Pandemi adalah Lintasan Maraton, Garis Akhir Pasti Kita Jumpai

pandemi terus berlanjut, kapan selesai?

Kata orang-orang, saat kita belum pernah positif covid-19 di masa pandemi ini, berarti kita adalah sosok yang beruntung. Saat kita tidak merasa stres karena keadaan, kita adalah sosok yang begitu yang hebat.

Namun, tidak masalah untuk merasa sedih, marah, tertekan, bahkan putus asa. Semua perasaan tersebut adalah valid. Merasakan emosi yang kita punyai adalah wajar dan mengingatkan bahwa kita adalah manusia.

Di rumah aja padahal kita sudah terlalu bosan dengan dinding kamar. Ditabatasi geraknya padahal kita membutuhkan pelukan hangat. Harus berjarak padahal kita butuh bercengkrama. Semua ini membuat kita kemudian paham bahwa keadaan sebelumnya adalah yang kita impikan untuk saat ini.

Aku Ingin Menyerah

Jika mengingat bagaimana bebasnya kita di tahun 2019 lalu, kita tahu bahwa mungkin saja hidup sekarang seperti penjara tanpa jeruji besi, tanpa sipir yang selalu mengawasi, tanpa makanan tak sedap. Ya… meskipun beberapa dari kita merasakan hal yang ketiga dikarenakan anosmia.

Dipecat karena perusahaan sudah mulai collapse. Dirumahkan karena perusahaan terlalu pelit memberikan pesangon akibat memecat karyawan. Tugas bertumpuk karena guru dan dosen juga bingung bagaimana pengajaran efektif melalui dari di kala pandemi ini. Susahnya mencari uang karena banyak orang yang juga kehilangan mata pencaharian.

Aku… ingin menyerah. Apakah boleh?

Tidak. Kamu tidak boleh menyerah. Kamu masih memiliki banyak sosok yang menyayangimu. Kamu masih ditunggu kabarmu oleh banyak orang di sekitarmu.

Mungkin, tidak apa-apa untuk memiliki pemikiran itu. Namun, pastikan hanya selintas lewat saja. Selebihnya, ayo berjuang lagi.

Kamu Tidak Sendiri

Bukan bermaksud membandingkan setiap nasib orang yang memang berbeda. Bukan bermaksud memberikan toxic positivity yang memuakkan. Buka pula bermaksud menggurui. Namun, di keadaan seperti ini, semua orang memang merasakan hal yang sama.

Mungkin kamu berpikir: orang sekaya Raffi Ahmad, apa yang dia pikirkan? Dia tidak bakal merasakan kelaparan di saat seperti ini. Presiden memang paham bagaimana rakyat kecil harus berjuang sekuat tenaga hanya untuk mendapatkan uang Rp20.000 per hari dan besoknya harus kembali pusing bagaimana caranya bertahan…

Masalahnya, kita berjalan di alas kaki masing-masing. Kita merasa susah karena alas kaki kita berlubang sehingga panasnya aspal terasa menembus kulit, bukan berarti mereka yang memakai sepatu bagus tidak kesusahan. Mungkin saja sepatu mereka terlalu berat. Mungkin saja tali sepatu mereka bisa lepas sewaktu-waktu lalu membuat mereka menginjaknya lalu jatuh terjerembab.

Yang perlu kita pahami, kita tidak sendiri

Kita di sini adalah sama keadaannya. Sama-sama terjebak di antara virus yang menyebar dengan cepat. Sama-sama harus bertahan dan membuat semua usaha ini tidak sia-sia.

Sebab Pandemi Ini adalah Lintasan Maraton

Pernah mendengar bahwa hidup adalah lintasan maraton bukan lari sprint? Nah, itu juga bisa kamu terapkan untuk situasi menyebalkan seperti sekarang.

Pandemi yang kita kira hanya akan bertahan dua minggu atau sebulan, ternyata masih bertahan hingga hampir setahun. Pandemi yang kita kira hanya berupa flu biasa, ternyata membuat banyak orang terkapar karena kesusahan menghirup oksigen sehingga membutuhkan bantuan medis.

Kita semua salah sangka. Kita kira, pandemi ini adalah lintasan lari sprint yang bisa lekas selesai jika kita berlari sekencang mungkin. Ternyata, ini adalah lintasan maraton. Panjang dan melelahkan. Namun, tentu saja memiliki ujung.

Kita Bisa Beristirahat Terlebih Dahulu

Pernah mengikuti acara lari maraton yang nanti di akhir, saat kita menyelesaikan jalur lintasan dan bertemu garis akhir, kita mendapatkan medali? Keadaan sekarang adalah demikian.

Sebagaimana acara lari maraton, lintasannya begitu panjang. Bedanya, kita tidak paham di sebelah mana dan kapan kita akan menjumpai garis akhir.

Yang perlu kita lakukan hanya bergerak, entah itu lari kencang, berjalan cepat, atau duduk dahulu untuk minum atau sekadar bernapas dengan santai.

Melelahkan sudah pasti. Namun, mungkin saja lelah kita ini akan diganti dengan senyuman cemerlang karena seseorang mengalungkan medali keberhasilan usai kita menyelesaikan lintasan? Kita tidak pernah tahu…

Orang di Samping Kita pun Kelelahan

Tidak sendiri adalah frasa yang harus kita ingat dalam keadaan seperti ini. Mungkin, sendiri adalah hal yang bisa kita pilih sewaktu-waktu untuk merasakan kehadiran diri ini secara utuh. Namun, kesepian tentu saja bukan pilihan.

Jangan merasa kesepian. Menolehkan ke samping, di sana juga ada sosok yang kelelahan seperti kita. Mungkin, melempar sedikit senyum bisa meredakan lelah satu sama lain. Berbagi satu-dua tetes air bisa saling meredakan haus masing-masing.

Dan itulah yang bisa kita rasakan dengan adanya pandemi. Kita bisa tahu bahwa masih banyak orang baik di dunia ini.

Membagi sedikit rezeki yang dimiliki banyak caranya.

Para musisi memanfaatkan keahliannya itu untuk menghibur sekaligus menggalang donasi. Tenaga medis memperluas sabarnya untuk menyembuhkan pasien covid-19. Pengusaha besar menyumbangkan sebagian hartanya untuk mereka yang pantas menerimanya.

Kita dan orang-orang di samping kita memang kelelahan. Namun, lelah tersebut bisa reda dengan saling menolong dan berbagi pun menemani… yang tentu saja dalam jarak.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang pengguna instagram @nisa.ms yang lebih memilih membuat kepsyen bagus saat mengunggah foto. Selalu berkicau hal kurang penting di Twitter-nya @nisa_ms_.