Review Filosofi Kopi 2: FTV yang Masuk Bioskop (?)

Saya menjadi salah seorang yang beruntung karena bisa menikmati film sekuel kedua Filosofi Kopi 2 : Ben dan Jodi lebih awal. Apalagi, saya berkesempatan untuk menontonnya di salah satu lokasi syuting film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko yang berkolaborasi dengan Anggia Kharisma itu.

Advertisement

Tak bisa dipungkiri, film-film Indonesia yang diangkat dari novel sedikit banyaknya memang sangat berpengaruh ke kehidupan masyarakat kekinian. Film filosofi kopi pada awal kemunculannya membuat minat anak muda pada seni meracik kopi meningkat. Kedai-kedai kopi lahir sebagai solusi untuk remaja-remaja ini menghabiskan waktu, memesan secangkir espresso, lalu mengunggahnya ke instagram dengan caption fenomenal "Kopi tetaplah kopi yang punya sisi pahit yang tidak mungkin bisa disembunyikan" atau "hidup ini indah begini adanya" lalu diikuti hashtag yang lebih panjang dari caption sambil membatin "kopi bayar mahal-mahal kok isinya cuma seteguk".

Film ini kemudian lambat laun menggerus ramainya caption foto "mimpimu biar ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening" khas 5 Cm yang pernah membuat gunung-gunung di Indonesia dipenuhi oleh banyak pendaki pemula dengan embel-embel pencinta alam namun hanya justru merusak alam dengan aksi vandal.

Oke, kembali lagi ke Filosofi Kopi, hanya butuh waktu kurang dari dua tahun untuk Visinema kembali memproduksi film yang mengangkat cerita tentang seorang barista ini. Sayembara #ngeracikcerita digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan cerita-cerita dari pembaca novel maupun penonton yang mengangkat judul yang sama tersebut

Advertisement

Dibanding cerita sebelumnya, sekuel kedua Filosofi kopi ini justru seperti mengubah gaya cerita khas filosofi kopi yang dibangun Dewi Lestari lewat novelnya yang fenomenal dan menembus cetak ulang sampai 20 kali itu. Ingin memberi warna baru, film ini justru hanya mirip seperti film FTV kejar tayang.

Kalau kamu menginginkan alur cerita yang memberikan edukasi tentang jenis kopi, perawatan kopi sampai dengan dinamika kehidupan seorang barista secara detail seperti pada sekuel pertama maka siap-siap untuk kecewa karena film ini hanya akan memanfaatkan kopi sebagai cameo, fokus cerita akan berada pada kisah asmara segi lima Ben, Jodi, Tarra, Brie, dan Mesin Espresso kesayangan Ben.

Advertisement

1. Plot Drama FTV

Kisah yang berawal dari benci lalu kemudian menimbulkan cinta ala FTV kejar tayang benar benar divisualisasikan di sepanjang film, endingnya bahkan sudah bisa tertebak di pertengehan Film. Dialog yang dibangun antara pemeran pun terkesan seadanya. Sangat berbeda dibanding di sekuel pertamanya yang mengutip banyak kalimat indah di novel yang ditulis Dewi Lestari dan dihadirkan lewat cangkir-cangkir kopi yang dibuat Ben.

Selain itu, cerita tentang kopi sangat dangkal dan cenderung hanya pelengkap saja. Bahkan cerita Tiwus yang "dirawat seperti anak sendiri" seakan hanya diceritakan kembali saat scene kebun kopi di Yogjakarta tanpa adanya improvisasi sama sekali.

Karakter ayah dari Tarra pun tak pernah dimunculkan. Padahal, peran ayah Tarra dalam membuat konflik antara Ben, Jodi dan Tarra sangatlah penting.

Tak lagi fokus pada kopi saya kira dilakukan sutradara untuk bermain aman karena ingin mencakup segmen penonton yang lebih banyak. Padahal bermain on the box ala FTV justru membuat karakter filosofi yang dibangun Dewi Lestari memudar.

Saya bisa melihat wajah penuh tanda tanya komunitas barista yang ikut nonton bareng di studio yang sama dengan saya yang saat itu bertanya-tanya "selesai mi?" yang berarti "sudah selesai?" dalam bahasa Indonesia

Sentuhan khas Dewi Lestari sangat tidak dapat dirasakan di film ini.

2. Gagal Memanfaatkan Lokasi Syuting

Ekspektasi saya tentang film ini sebenarnya cukup tinggi setelah membaca sejumlah berita yang menyebut jika film ini dibuat di Jakarta, Bali, Yogjakarta, Makassar dan Toraja. Untuk dua lokasi yang saya sebutkan terakhir benar-benar tak dimanfaatkan dalam jalan cerita dan hanya terkesan sebagai pelengkap saja. Padahal jika dimanfaatkan dengan baik, Makasssar dan Toraja bisa lebih kembali dieksplor mengingat Toraja sebagai penghasil kopi yang telah diakui secara internasional dan Makassar yang budaya masyarakatnya yang tak terlepas dengan kopi.

3. Kualitas Sinematografi Super Keren

Satu hal yang membuat saya tetap terhibur selama pertunjukan berlangsung selain gaya bercanda memaki seperti berandalan khas Ben dan Jodi yang membuat penonton tertawa adalah kualitas sinematografi yang sangat mumpuni. Keindahan alam lokasi syuting Filosofi kopi 2 di Toraja betul-betul diabadikan dengan baik dan dipadupadankan dengan tone warna yang memanjakan mata sepanjang film berlangsung.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya saya tetap menyarankan anda untuk menonton film ini sebagai bentuk apresiasi terhadap sineas tanah air.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka pahit kopi, gurih kentang goreng, dan manis senyummu

8 Comments

  1. Welp, saya setuju.
    Rada kecewa sih dengan seri 2nya, padahal jarang” saya nonton premier film indo.
    Kualitas filmnya jauh dari yang pertama, ku kira konfliknya jauh lebih kompleks.
    CInta-cintaan bolehlah, cuman sebagai pemanis saja. Kali ini beneran jadi FTV Orz

    Sinematografinya memang jempolan, salut.

  2. Pasca H. Winanda berkata:

    Naskah yg ga kuat, lebih mirip ftv, plot yg tidak terjalin dng baik, dan penggalian konflik yg kurang maksimal sehingga terkesan dangkal adalah kekurangan terbesar dr film ini. Sy juga terganggu dgn pemilihan musik yg ga pas dengan scene yg ada. Banyak scene yg sebenernya ga perlu diiringi lagu2, karena jadinya roh dr scene tsb hilang. Tema yg ditawarkan film ini mirip dgn film pertama sehingga mudah ditebak alur ceritanya. Overall tidak ada yg baru dr film ini, malah jauh menurun kualitasnya dr film pertama.

CLOSE