Perempuan Dibalik Belenggu Ketidakadilan

Berbicara tentang perempuan, tidak jauh dari istilah “kebutuhan”, seperti persyaratan pekerjaan dan persyaratan kedudukan. Wanita diharapkan bisa melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci dan membereskan rumah. Bagaimana jika Anda bersama mereka yang tidak pandai dalam pekerjaan rumah? Mereka pasti diejek masyarakat atau bahkan keluarga mereka. Jadi, apakah paradigma ini benar? Jika tidak, mengapa masih mengakar di benak masyarakat?

Advertisement

Perempuan seringkali menjadi objek masyarakat, meskipun mereka mampu melakukan ini dan memiliki persyaratan. Misalnya saat berdandan, mereka harus ditutup pada pakaian agar tidak menarik hasrat pria nakal. Nyatanya, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi, bahkan pada mereka yang berpakaian sopan.

Standar yang harus dipatuhi oleh perempuan dan perintah telah mempersempit ruang mereka untuk tumbuh. Bahkan, wanita sukses biasanya tidak disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Artinya, ketika pria sukses, biasanya ia mendapat pujian dari masyarakat atas mimpinya. Di sisi lain, wanita sukses sering diejek karena berpikir bahwa harus ambisius dan egois.

Tak hanya itu, kondisi fisik pun kerap digunakan untuk menekankan wanita lebih lemah dari pria. Sementara dari sisi psikologis, alasannya adalah laki-laki lebih cenderung menggunakan logika, sedangkan perempuan lebih cenderung menggunakan emosi. Selalu digunakan sebagai lampu kuning, terutama dalam politik.

Advertisement

Di negara tercinta kita, Indonesia, pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama. Setiap orang dilindungi oleh hak asasi manusia. Jadi, mengapa kesetaraan gender tidak pernah mencapai harapan? Jawabannya tentu saja karena stigma dan teladan di masyarakat. 

Padahal, di era kontemporer ini, perempuan lebih bebas memilih dan mengekspresikan diri. 

Tapi masalahnya adalah standar yang ditetapkan oleh masyarakat untuk perempuan. Standar-standar ini membuat perempuan merasa bahwa mereka masih benar-benar bebas, meski mereka masih terkekang.

Advertisement

Wanita bebas memilih pekerjaan yang mereka inginkan, tetapi persyaratan kecantikan biasanya menjadi kendala. Menurut saya itu adalah persyaratan untuk melamar pekerjaan di toko kosmetik atau bahkan toko biasa seperti supermarket. Saat merekrut pekerja perempuan, ada kalimat yang sering digunakan, yaitu ‘berpenampilan menarik’. Kalimat ini yang sebenarnya sangat menyayat hati, seolah-olah menegaskan bahwa memang ada wanita cantik dan jelek.

Ini berbeda dengan posisi perempuan yang bekerja di iklan TV atau media lain. Selain syarat memiliki wajah cantik dan menawan, juga perlu memberikan performa terbaik sesuai kebutuhan produsen. Inilah mengapa kita bisa menonton wanita bahagia di TV. Mereka juga kerap digambarkan sebagai wanita yang bisa mengasuh anaknya di tempat kerja dan dimana saja, dengan tetap menjaga penampilan.

Belum lagi tata krama. Memang sopan santun dan tingkah laku harus dijaga di negara kita, tapi kenapa hanya membutuhkan suara wanita yang lembut? Mengapa seorang wanita harus segera meyakinkannya ketika ingin mengekspresikan dirinya dengan tawa yang indah? Mengapa wanita menyediakan minuman untuk tamu? Mengapa laki-laki tampaknya bebas melakukan apa yang mereka inginkan seakan-akan tidak ada aturan dan tidak ada hukuman? Sekali lagi, ini semua karena stigma dan paradigma yang ada di masyarakat.

Majalah “Time" baru-baru ini merilis 100 orang paling berpengaruh di tahun 2020, salah satunya adalah para pionir. Pionir adalah seorang pelopor atau perintis jalan, artinya ia adalah orang pertama yang mengembangkan pendidikan tertentu. Jika Anda tidak dapat menggunakan struktur atau bentuk pemikiran yang berhubungan dengan pemikiran logis, Anda tidak dapat menjadi seorang pionir.

Dalam skala internasional, sekitar 13 dari 21 orang (kategori pionir) terbitan majalah Time adalah perempuan. Pikiran para pionir ini pasti akan berdampak positif bagi masyarakat, sehingga tidak ada lagi pandangan negatif tentang perempuan sukses. Paradigma feminin seharusnya tidak lebih menekankan pada perasaan daripada logika yang digunakan untuk menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Saat ini, kita harus mampu menafsirkan kesetaraan gender dan menempatkannya pada titik kritis untuk membebaskan perempuan dari belenggu ketidakadilan. Selain kewajiban laki-laki untuk membantu, kesadaran dan keinginan perempuan akan menjadi pendorong terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender yang diharapkan. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

hanya seorang mahasiswa

CLOSE