Ngeluh Itu Saat Rindumu Tak Terbalas Mas, Bukan Saat Hujan Turun

Hujan


Tak jarang dari kita sering mendengar orang yang banyak mengeluh saat hujan turun.


Advertisement

Ini kenapa yah, hujan itu diartikan sebagai sebuah musibah dari Gusti Allah?

Padahal, hujan adalah berkah. Bagi seorang petani hujan di artikan sebagai pengharapan atas kesuburan tanamannya. Dimana ia menggantungkan harapannya hanya pada hujan.

Bagi seorang penyair, musim hujan adalah gairah untuk mengupas isi hati, mulai dari rindu, cinta, kebencian, bahkan dendam. Lewat sajak-sajak yang indah. Daripada kebanyakan ngeluh, Ya, ini memang berat. Tapi tak seberat para penyair yang merakit kata demi kata, untuk menjadi sebuah puisi. Coba bayangkan. Saat hujan turun. Barangkali bisa mengingatkanmu akan si dia, soal rindu yang tak terbalas mungkin, atau menghadirkan masa lalu dalam pelukan yang menghangatkan.

Memilih nostalgia itu sebenarnya adalah peristiwa yang menyakitkan, tapi sekaligus jadi salah satu solusi terbaik ketimbang ngeluh. Lagi pula ketenteraman hati itu adalah koentji. Siapa tau bisa mengekor Fiersa Besari, lewat pengalaman patah hati menjadikan dirinya sukses. Mungkin saja, salah satu faktor utama orang-orang sering ngeluh saat hujan turun. Bukan karena tidak ada kesadaran, tapi memang tak punya pikiran. Kalau kita tak pernah belajar berpikir, mana mungkin Sartre akan menemukan kalimat "Aku berpikir maka aku rindu."?

Advertisement

Tadi sore misalnya, saat saya pulang dari tempat memancing. Saya merasakan gerimis tiba di wajah saya dengan begitu syahdu, dan kemudian disusul dengan tetesan air yang begitu deras. Akhirnya saya memutuskan untuk singgah berteduh di depan warung, dengan beberapa kendaraan lainnya. Saat saya mulai melepaskan jepitan helm.

"Pemai lee, Kuda Cuki!"

Advertisement

Tiba-tiba terlontar seketika, dari belakang punggung saya. Pada saat itu saya sedang berboncengan dengan kawan saya. Memang sih, kawan saya yang satu ini terkenal kejam, kalau soal urusan maki memaki. Terutama dalam lingkup perteman kami. Wah wah wah, "Itu mulut atau helm bosku?" Kayak ndak punya SNI gitu yah.

Salah seorang pengendara lain, yang sama-sama ingin berteduh. Seketika melihat kawan saya dengan wajah yang kesal. Saya mengerti dia marah pada kawan saya. Tapi dengan inisiatif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Saya langsung menawarkan rokok padanya. Sebenarnya hidup di Sulawesi Tengah, Istilah yang digunakan untuk memaki yah, lumayan kasar. Jadi perlu dibarengi dengan sikap sabar menghadapi orang seperti ini. Kalau tidak, bisa-bisa justru membuat orang lain yang mendengarkan, ikut tersinggung karena ucapannya.

Kala itu saya sadar, kawan saya yang satu ini, kayaknya wajib diedukasi. Sebenarnya ini pertimbangan berat buat saya pribadi, antara memberi nasihat atau malah kena maki. Tapi saya kira tidak salah kalau saya menasihati teman saya yang satu ini. Kalau tidak, tetap begini. Kebanyakan bacot. Bukankah ada petuah bijak yang mengatakan. "Sebaik baik teman adalah yang memberi nasihat baik terhadap mantannya." Eh. Teman woy!

Percayai atau tidak, kita sering menjumpai tipe orang seperti ini. Di mana pun kaki di pijak. Tipe orang seperti ini, akan tetap ada dan abadi. Saya kemudian iseng bertanya pada kawan saya.

"Hujan itu sebenarnya musibah atau rahmat sih?"

Musibah boskuh, Katanya, "Perspektifnya tantang hujan harus disingkirkan. Jadi gini, saya kasih contoh. Kalau kamu petani, pada saat tanamanmu mulai mengering akibat kemarau panjang, lalu tiba-tiba hujan turun. Itu menurutmu masih musibah?

Ia tertawa ngenes, sambil cengengesan. Belum cukup lima detik, dengan muka datar ia mengatakan. "Tapi kan saya bukan petani." Iya tau. Tau kalau kamu memang keras kepala.

Sebagai kaum muslim yang barangkali masih kurang kafah, seharusnya, turunnya hujan itu di artikan sebagai rahmat, atau perbanyak berdoa. Bukan malah menjadikan hujan sebagai musibah. Ingat, yang menurunkan hujan ke Bumi itu Gusti Allah. Bukan mantan pacarmu.

Terakhir, yang tak kala penting ketika hujan adalah "puisi" dari Pak Sapardi. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikanmu tiada."

Saya membayangkan, puisi ini di tulis saat hujan turun. Sesuai dengan judulnya "Hujan Bulan Juni." Serta gambaran pelampiasan cinta yang tak terbalas, sangat kental dalam diksinya. Tapi tak sekental makianmu saat diputusin pacar juga sih.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE