Perjalananku Menemukanmu Wahai Jodohku (Part 1)

Pernikahan merupakan impian semua wanita, termasuk saya. Perjalanan mencari jodoh saya mulai sejak tahun 2012 ketika saya akan segera lulus dari perguruan tinggi. Tidaklah mudah menemukan orang yang tepat, Tuhan mengirimkan saya kepada orang-orang yang salah sebelum mempertemukan saya dengan seseorang yang tepat.

Advertisement

Awal cerita dimulai ketika saya duduk di bangku kuliah, menjalin hubungan dengan mahasiswa dari jurusan lain tapi sefakultas. Saya seorang aktivis dan dia juga begitu. Disanalah awal mula percintaan tragis dimulai. Awalnya hubungan berjalan baik-baik saja, berjalan seperti mahasiswa pada umumnya. Namun 2 bulan berlalu dia mulai memperlihatkan sisi buruknya, kasarnya ia, egoisnya ia, dan perilaku yang tak mencerminkan seorang aktivis yang baik. Saya menemukan banyak perbedaan yang tak dapat dipersatukan lagi. Jalan bulan ke-3 saya memutuskan untuk putus dengannya namun tragedi lain terjadi, ayahnya meninggal dunia.

Saya tak bisa memutuskannya saat itu, ditambah lagi ibunya yang amat menyukai saya dan tak ingin saya berpisah dari anaknya. Hingga bulan ke-6 berlalu, dia semakin kasar dan semena-mena terhadap saya. Pukulan dan perilaku kasar sering ia lakukan ke saya. Bahkan dia tak ragu membentak saya di hadapan orang-orang. Ketika saya tak mau menuruti perintahnya. Saya sembunyikan semua sikapnya dari orang tua saya sendiri dan juga ibunya. Hingga saya merasa tertekan dan tidak tahu harus mengadu pada siapa. Ketika ada kesempatan untuk putus, dia selalu mengemis bahkan rela sujud di hadapan saya agar saya tidak pergi darinya. Dan tak jarang dia gunakan ibunya sebagai senjata mengajak saya balikan.

Dan pada suatu waktu saya mendapat kesempatan lain untuk bisa pergi dari hidupnya. Saya harus magang ke Jakarta selama 6 bulan. Saya manfaatkan moment ini untuk bisa terhindar darinya dan juga keluarganya yang selalu melakukan segala cara untuk membuat saya tidak pergi darinya dan keluarganya.

Advertisement

Hidup saya pun bebas darinya untuk sekian bulan hingga di waktu yang tepat saya putuskan dia via medsos. Karena saya tidak ingin mendengar makiannya yang tak segan-segan mengata-ngatai saya segala kata-kata kotor. Saat itu saya menyukai adik kelas saya di kampus satu jurusan. Ketika menjalin hubungan dengannya, saya sudah menyukai adik kelas saya namun tak bisa berbuat apa-apa. Komunikasi saya dengan adik kelas saya terjalin jarak jauh, ketika saya magang di Jakarta dan adik kelas saya di Padang. Intensitas komunikasi terjalin setiap waktu dan pada akhirnya saya menemukan tempat untuk mengadu. Terbongkarlah kejahatan pacar saya waktu itu. Dan saya meminta bantuan adik kelas saya untuk melindungi saya. Dan ternyata hubungan saya dengan adik kelas saya diketahui oleh mantan pacar saya, dia menemui adik kelas saya ingin melabrak. Ketika itu dihadapi dengan tenang oleh adik kelas saya dan dikatakannya terserah saya mau memilih siapa.

Dan tentu saja saya memilih adik kelas saya. Mantan pacar saya murka dan menemui saya ke Jakarta tapi saya tidak mau menemuinya. Akhirnya dia kembali ke Padang dengan harapan kosong. Hingga dua kali ia ke Jakarta saya tidak mau menemuinya. Dia memaki-maki saya karena jutaan uang sudah dia korbankan untuk bisa menemui saya, tapi saya tidak menghargai dan tidak mau menemuinya. Tentu saja tidak mau karena akan banyak doktrin yang akan dia berikan kepada saya untuk kembali padanya. Jadi hubungan yang dilalui karena doktrin itu tidak akan berlangsung lama. Dia tipe orang yang harus mendapatkan segala yang dia mau, tapi sayangnya, saya tidak bisa diperlakukan seperti itu.

