Suka Duka Menjadi Mahasiswa Baru, Capek Sih tapi Harus Tetap Kuat!

Pahit manisnya dunia kampus tanpa sadar membawaku menjadi wanita dewasa independen dengan pikiran terbuka.

Tahun pertama perkuliahan baru saja dimulai. Aku sama sekali belum pernah berada di posisi yang sama sekali baru bagiku. Tempat ini begitu asing ditambah lagi aku berada jauh dari rumah. Aku juga menjumpai orang-orang baru yang jauh berbeda denganku. Bahasa dan ciri khas kami berlainan namun sangat identik. Selamat datang dunia baruku.

Advertisement

Satu hal yang membuat kami sama yaitu seragam hitam putih yang kami kenakan. Pakaian disertrika rapi, sepatu bersih, serta jas almamater kebanggaan universitas di kotaku. Sempurna. Kami bahkan berbaris rapi seperti masih kanak-kanak dulu.

Memasuki kuliah perdana kenyataan menamparku keras. Ternyata kuliah tak seindah apa yang sering aku lihat film. Hanya datang duduk dalam kelas, bercanda bersama teman-teman, ngumpul di kantin, pacaran di pelataran kampus. Tentu saja hal tersebut langsung membuatku patah semangat. Penyakit mag juga terus membayangiku karena tidak pandai mengatur waktu senggangku.

Mulailah aku merasa rendah diri. Aku yang dulunya selalu dengan mudah mendapatkan teman dan pujian dari guru mendapati banyak teman sejawatku yang jauh lebih cerdas dan bertalenta. Semua mahasiswa baru membentuk kelompoknya masing-masing. Dosen yang sangat berbeda dengan guru di sekolah semakin mengacaukan ekspetasiku.

Advertisement

Jika waktu pengenalan lingkungan kampus kami berpakaian seragam namun semuanya hilang ketika memasuki proses perkuliahan. Tidak ada lagi seragam Hitam-Putih yang ada hanyalah pakaian yang menunjukkan tingkat sosial seseorang dalam masyarakat.

Seolah berteriak, "Hei! Liat baju gue yang bakalan susah Lo beli sekalipun nangis darah."

Advertisement

Belum selesai dengan penyesuaian lingkungan kampus datanglah gerombolan senior yang katanya ingin menyambut adik-adiknya untuk masuk sebagai keluarga dari mereka. Hampir tiap saat aku mau pulang dan tidur di rumah saja. Aku tidak sanggup menjalani tekanan dari berbagai arah di tempat asing ini.

Aku perlu bersyukur karena ketika kembali dari kampus yang menjelma menjadi neraka, aku mempunyai beberapa teman yang dengan sukarela mendengar keluhanku. Kita saling memahami inilah rintangan yang harus kami lalui. Berada di perantauan, jauh dari orangtua. Kami saling menguatkan dan itu yang membuat kami menjadi setangguh sekarang ini.

Aku mulai menyadari tidak semuanya harus berjalan sesuai dengan harapanku. Menerima kenyataan jika selalu ada yang harus aku korbankan untuk setiap pencapaian yang ingin ku raih. Memilih teman agar tak terjerumus pergaulan bebas di kota besar. Mengatur waktu dan keuangan secara mandiri.

Pahit manisnya dunia kampus tanpa sadar membawaku menjadi wanita dewasa independen dengan pikiran terbuka. Bukan secara umur namun cara berpikir dan berperilaku yang membuat mereka terheran-heran. Setidaknya itulah komentar teman-temanku. Mereka mencari setitik kemanjaan anak mama yang dulunya melekat kuat dengan kepribadianku. Mereka tidak tahu apa saja yang telah kulalui pada tahun pertamaku yang bahkan masih enggan aku ceritakan. 

Ayah..Ibu.. sabar ya! Anakmu masih berjuang di perantauan. Aku sayang kalian?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Trying my best?

CLOSE