Mengapa HarusĀ InsecureĀ Karena Tidak Ikut Tren?

Insecure dan standar dunia yang membatasi kita.

Bukan lagi hal tabu bagi orang-orang untuk mengikuti tren, terutama bagi kalangan anak muda. Rasanya hidup tidak lengkap dan membosankan jika tidak mengikuti tren. Terutama jika kita hidup di lingkungan yang terdiri dari orang-orang yang terkesan hits, apakah kita tidak akan merasaĀ insecureĀ jika berhadapan dengan mereka?

Advertisement

Anggapan yang dijadikan standar oleh orang-orang, contohnya seperti perempuan cantik harus berkulit putih, tubuh yang ramping merupakanĀ body goals,Ā tidak memilikiĀ smartphoneĀ yang berlogo apel digigit itu tidak keren, anak pintar adalah yang ahli di bidang matematika, dan sebagainya. Tidak hanya itu, tren juga dapat bersifat sementara, seperti warna lilac yang sempat menjadi budaya, rasanya jika tidak memiliki barang yang berwarna lilac itu tidak keren.

Fenomena ini dapat juga disebut dengan konformitas. Bisa saja bagi beberapa orang memiliki pendapatnya sendiri bahwa mengikuti tren itu tidak perlu. Tetapi jika orang tersebut dihadapkan dengan orang-orang yang mayoritasnya memiliki pendapat yang bertolak belakang, apakah ia tetap berpegang pada pendapatnya tersebut? Umumnya, hal yang diyakini oleh banyak orang akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Meskipun pada dasarnya hal tersebut bisa jadi kurang tepat.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap manusia ingin diakui. Setiap manusia ingin harga diri. Hal tersebut sudah menjadi tabiat manusia. Hanya saja kadarnya yang berbeda-beda. Ada yang merasa dihargai jika namanya telah dikenal oleh kalangan umum, dan ada pula yang merasa dihargai hanya dengan dipuji akan hal kecil yang telah dilakukan. Pertanyaannya, apakah alasan mengikuti tren karena ingin diakui atau karena ingin dihargai? Tentu saja.

Advertisement

Misalnya saja seperti penggunaan media sosial. Mayoritas pengguna media sosial sudah tentu merasa senang jika mendapat pernyataan suka, sebutlahĀ loveĀ di Instagram. Semakin banyakĀ loveĀ yang didapatkan, maka semakin senang juga bagi penerimanya. Terutama jika dilengkapi oleh komentar-komentar yang semakin menarik perhatian. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang termotivasi mengikuti tren. Kuncinya, jika kita mengikuti tren, maka kita akan mendapat perhatian publik.

Namun jika kita kaji lagi, apakah hal tersebut baik? Memang benar, hal tersebut sudah menjadi tabiat manusia yaitu ingin diakui, atau dalam ilmu psikologi kepribadian disebut dengan kebutuhan manusia akan aktualisasi diri. Namun apakah hal tersebut dapat dibiarkan tumbuh di dalam diri kita?

Advertisement

Perlu kita ketahui, tidak ada salahnya mengikuti tren dengan tujuan memuaskan diri. Namun, jangan sampai hal tersebut menyebabkan kita berlarut-larut hingga menjadikannya kewajiban. Terutama jika sampai mengorbankan hal-hal yang dirasa tidak perlu. Misalnya menghamburkan uang atau membuang-buang waktu.

ā€œTetapi aku tidak ingin dianggap berbeda dari mereka, aku juga ingin seperti merekaā€. Tentulah hal ini menjadi kontroversi dalam diri. Tidak ingin dikucilkan, tidak ingin dianggap berbeda, tidak percaya diri karena tidak mengikuti tren.

Mengikuti tren cenderung menjadikan kita seperti orang lain, bukan menjadi diri sendiri. Kita juga cenderung menjadikan tren sebagai standar untuk segala hal. Padahal, hal tersebut tidak benar. Salah satu hal utama yang dapat kita lakukan adalah niat. Jika sesuatu diawali dengan niat, maka kita akan bersungguh-sungguh melakukannya. Berniatlah bahwa mengikuti tren bukan hal yang penting.

Menyusun skala prioritas kita sendiri juga dapat menjadi solusi. Misalnya kita adalah mahasiswa, maka hal yang menjadi prioritas kita adalah belajar dengan tekun. Bayangkan berapa banyak waktu yang kita buang untuk hal yang sia-sia, sementara waktu yang terbuang tersebut dapat kita gunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Mengapa menjadi diri sendiri itu penting? Tentu saja penting. Hal ini identik dengan lingkaran pertemanan yang terjadi saat ini, terutama di kalangan anak muda. Contohnya jika kita bergabung dalam lingkaran pertemanan yang suka nongkrong di kafe elit, sementara kita tidak menyukai hal tersebut, namun di sisi lain kita tidak ingin kehilangan teman. Otomatis kita akan mengikuti hal yang tidak kita sukai karena kita ingin diakui, bukan? Kita rela tidak menjadi diri sendiri karena suatu hal yang sia-sia.

Tidak. Hal itu tentu saja tidak baik. Jadilah diri sendiri. Jangan takut tidak diterima di sebuah lingkungan. Lebih baik menjadi diri sendiri dibandingkan diterima di sebuah lingkungan namun harus menjadi orang lain. Sayangilah diri kita sendiri terlebih dahulu.

Yakinlah kita tidak sendiri. Kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Jika kita membuka mata, masih ada orang yang ingin mendengarkan kita. Masih ada orang yang akan menerima kita apa adanya. Bergabunglah dengan lingkungan yang membawa pengaruh positif, lingkungan yang membuat kita nyaman berada di dalamnya, yang membuat kita bisa menjadi diri sendiri.

Sekali lagi, teman-teman, mengikuti tren bukanlah suatu keharusan. Tidak perluĀ insecureĀ karena tidak ikut tren. Jadilah diri sendiri. Cintailah diri kita sendiri, lakukan hal-hal baik yang bisa membawa hal-hal yang baik pula. Sekian. Semoga bermanfaat!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya adalah mahasiswi program studi Psikologi di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh, Indonesia. Saya berdomisili di Banda Aceh.