Advertisement

Hubungan saya dengan adik kelas saya semakin hari semakin dekat, tanpa kami sadari kami saling merindukan. Dan ketika saya selesai melaksanakan magang, pulang ke Padang untuk melanjutkan kuliah adalah hal yang saya tunggu-tunggu sejak di Jakarta karena ada seseorang yang menanti saya, pujaan hati yang telah lama disuka. Hingga sampai saya menyelesaikan skripsi dan tugas akhir pun adik kelas saya yang banyak membantu untuk kelulusan saya.

Ketika saya wisuda, saya harus berpisah dengannya, saya kembali ke Jakarta karena panggilan pekerjaan. Sejak saat itu hubungan saya dan adik kelas saya mulai merenggang, terlebih lagi ketika dia harus menjalani magang di Bandung. Kesibukan membuatnya melupakan saya dan akhirnya kami berpisah. Sempat beberapa kali putus nyambung dan akhirnya benar-benar berpisah. Di situlah keterpurukan saya bermula.

Saya takut diteror oleh mantan saya ketika dia tahu bahwa saya putus dengna adik kelas saya. Dan ternyata memang saya diteror kembali. Semua medsos dan segala akses yang berhubungan dengan mantan saya, saya blokir hingga hari ini hidup saya tenang.

Tahun 2014 saya sadar bahwa saya terlalu mencintai adik kelas saya berlebihan. Beberapa kali saya mencoba untuk kembali kepadanya tapi tidak bisa. Bertahun-tahun saya tidak move on karenanya. Ternyata Allah menegur saya melaluinya, bahwa kita tidak boleh mencintai orang lain terlalu berlebihan. Dan setelah saya intropeksi diri, saya sering meninggalkan kewajiban saya kepada sang pencipta karena terlalu asyik bersama adik kelas saya.

Dan rupanya Allah sedang marah pada saya, Allah menginginkan saya kembali dan bertaubat. Hingga akhir tahun 2014 saya tak juga move on. Untuk pertama kalinya saya sujud tersungkur di hadapan Illahi Robbi menangisi betapa sakitnya patah hati. Sepanjang tahun 2013-2014 saya tak berhenti memikirkannya. Berkali-kali menghubunginya tapi apalah daya, kita tidak bisa bersama. Setelah saya pikir kembali ternyata waktu itu saya pernah bertanya padanya, "Hubungan kita ini mau dibawa kemana?" Saat itu dia marah pada saya untuk pertama kalinya. Dia katakan kuliahnya saja belum selesai, adiknya juga baru saja masuk kuliah, dia mau menyekolahkan adiknya dulu, mau membahagiakan ibunya dulu, cita-citanya masih panjang dan menikah tidak ada dalam bayangannya hingga 5 tahun ke depan.

Saat itu saya terdiam dan merasa hancur. Saya pikir dialah jodoh saya, dialah yang bisa menerima saya apa adanya, dialah yang paling mengerti saya, ternyata tidak. Bayangan saya bisa menikah dengannya dihancurkannya dengan mudah. Usia saya saat itu 23 tahun. Menunggunya 5 tahun lagi usia saya sudah 28 tahun, apa saya sanggup? Ternyata saya tak pernah ada dalam masa depannya. Sakit sekali yang saya rasakan saat itu. Bahkan dia katakan pada saya akan menikah di usia 30 tahun. Usia kita sama hanya berbeda bulan lahir saja. Apakah saya akan sanggup menunggu selama itu. Jikapun saya tunggu jika bukan dia jodoh saya apakah saya mampu? Saya terpuruk sekali saat itu. Saya merasa bisa menerima segala kekurangannya ternyata dia tidak seperti saya.

Sepanjang ahun 2014 keterpurukan saya semakin menjadi-jadi, badan kurus tinggal tulang, ditambah lagi divonis dokter terkena tumor payudara. Karena ujian itu saya sering sujud tersungkur ketika shalat memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya mulai mengubah diri dan intropeksi diri, ikut kegiatan sosial untuk mengobati luka hati, belajar ilmu agama terutama sedekah.

Saya datang ke sebuah rumah asuh anak-anak yatim dan dhuafa untuk meyibukkan diri. Dan suatu ketika pengasuh rumah asuh itu menyapa saya dan membawa saya ke sebuah ruangan untuk meluapkan segala ganjal di hati. Entah bagaimana pula dia bisa membaca pikiran saya. Padahal di awal kedatangan saya ke sana saya tidak menunjukkan kegelisahan saya. Tapi mungkin karena beliau adalah penasihat rumah tangga, beliau paham tatapan mata seseorang. Dimulai dari sanalah saya mulai memperbaiki diri.

Akhir tahun 2014 saya jatuh hati pada relawan disana. Hingga saya memberanikan diri mengungkapkan kesukaan saya padanya dan ingin menikah dengannya. Ternyata saya ditolak mentah-mentah kerena beliau tidak mengenal saya. Hancur kembali hati saya saat itu. Kesalahan yang saya lakukan adalah mungkin saya terlalu berani. Mungkin karena umur sudah menginjak usia 24 tahun dan belum move on. Tidak tahan dengan segala kondisi hati saya, akhirnya saya memutuskan untuk pulang kampung ke Jambi, ke rumah orang tua saya.

Di Jambi saya bekerja dan hidup bersama orang tua saya, pelan-pelan ada lagi yang mendekati saya di awal 2015. Seorang dosen S3 lulusan luar negeri yang juga berprofesi sebagai PNS di kabupaten, beliau sudah cukup berumur. Beliau mengajak saya menikah. Antara senang dan tidak senang saya mengiyakan saja. Saya katakan kalau memang mau serius silahkan temui orang tua saya saja. Saya tidak senang karena saya belum move on dari adik kelas saya, dan beliau terlalu tua.

Saya senang karena ada yang mengajak menikah dan memang pernikahanlah yang saya inginkan selama ini. Tiga minggu berlalu, dosen ini tak pernah lagi menghubungi saya sejak mengatakan mengajak menikah. Ketika datang ke rumah, dia datang bukan untuk menemui orang tua saya, malah mengatakan kalau dia tidak menyukai saya dan mengajak menikah kemarin karena mencoba saja, katanya ternyata tidak bisa mencintai saya. Betapa hancur hati saya saat itu, saya sudah mengatakan pada orang tua saya kalo saya akan dilamar tapi ternyata itu bohong saja. Kesedihan saya bukannya sembuh malah menjadi-jadi. Meskipun tidak menyukainya, yang saya sesalkan mengapa dia bisa semena-mena terhadap saya?

Mengapa tak saya tolak saja waktu itu? Saya mengadu kepada Allah, ternyata memang dia bukan orang baik. Selang beberapa minggu kemudian dia menikah dengan pilihan orang tuanya, seorang mahasiswa keperawatan yang belum wisuda. Lebih muda pula dari saya. Saya tak menyesal, hanya merasa kasihan saja dengan wanita itu padahal masih kuliah. Beberapa bulan setelah dia menikah saya mulai mendengar keburukan-keburukannya dari teman-teman bahwa ternyata sekolahnya saya yang di luar negeri, ternyata pola pikirnya masih pola pikir koruptor. Saya bersyukur kepada Allah tidak menjadi jodohnya.

Masih di awal 2015, pengasuh rumah asuh di Jakarta tempat saya berkegiatan sosial dulu mengirimkan CV seorang duda beranak 1. Sebenarnya berat hati menerimanya tapi saya mencoba membaca CV nya dulu karena merasa tak enak dengan pengasuh rumah asuh ini. Duda tersebut seorang petani dengan latar belakang bercerai dan memiliki seorang anak yang duduk di bangku kelas 1 SD. Latar belakang saya teknik yang sangat jauh berbeda dari latar belakang beliau. Usianya saat itu 41 tahun dan usia saya 24 tahun. Sudah jelas orang tua saya tidak setuju. Akhirnya saya menolak duda itu. Dan selang beberapa bulan kemudian saya dengar beliau kembali pada mantan istrinya.

Di pertengahan 2015 saya jatuh hati lagi pada seorang pengusaha meubel di Kota Jambi. Beliau tamatan Padang hanya saja beda universitas dengan saya. Saat itu ada project yang melibatkan beliau dengan saya. Saya sering menghubunginya, sering ngobrol dengannya, dan sering bertemu dengannya dengan bantuan teman sekantor. Mungkin saya terlalu baper saat itu, selang beberapa bulan setelah kedekatan saya dengannya, ternyata dia katakan pada teman saya bahwa dia tidak menyukai saya, tapi menyukai teman sekantor saya. Dari segi fisik teman sekantor saya sangat cantik, banyak yang menyukai, dan shalehah. Ketika saya bercermin, ternyata saya tidak cantik dan jauh berbeda dengan teman sekantor saya. Hancur lagi hati saya untuk kesekian kali. Ditolak karena tidak cantik. Akhir 2015 saya benar-benar hijrah menjadi wanita muslimah syar'i, ikut kegiatan sosial yang banyak memberikan pengetahuan agama. Saya belajar agama sambil mencari jodoh.

Awal 2016 ujian lain datang. Saya dikhianati bos di kantor. Uang saya tidak dibayar dan saya dipecat. Bahkan sampai saya hanya memegang uang Rp 50.000,- selama sebulan. Stres benar-benar melanda saya saat itu. Tapi entah mengapa cukup saja. Di sana Allah benar-benar ingin saya dekat denganNya. Sekitar Bulan Mei teman komunitas saya mentaarufkan saya dengan seorang pegawai bank yang sedang hijrah. Awalnya saya tidak tertarik karena bank berhubungan dengan riba, tapi teman saya membujuk saya karena pegawai bank itu berniat tidak akan lama lagi berada di bank itu. Akhirnya taaruf berjalan selama sebulan. Sampai pada akhirnya tibalah waktu untuk bertemu. Kami bertemu di sebuah cafe bersama temen yang mentaarufkan. Ketika ditanya perihal CV, saya dan pegawai bank itu merasa cocok dan teman yang mentaarufkan saya mengatakan agar pegawai bank itu segera menemui orang tua saya.

Seminggu berlalu ternyata datang kabar bahwa pegawai bank itu rupanya belum siap untuk meminang saya. Dalam hati saya bertanya mengapa mengajak taaruf jika tak siap? Dia mengatakan bahwa tidak bisa melanjutkan taaruf itu tanpa ada alasan. Dan saya jawab singkat saja, "iya tidak apa-apa." Dengan rasa yang sedikit kecewa saya laporkan itu kepada teman saya yang menjadi perantara taaruf saya dengan pegawai bank itu. Teman saya yang menjadi perantara pun kecewa karena sikap pegawai bank ini karena tidak memberikan alasan jelas. Intinya membatalkan sepihak saja. Saya yang sudah memberi tahu orang tua bahwa akan ada yang datang melamar juga membuat orang tua kecewa karena sikapnya.

Sekitar Bulan Mei 2016, saya ikut kegiatan Kelas Inpirasi di Jambi. Di sana saya bertemu dengan seorang relawan asal Jambi dari Bandung. Dia lulusan teknik ITB. Awal kedekatan adalah karena berkumpul bersama relawan lain dan melakukan banyak kegiatan sosial bersama relawan lain. Suatu ketika dia mengungkapkan perasaannya kepada saya, usianya lebih muda dari saya 2 tahun. Ketika itu saya jawab bahwa saya tidak lagi ada waktu untuk pacaran, saya baru hijrah dan jika memang serius temuilah orang tua saya. Demi menunjukkan keseriusannya, waktu itu lebaran, dia benar-benar menemui orang tua saya dan menyatakannya niatnya untuk menikahi saya, tapi ada yang janggal, dia minta waktu 1 tahun lagi untuk mengumpulkan modal. Padahal saya sama sekali tidak meminta dilamar dengan uang yang banyak dan hanya meminta pernikahan yang sederhana saja. Tapi dia tidak mau. Dia ingin pesta pernikahan yang mewah. Saya terus berpikir, 1 tahun itu terlalu lama dan belum pasti. Dia juga membawa saya menemui orang tuanya.

Setelah bertemu dengan orang tua kami masing-masing, dia mambawa saya ke suatu cafe. Di cafe itu dia katakan bahwa dia belum ingin menikah, dia ingin melihat semua mantannya menikah dulu barulah dia menikah, dia katakan bahwa usianya terlalu muda untuk menikah cepat, dia katakan bahwa cita-citanya masih panjang dan menikah hanya akan menjadi halangan untuk cita-citanya itu, dia katakan bahwa orang tuanya tak sama dengan orang tua saya yang sederhana, orang tuanya punya style tinggi dan ingin pesta mewah, dia katakan bahwa saya harus mengumpulkan uang 50 juta sendiri kalo memang mau menikah, kalo tidak bisa mengumpulkan uang itu, kita tidak jadi menikah. Saya terdiam dan merasa seperti dipermainkan. Lalu saya tanya, "Jika belum siap menikah mengapa berani menemui orang tua saya?" Dengan santainya dia menjawab, "Kan hanya mencoba.."

Setelah hari itu saya terus berpikir bahwa pernikahan ini saya ragu akan terjadi. Dia terus tarik ulur terhadap saya hingga membuat saya bingung dan marah. Suatu ketika saya menghubunginya menanyakan dia dimana karena biasanya juga dia bertanya begitu pada saya. Tiba-tiba saya dimaki-maki dan tidak suka dengan saya yang suka ingin tau urusannya. Sakit sekali hati saya saat itu. Dia membuat keadaan seolah-olah saya yang salah. Saya dengar pula dia membicarakan saya dengan teman saya bahwa dia tidak benar-benar serius dan ternyata saya hanya taruhan saja. Saya tanyakan dengan temannya yang lain apakah itu benar, ternyata itu benar dan teman saya benar-benmar minta maaf. Akhirnya karena tak tahan dengan itu, saya katakan dengan tegas padanya untuk jangan lagi menghubungi saya. Sejak saat itulah hubungan itu tidak pernah lagi terjadi. Medsos saya diblokir semua dan semua grup yang ada saya , tidak lagi dia gubris. Berbeda sekali dengan ketika dia mendekati saya. Tampaklah jelas bahwa selama ini yang dia lakukan hanyalah untuk menarik simpati saya saja. Untuk kesekian kalinya saya hancur dan patah hati patah hati. Orang tua saya amat marah.

Akhir 2016 saya taaruf lagi dengan kakak kelas saya di kampus. Ternyata beliau adalah anak dari teman ayah saya ketika dinas di kabupaten. Taaruf itu dibantu oleh teman saya di kantor baru saya. 3 bulan berlalu tak ada jawaban dari kakak kelas saya itu. Berkali-kali saya tanyakan kepastian, beliau selalu menjawab belum dapat jawaban. Umur saya sudah 26 tahun dan tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Akhirnya saya yang membuat keputusan, saya katakan jika memang dia takut menolak saya, takut saya tersakiti, biarlah saya saja yang membuat keputusan. Dan akhirnya saya putuskan untuk menghentikan taaruf itu.

Hingga sampailah Januari 2017, saya benar-benar pasrah. Saya fokus ke hal lain. Saya rencanakan studi S2 saya, belajar TOEFL untuk syarat mendapatkan beasiswa, mulai mencari kampus tujuan dalam negeri dan luar negeri. Saya berpikir mungkin jodoh saya masih jauh dan tidak ada di Jambi, mungkin ada di luar pulau sana, apa salahnya saya sekolah sambil ikhtiar mencari jodoh. Pagi dan malam saya persiapkan diri saya belajar TOEFL. Doa-doa saya yang detail kepada Allah, saya ringkas seringkas-ringkasnya. Kalau dulu saya meminta jodoh yang begini begitu, tahun 2017 saya hanya meminta jodoh yang terbaik menurut Allah saya.

Mungkin Allah hendak menghibur saya awal tahun 2017 ini, saya bersama teman-teman kantor mendapat jatah liburan ke Jogja selama 4 hari. Saya senang sekali bisa ke Jogja karena beberapa bulan sebelumnya saya kenal dengan seseorang mahasiswa S2 di Jogja yang sedang mencari istri. Beliau sering menanyakan saya pada teman saya di Jogja dan ingin dekat dengan saya. Ketika liburan itu, sempat pula saya bertemu dengannya berbincang-bincang sebentar. Bahkan beliau pula yang mengantar saya ke bandara ketika hendak pulang ke Jambi. Meskipyun hanya sebentar, saya cukup senang karena merasa Allah memberi kesempatan. Mungkin karena itulah saya ingin kuliah di Jogja.

Ketika pulang ke Jambi setelah liburan, saya dikenalkan pula dengan seorang teman di Kelas Inspirasi dulu bahwa ada guru musiknya yang ingin mengenal saya lebih jauh. Katanya beliau sudah tahu saya sejak lama, hanya saya saja yang belum mengenalnya. Usut punya usut ternyata beliau adalah seseorang yang hendak ditaarufkan dengan saya oleh teman saya yang pernah mentaarufkan saya dengan pegawai bank dulu. Karena gagal dengan pegawai bank itu, teman saya mencarikan temannya yang lain yang bisa ditaarufkan dengan saya.

Pada waktu ditawarkan dulu guru musik ini belum siap namun sudah kepo instagram saya sejak 8 bulan lalu. Ketika beliau mulai siap, beliau kehilangan kontak dengan teman saya yang berniat mentaarufkan ini. Allah tak pernah kehabisan cara untuk mempertemukan manusia dengan jodohnya. Tidak lewat teman saya yang mentaarufkan dulu, lewat teman di Klas Inspirasi dulu.

Awal kedekatan kami dimulai dari komunikasi via BBM. Bukan tidak mau taaruf seperti proses sebelumnya, tapi karena memang keadaan dan kondisi yang kurang siap untuk mentaarufkan kami lewat prosedur islami. Komunikasi awalnya seperti perkenalan pada umumnya. Entah mengapa saya merasa klik dengan beliau. Akhirnya kami membicarakan tentang pernikahan. Sebelum merasa baper seperti sebelumnya, saya yang sudah terlalu sering gagal memberanikan diri bertanya di suatu moment saya bertanya kepada guru musik ini, "Ada tujuan apa sebenarnya menghubungi saya?" Dia pun menjawab, "Sebenernya cuma ingin berteman, kalo dikatakan ingin ngajak nikah nanti mbaknya malah ilfil…" Saya jawab lagi, "Kalau saya ajak nikah bulan depan mau nggak?" Saya tidak tau mengapa saya seberani itu. Jika jawabannya bertele-tele, saya berniat meninggalkannya saat itu juga. Saya sudah terlalu seing merasakan sakit, dan tidak mau lagi merasakannya untuk yang kesekian kali. Meskipun saya bertanya seperti itu, tapi saya sudah mempersiapkan diri dengan ekspektasi kalau dia akan menjawab bertele-tele.

Dan tahukah apa jawabannya? Dia menjawab, " Ya Allah, rezeki kok cepat sekali datangnya?" Di luar dugaan saya rupanya. Dan akhirnya kami pun bertemu, dia datang ke rumah saya dan bicara pada orang tua saya tentang niatnya. Sebulan kemudian kami pun menikah. Dengan akad yang sederhana di masjid, mengundang sahabat-sahabat dekat dan keluarga. Dan itu sudah cukup membuat saya merasa bahagia. Begitu mudahnya Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya. Ketika Allah telah berkehendak, maka cukup "Kun Fayakun… "

Allah ingin memberi hadiah atas perjalanan saya yang begitu panjang menemukan jodoh. Berkat ridho allah, do'a, dan juga usaha, Allah berikan saya suami yang lebih baik dari orang-orang yang datang sebelumnya. Alhamdulillah

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE