas, depresi dan hiruk pikuk permasalahan tidak serta merta membuatnya berani dan percaya untuk membagikan permasalahannya kepada orang terdekatnya. Karena, tidak semua orang mampu menjadi pendengar yang cerdas. Tidak semua orang juga memiliki kemampuan yang sama dalam menanggapi setiap cerita atau curhatan seseorang secara bijak dan objektif. 

Oleh karena itu, dibutuhkan naluri yang alamiah yang berasal dari sanubari hati. Eittss, tapi bukan berarti kamu tidak bisa belajar menjadi pendengar yang cerdas juga, lho. Karena tidak semua orang mampu menyanggupinya, maka faktor lingkungan dan pembelajaran hiduplah yang akan mengubah analisis pemahamanmu terhadap apa yang kamu dengar menjadi lebih baik.

Advertisement

Menjadi seorang pendengar yang cerdas tidak hanya sebatas mendengarkan kemudian memberikan tanggapan dan solusi atas topik permasalahannya. Tetapi lebih daripada itu, ada kalanya kamu hanya perlu duduk bersama, dengarkan mereka dan menjaga emosi mereka sampai mereka siap untuk meletakkan diri mereka kepadamu. Dalam arti mereka siap dan percaya kamu orang yang tepat untuk mereka bagikan segala isi permasalahan mereka.

Mereka terkadang tidak perlu kamu harus menghilangkan rasa sakit dan emosi yang mereka derita. Karena orang-orang ini hanya akan mempercayai keyakinan diri mereka sendiri dan sulit menerima masukan dan nasihat dari orang lain. Sebab, penderita mental illness yang pada umumnya merasa cemas, depresi dan terberat adalah keinginan bunuh diri pada dasarnya rasa egois dan keras kepala mereka menjadi naik dua sampai tiga kali lipat dari orang normal pada umumnya. 

Advertisement

Sebab, mereka hanya mempercayai diri mereka sendiri. Faktor lain yang menyebabkan mereka sulit menerima masukan dan mempercayai orang lain, karena memiliki pengalaman yang kurang baik di masa lalunya. Mereka bisa saja sudah terbiasa mengalami penghakiman buruk dan labeling dari orang lain.

Ketika mereka membagikan cerita dan emosi mereka kepada orang lain, orang lain cenderung meremehkan dan menghakimi permasalahan mereka karena menganggap masalah mereka belum ada apa-apanya atau belum seberat dengan masalah si A atau si B. Atau menganggap si penderita terlalu mendramatisir kehidupan mereka sendiri, sehingga orang lain menganggap si penderita hanyalah seorang “Drama Queen” atau tukang cari perhatian. 

Padahal, faktanya mereka saja tidak tahu bagaimana memahami diri mereka sendiri yang saat ini serba salah di mata orang lain. Pasalnya, orang lain menganggap si penderita terlalu ribet. Sudah diberikan saran, masukan, nasihat, tapi malah membal di kepala dan tidak pernah dilakukan segala saran dan nasihat yang diterima. Hal itu yang membuat penderita merasa orang lain kurang memahami dirinya. Solusi apa yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang orang lain berikan. 

Padahal bisa saja solusi yang diberikan merupakan solusi yang terbaik, tetapi bagi penderita mental illness solusi apapun akan terasa sia-sia saja. Hal itu disebabkan karena emosi mereka yang cenderung tidak stabil. Mereka saja tidak bisa memahami keinginan diri mereka apalagi untuk mengendalikan kadar emosi mereka.

Hal ini yang sering disalahpahami oleh kita sebagai orang yang mendengarkan cerita mereka. Kita sering merasa kesal dan lelah memberi saran dan arahan, tapi si penderita tetap keras dengan pendiriannya. Sehingga pada akhirnya, kita memilih enggan untuk terlibat kembali dengan mereka.

Padahal, cara terbaik untuk menghadapi mereka adalah cukup dengarkan mereka tanpa menghakimi itu sudah membuat mereka jauh lebih baik. “Iya” kan saja dan dukung segala cerita dan keinginan mereka selama tidak menjurus kepada menyakiti diri sendiri dan orang lain, meski beberapa terkesan berusaha mencari perhatian saja. Karena faktanya mereka saat ini memang merasa kesepian sehingga butuh perhatian dan respon dari orang-orang untuk mengalihkan rasa sakit mereka yang semakin berat.

Sebab, terkadang mereka tak selalu butuh solusi. Tetapi butuh respon dan kehadiran dari orang-orang sekitar sebagai bukti bahwa mereka masih dianggap ada. Sehingga, dengan sendirinya mereka akan berani membuka diri dan menyadari segala masukan yang orang lain berikan kepada mereka. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE