Mengalami Celebrating Mediocrity? Gapapa Kok!

Celebrating mediocrity bisa dianggap sebagai bentuk self-love? kok bisa?

Pada era digital ini, semua hal bisa kita taruh dan perlihatkan di media sosial. Sering kali kita merasa kagum bahkan iri melihat Instagram story orang lain, semua orang seolah-olah berlomba untuk terlihat “asik” di dunia maya untuk mendapat validasi dari orang lain. Padahal sudah jelas bahwa apa yang ada di media sosial hanya sepersekian detik dari kehidupan kita sehari-hari, apa yang kita lihat di layar gadget pastinya sudah diatur, di-edit, dan dikonstruksi sedemikian rupa agar terlihat menarik. Wajar sih, namanya manusia pasti senang kalau mendapat pujian. Sesederhana disebut “jago bikin caption” padahal nyomot di Pinterest. Sssstt.

Advertisement

Pernah gak sih kalian nyinyir saat melihat orang lain dipuja-puja karena menurut kalian mereka gak worth it untuk disanjung sebegitunya? Kalau pernah, sama. Sembari scrolling, saya sering lho menjadi komentator mendadak, ya walau kadang komentar tersebut hanya berputar dalam kepala, sih. Contohnya adalah ngeliat seseorang dipuji “aesthetics” hanya karena feeds Instagram nya rapi teratur dan tone warnanya sama semua, menurut saya sih ya semua orang bisa saja buat jadi aesthetics kalau memang mau dan niat, tidak ada yang spesial. Begitu lah kira-kira gambaran komentar yang berputar di kepala saya.

Lantas, saya pun bertanya balik kepada diri saya, apakah yang selama ini saya lakukan juga sebenarnya biasa saja dan tidak ada yang spesial ya? semakin gelisah lagi saat saya tahu jawabannya, ya bisa jadi. Semakin saya berpikir semakin saya sadar bahwa, saat saya merasa keren, di luar sana masih ada sejuta orang yang lebih keren, saat saya merasa bangga karena mendapat nilai A, mungkin ternyata ada teman yang mendapat nilai A+, pertanyaan baru pun muncul. Am I celebrating my own mediocrity?

Waktu masih kecil (atau mungkin sampai sekarang) saat kita mengikuti lomba pasti semua peserta akan diberi trophy, terlepas dari menang atau tidak. Kita pun senang melihat kumpulan trophy yang terus bertambah, orang tua pun bangga melihat anaknya memiliki tumpukan trophy di rumah padahal hanya sertifikat partisipasi, apa yang spesial? Semua orang juga bisa berpartisipasi. Hal-hal kecil seperti ini secara tidak sadar membiasakan kita untuk merayakan sesuatu yang sebenarnya biasa saja, to celebrate mediocrity. 

Advertisement

Little did we know, untuk bertahan hidup tidak hanya cukup dengan menjadi peserta, ada saatnya kita harus menjadi yang terbaik. It is a tough world we live in. Coba bayangkan jika mindset seperti itu terbawa sampai kita beranjak dewasa, mindset dimana kita biasa untuk merasa puas dengan sesuatu yang standar-standar saja alias average. Saat kita puas dengan menjadi mediocre orang-orang diluar sana berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Begitulah realitanya, kalau kata Benjamin Franklin, founding father Amerika Serikat, “life is a kind of chess, with competition, struggle, good and ill events.” 

Menurut kalian, apa sih alasan seseorang untuk merayakan mediocrity-nya?  Kalau menurut saya, bisa jadi untuk meng-apresiasi diri, to feel better about themselves, atau worst case, bisa jadi sebagai coping mechanism atas rasa iri terhadap orang lain yang lebih “sukses” dibanding mereka. Mengutip dari kalimat Carlos Ruiz Zafon seorang novelis asal Spanyol, “envy is the religion of the mediocre” Lalu, salahkah jika kita melakukan hal itu? Jawabannya adalah, it depends. Ada orang yang memberi reward pada dirinya sendiri setiap berhasil mencapai sesuatu sebagai bentuk self-love, dan memotivasi untuk dirinya mencapai mimpi-mimpinya yang lain, jika begitu ya sah-sah saja.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan merasa bangga terhadap diri sendiri, yang salah adalah saat rasa bangga tersebut membuat kita menjadi cepat puas dan merasa cukup, lalu berhenti untuk mencapai goal lain yang lebih tinggi. Ingat, selama kita hidup masih banyak anak tangga yang harus kita naiki. Mau berhenti atau lari, it’s all your choice. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE