Review Bumi Manusia: Bahwa Cinta Tidak Mengenal Kasta dan Status Sosial

Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya, orang harus berani menghadapi akibatnya.

Bumi Manusia ramai diperbincangkan khalayak ramai akhir-akhir ini. Setelah buku karya Pramoedya Ananta Toer itu sempat dilarang penerbitannya pada masa orde baru, kini Hanung Bramantyo mengenalkan kembali Bumi Manusia melalui medium baru tidak lain melalui sebuah film layar lebar. Buku yang saat itu dilarang, kini menjadi primadona. 

Sempat diperbincangkan karena pemilihan aktor dan aktris nya yang dianggap terlalu mengikuti pasar Hanung tetap kekeuh dengan pilihannya. Iqbal Ramadhan di dapuk menjadi Minke, Mawar Van De Jogh menjadi Annelis dan Nyai Ontosoroh diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Iqbaal Ramadhan dianggap terlalu premature memerankan sosok Minke di mana masih ada aktor sekelas Reza Rahardian dan lain sebagainya. Namun, Hanung Bramantyo selalu pandai mengenali emosi tiap pemeran yang dipilihnya. Dan memang pilihannya tidak salah, setelah film di tayangkan 15 Agustus 2019 tiada habisnya film ini menuai pujian.

Dimulai dari backsound sederhana tapi sangat khidmad dan sakral, suara Iwan Fals menyanyikan sepenggal lagu ‘ibu pertiwi’ mampu membuka film ini dengan mantap disambung monolog berbahasa Belanda seorang Minke dan putaran arsip asli masa kolonial menambah kesan yang mendalam dalam pembukaan film ini. Pemilihan kata dan keindahan diksi tidak luput dari perhatian Hanung sepanjang film. Kalimat tiap dialog mengena, ekspresinya mendalam. Ia mampu menggambarkan dengan jelas sekat-sekat antara pribumi, Indo dan Belanda, bagaimana kasta rasial sangat mempengaruhi kehidupan seseorang saat itu.

Meski benang merah berfokus pada kisah cinta antara Minke dan Annelis. polemik yang di alami tiap peran juga tidak luput dari perhatian Hanung Bramantyo. Keresahan seorang Minke sebagai kasta terendah sekaligus anak seorang bupati yang mencintai Annelise seorang indo keturunan gundik. Gambaran perjuangan Nyai Ontosoroh dan masa lalunya yang membentuk dirinya saat ini juga digambarkan dalam film ini meski dengan porsi yang tidak terlalu banyak. 

Minke saat  itu di ajak sahabatnya Robert Suurhorf yang berkunjung ke rumah teman dekat suurhorf, Robbert Mellema. Di situ menjadi gerbang perkenalan antara Minke dan adik Robert Mellema, Annelis Mellema, cinta sejati Minke. Minke jatuh hati di pertemuan  pertama, pribadi Annelis yang berbeda dengan rata-rata keturunan indo. Ia lebih mencintai darah pribumi di tubuhnya daripada darah eropa sang ayah.

Problema kisah cinta beda kasta diiringi problema tiap individu saling bertautan membuat film ini semakin terasa kepedihannya. Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya, orang harus berani menghadapi akibatnya.

Annelies menemukan dunia baru dalam diri Minke. Kepulangan Minke dari rumahnya untuk kembali bersekolah di HBS cukup memukul perasaannya. Tak tega dengan sang anak Nyai Ontosoroh menghubungi Minke agar kembali berkunjung ke rumah keluarga Mellema. Keunikan disini adalah perpaduan antara Minke seorang pribumi idealis yang cerdas bertemu dengan Annelis yang kekanakan dan lugu menjadikan kisah cinta beda kasta ini berbeda dengan kisah cinta lainnya.

Perkenalan Minke dengan Nyai Ontosoroh juga cukup menarik untuk di bahas. Dimana pertemuan pertamanya dengan seorang ‘nyai’ mampu mengubah seluruh persepsinya tentang pribumi-indo-belanda. juga pemikirannya terhadap dunia eropa dan pribumi. Annelis dan problema keluarga Mellema menjadi dunia sekaligus tantangan baru bagi seorang Minke.

Setelah pernikahannya dengan Annelise dan kematian Herman Mellema konflik mulai datang silih berganti. Mulai dari tudingan kepada nyai atas kematian sang suami kemudian anak kandung istri pertama herman Mellema yang tiba-tiba mengajukan surat ke pengadilan eropa untuk mengakuisisi kekayaan keluarga Mellema. Konflik-konflik yang pada akhirnya mampu membangkitkan ketegangan di film ini mengimbangi romantisme antara Minke dan Annelis sendiri. 

Karakter Minke sebagai pribumi cerdas dengan idealisme yang tinggi diperkuat dengan berbagai konflik yang ia alami bersama keluarga Mellema juga Peran Nyai Ontosoroh sebagai perempuan pribumi yang juga cerdas dan berprinsip juga digambarkan dengan gamblang di tiap adegan dalam konflik tersebut. 

Akhir cerita juga mampu membuat penonton bergeleng-geleng dan tidak sedikit yang menteskan air mata. Ketika hari dimana ia harus dibawa dan tinggal di belanda sikap Annelis yang biasanya kekanakan dan polos tiba-tiba menjadi Annelies yang sangat dewasa dengan dialog, gestur dan ekspresi yang dingin, tegas dan rapuh ketika ia berusaha tegar di hadapan Minke dan ibunya yang sudah mempejuangkan agar mereka dapat hidup bersama. situasi saat itu mejadi titik yang cukup mengharukan. Disusul dengan dialog Nyai Ontosoroh dan Minke yang menjadi ‘gong’ di penutup film berdurasi 3 jam ini.

Film ini menarik karena mampu membawa karya legendaris Pramoedya Ananta Toer dengan sangat ringan. Meskipun ia harus merelakan cerita-cerita tiap tokoh yang tidak kalah menarik dan berfokus pada kisah cinta Minke dan Annelis. Hanung juga berhasil memperkenalkan  Bumi Manusia  ini ke segmentasi yang lebih luas lagi terutama pada millenial melalui medium film ini, hal ini patut diapresiasi.  

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Perempuan dan sedang belajar menulis apa saja.