Menjadi Tamu di Rumah Sendiri dan Rasa Takut Tentang Kehilangan

Tak terasa bulan September sudah habis. Sembilan bulan di tahun 2021 melenggang begitu cepatnya. Tidak banyak yang bisa dilakukan di tahun ini, mengulang tahun sebelumnya. Kurang lebih tiga bulan lagi akan berganti tahun. Dan jika diberikan umur panjang, angka usia saya pun akan berubah. Disadari atau tidak, saya akan semakin beranjak menjadi individu sendiri. Pernahkan kalian menyadari bahwa bertumbuh adalah proses yang begitu sepi. Menanggalkan semua peran kita dalam keluarga. Pergi, mencari pengharapan baru atau pergi, menjemput pengharapan baru membuat kita kadang lupa bahwa kita memiliki status anak dalam keluarga.

Advertisement

Semakin kita menjadi dewasa, semakin kita menjadi orang asing di rumah. Baru-baru ini, saya membaca novel karya penulis negeri Ginseng dengan judul Please, Look after Mom! Novel tersebut mengambil topic tentang seorang anak yang sudah hidup sendiri dan merasa mengenal Ibunya dengan sangat baik tetapi menyadari bahwa ternyata Ia tidak tahu apa-apa tentang apa yang dirasakan Ibunya. Dengan sudut pandang monolog renungan Sang Anak, novel ini menyentil hubungan orangtua dan anak dalam keluarga. Kesadaran tersebut muncul ketika Sang Ibu tiba-tiba menghilang di Stasiun. Salah satu monolog yang saya sukai dari novel tersebut adalah ….bahwa Ibu kita pun pernah memiliki masa kecilnya sendiri. Hal tersebut sangat menyentil karena saya tidak pernah berpikir bahwa sebelum menjadi orangtua, Bapak dan Ibu saya adalah seseorang yang juga sedang mengejar mimpi-mimpinya. Entah apakah mimpi-mimpi tersebut berhasil diraih atau banyak yang dikorbankan ketika akhirnya memilih untuk menjadi orangtua.

Saya, yang begitu lahir hanya mengerti bahwa saya memiliki dua orang, laki-laki dan perempuan yang selalu saya sebut sebagai Bapak dan Ibu. Tidak lebih. Saya tidak tanggap ketika Bapak dan Ibu menyeritakan tentang masa kecil, masa remaja, dan masa-masa sendiri mereka sebelum berakhir menjadi keluarga, merupakan kenangan yang mungkin ingin mereka ulang kembali. Saya hanya menanggapinya dengan ber-oh ria. Saya beruntung, memiliki orangtua lengkap yang saling mendukung satu sama lain. Dan begitu kooperatif dengan anak-anaknya. Mereka sadar betul bahwa saya akan menjadi individu sendiri. Mereka yang tidak pernah memaksa.

Saya yang baru menyadari akhir-akhir ini, ketika tubuh Bapak yang menyusut. Ketika Bapak memutuskan untuk berhenti minum kopi, ketika Bapak memutuskan untuk mengurangi menghisap lintingan rokoknya, ketika Bapak memutuskan untuk memakan lebih banyak sayur-sayuran. Tadinya, saya begitu senang mendengar perubahan diri Bapak. Namun, tidak tahu kenapa di dalam lubuk hati terdalam, saya merasa khawatir. Dan sepertinya agak merasa kehilangan. Emang dasar denial aja karena setiap manusia akan menua dan itu wajar-wajar saja sebenarnya. Sayanya aja yang mendramatisir suasana. Saya saja yang tidak mau menjadi manusia dewasa.

Advertisement

Tapi sungguh, menjadi anak perempuan Bapak yang setiap sore diboncengin naik sepeda keliling kampung adalah hal yang paling saya rindukan. Sekarang, Bapak mungkin sudah tidak kuat boncengin saya naik sepeda lagi karena harus menjaga tubuhnya sendiri supaya tetap bugar. Saya pun, ingin sekali boncengin Bapak naik sepeda. Namun, tentu saja Bapak menolak. Maunya ya Bapak aja yang boncengin karena saya pun tau Bapak masih menganggap saya anak perempuan kecil yang kemana-mana masih harus ditatih.

Pernahkan teman-teman semelankolis saya? Menjadi begitu dramatik dengan semua yang menyangkut tentang orangtua? Berbahagialah untuk kalian yang masih memiliki orangtua yang lengkap, keluarga yang utuh dan tidak penuh masalah. Jangan take for granted. Ucapkan rasa sayang kalian bukan hanya di hari ulang tahun mereka, bukan hanya di Hari Ibu atau Hari Ayah. Namun, jujur saya pun tidak sanggup melakukannya setiap hari. Sungguh kontras dengan tulisan saya di atas.

Advertisement

Saya sekarang tinggal berjauhan dengan orangtua, mendengar suara mereka melalui telepon saja saya bisa mbrebes mili. Nahan-nahan supaya tidak sesenggukan. Makanya, jarang telepon. Berkabar seperlunya, tapi diam-diam kalau saya pulang Ibu selalu menyiapkan makanan yang jarang dimasak. Bapak langsung keluar beli snack macam-macam. Sungguh, menjadi tamu. Saking sudah jarang bertemu. Apakah saya siap jika suatu saat mereka benar-benar menua? Jujur, jika ada obat awet muda saya akan membelikannya untuk mereka. Biar hidup terus bersama saya.

Sungguh egois bukan saya ini, mungkin. Jangan-jangan mereka malah berpikir bahwa menua itu sangat nikmat.  Dulu, ketika saya pulang agak telat dari jam biasa pulang HP saya bordering tiada henti. Bapak tidak akan menyerah menghentikan panggilan sebelum saya mengangkat atau benar-benar terlihat batang hidungnya di rumah. Tentu, saya kesal karena menurut saya itu berlebihan, kala itu.

Namun, semakin saya bertambah usia dan menyatakan bahwa saya sudah dewasa. Dering telepon akan semakin jarang, saya dianggap sudah tahu dan bisa mengatur jam pulang sendiri sesuai kebutuhan. Saya pikir saya akan menyukainya, nyatanya saya malah kangen masa-masa HP saya berdering tanpa henti. Mereka senang, anak-anaknya sudah tumbuh dewasa sesuai dengan harapan mereka ketika pertama kali memiliki saya. Apakah begitu yang dirasakan semua orangtua? Entahlah, saya saja belum menjadi orangtua jadi, hanya bisa menerka-nerka.

Di masa yang mengkhawatirkan ini, saya cukup takut ketika orangtua saya mengabari bahwa mereka tidak enak badan. Apalagi dengan adanya virus corona ini. Saya ketar-ketir ketika puncak gelombang kedua corona terjadi, Bapak mengalami gejala. Singkat cerita, Bapak tidak berdaya di rumah, berusaha untuk tetap waras. Suaranya begitu dalam. Hampir saja saya terisak ketika Bapak berkata (bohong) bahwa dirinya baik-baik saja. Tidak ingin anaknya khawatir. Dasar orangtua! Jujur, saya takut, sangat takut. Tapi entah kenapa saya percaya Bapak bisa melewatinya. Dan memang, Bapak bertahan. Bapak sembuh setelah satu bulan. Sekarang sudah bisa beraktivitas seperti biasa. 

Saya lega, selain karena saya masih diberi kesempatan untuk memiliki seorang Bapak, juga karena Tuhan masih baik kepada saya. Tuhan tahu bahwa saya saat ini belum bisa bertahan jika Bapak tidak ada. Tuhan tahu saya akan hancur berkeping-keping jika Bapak benar-benar kalah ketika berjuang melawan si virus sialan itu. Di mata Tuhan, saya masih kecil. Saya belum siap beranjak dewasa dan melalui hidup sendiri tanpa orangtua. Saya masih sangat cengeng dan sangat drama. Tidak apa-apa. Saya malah sangat berterima kasih. 

Mari kita jaga orang-orang tercinta kita. Mungkin, grafik Covid-19 ini sudah melandai. Namun, yuk jangan sampai kita lengah. Kita semakin menua, zaman pun semakin menua, hanya selalu bersyukur diberikan setiap detiknya untuk masih bisa bernafas dan bertemu orang-orang terkasih yang bisa membuat kita tetap waras. Sudah tidak ada waktu mengkhawatirkan masa depan, sekarang waktunya menikmati semua kenikmatan kesempatan bertemu dan bercengkerama dengan orang-orang terkasih. Tetap jaga kesehatan selalu!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka pungut-pungut kucing, Kuatnya cuma minum kopi susu.

CLOSE